Nusantara Cyber

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #5

Lorong Gelap

Logam dingin itu menekan urat lehernya, sebuah sentuhan maut yang terasa lebih nyata daripada kerlipan neon di Distrik Lampu Merah. Dalang tidak membuang waktu menganalisis jenis pistolnya. Ia sudah tahu. Cakra Global punya ciri khas, efisien, tanpa ampun, dan selalu selangkah di depan. Setidaknya, itulah yang mereka pikir.

"Kau terlambat, Sari," bisik Dalang. Napasnya terkendali, sebuah disiplin yang ia pelajari di lorong-lorong gelap IKN, di mana panik berarti mati.

Tawa kecil dan kering lolos dari bibir Sari. "Selalu mencoba memegang kendali, Jaka? Kebiasaan buruk." Pistol R-77 itu sedikit bergeser, mencari titik yang lebih fatal. "Kau tahu apa yang bisa dilakukan peluru nano-shrapnel ini? Tidak ada lagi fragmen untuk dikumpulkan. Hanya debu."

"Dan Satya akan dapat apa? Debu?" balas Dalang, matanya melesat, memindai kerumunan, mencari jalan keluar yang belum ada. Setiap detik terasa seperti sebutir pasir yang jatuh di jam kematian. "Kau butuh aku hidup. Satya butuh aku."

"Satya tidak butuh kau," desis Sari, arogansi melapisi suaranya yang tajam. "Dia butuh apa yang kau curi. Kunci Bintang Tujuh. Riko si bodoh itu memberikannya padamu. Serahkan sekarang, dan mungkin kau hanya akan berakhir di sel isolasi, bukan krematorium."

Sebuah denyutan samar di pelipisnya. Bukan karena takut, tapi karena nama itu, Riko. Sahabatnya yang naif, yang sekarang menjadi umpan dalam permainan yang jauh lebih besar. Di balik semua ini, alasan sebenarnya Dalang mempertaruhkan segalanya, Laras. Adiknya. Gambaran wajah Laras yang tersenyum melintas di benaknya, sebuah hantu di tengah kekacauan digital. Itulah bahan bakarnya.

"Kau pikir aku membawanya begitu saja?" Dalang memaksakan senyum sinis. "Drive itu sudah kusalin. Hash enkripsinya sudah kukirim ke Terminal Alpha. Kau tembak aku, data itu akan menyebar seperti virus ke seluruh Grid Nusantara. Cakra Global akan lumpuh."

"Ancaman murahan, Jaka. Kau bukan pahlawan film laga."

"Kau benar," potong Dalang. "Aku teknisi kotor yang putus asa. Dan orang putus asa tidak punya aturan main." Ia menatap lurus ke mata Sari, mencari celah di balik topeng logika dingin yang selalu wanita itu kenakan. "Kau mengagumi Satya, kan? Dia mengajarimu untuk tidak pernah mengambil risiko yang tidak perlu. Apakah kehilangan Bintang Tujuh sepadan dengan nyawaku?"

Sari ragu. Hanya sepersekian detik, tapi Dalang melihatnya. Pupil matanya melebar sedikit, cengkeraman tangannya mengendur sepersekian milimeter. Itu adalah kemenangannya.

“Echo, Komunikasi pulih 17%. Sari ragu. Sekarang, Dalang! Satya masih memblokir visual, tapi audio aktif. Tiga menit. Selamanya dan tidak sama sekali.”

"Gajah Mada," ucap Dalang, sengaja dibuat cukup keras agar Sari mendengarnya.

Bingo.

Reaksi Sari lebih dari yang ia harapkan. Wajahnya yang pucat pasi memancarkan keterkejutan murni. Logikanya retak. "Bagaimana … bagaimana kau tahu?"

"Riko bukan cacing, Sari. Dia tikus tanah. Dia menggali ke tempat yang paling dalam," Dalang berbohong dengan lancar, mendorong lebih keras lagi. "Dia tahu semua rahasiamu ada di sana. Semua file pemerasanmu pada Dewan Kota. Semua kegagalan yang kau sembunyikan dari Satya." Dalang mencondongkan tubuh sedikit, suaranya menjadi bisikan konspirasi. "Aku tidak di sini untuk Bintang Tujuh. Aku di sini untuk menghapusmu."

Itu adalah pukulan telak. Logika Sari hancur berkeping-keping, digantikan oleh emosi mentah yang selalu ia anggap sebagai bug, ketakutan.

"Jangan sentuh Gajah Mada!" raung Sari, amarah mengambil alih. Ia menarik pistol dari leher Dalang, mengarahkannya tepat ke jantung. Kesalahan fatal.

"Terlalu lambat!"

Dalam satu gerakan cair, Dalang menjatuhkan diri. Bukan ke belakang, tapi ke depan, ke arah Sari. Tangannya menyambar hard-drive palsu dari sakunya, umpan yang sudah ia siapkan, dan melemparkannya tinggi-tinggi ke arah kerumunan.

"Apa yang …," pekik Sari, instingnya membuatnya berbalik untuk mengikuti arah lemparan.

Sebuah letusan memekakkan telinga.

Dalang sudah berguling di atas genangan air kotor, merasakan panas dari tembakan yang meleset hanya beberapa senti dari kepalanya. Aspal di belakangnya pecah. Kerumunan yang tadinya hanya terdistraksi oleh kekacauan visual kini berteriak panik. Kekacauan adalah temannya.

“Echo, Tembakan terdeteksi! Sari mengejar umpan! Bergerak, Dalang! Sub-Level 8, di bawah pasar gelap data! Cepat!”

Dalang melompat berdiri, kakinya memompa, adrenalin membakar setiap sel tubuhnya. Ia menyelinap di antara orang-orang yang berlarian, menjadi hantu di tengah kepanikan yang ia ciptakan.

"Tim Cakra Global lainnya?" tanyanya, terengah-engah.

"Masih terjebak di saluran air Level 10," jawab Echo. "Aku membanjiri sensor mereka dengan data kebocoran radiasi palsu. Kita punya waktu, tunggu, Riko masuk ke saluran kita!"

"Jangan khawatirkan mereka, Jaka!" Suara Riko yang serak dan penuh humor gelap tiba-tiba terdengar. "Aku sedang menyapa Sari. Sepertinya dia tidak suka saat aku mengancam akan menyebarkan video tarian konyolnya dari pesta kantor tahun lalu."

Terdengar suara umpatan Sari dari kejauhan, diikuti tawa Riko.

Lihat selengkapnya