Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #2

Bab Dua

Jeritan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Bukan jerit yang menunjukkan ketakutan akibat melihat makhluk horor, atau adegan mengerikan yang tertampil di layar-layar datar. Bukan pula jerit kenikmatan yang hanya orang-orang yang sudah cukup umur saja yang tahu. Bukan juga jerit kemenangan seperti ketika mendapat lotre bermilyar-milyar. Jerit itu hanya sebuah teriakan tanpa makna, tanpa emosi.

Mak Rodiah diam. Dia mendekatkan telinganya ke tembok. Namun, sama seperti dirinya, tembok itu juga bungkam. Mak Rodiah mengira dia hanya berhalusinasi. Mana mungkin tembok bisa menjerit? 100% dia yakin bahwa dirinya masih waras. Oke, mungkin 70%.

Meskipun demikian, satu hal yang pasti saat ini: bukan tembok yang barusan menjerit, melainkan tetangganya. Tetapi kenapa tetangganya menjerit? Jeritannya tanggung pula.

Mak Rodiah keluar kamar. Dia tak melihat anaknya di sofa. Televisi masih menyala tanpa penonton. Setelah mematikan benda itu, dia melangkah ke kamar anaknya. Di sana hanya ada Ratih yang sedang asik bermain ponsel dengan memakai headset sambil rebahan di kasur.

Wanita yang rambutnya disanggul kecil itu lanjut ke belakang, ke area dapur.

"Lanang!" serunya.

Namun, tak ada jawaban. Dia malah melihat pintu belakang terbuka. Mak Rodiah melongok ke belakang rumah. Di sana sepi. Juga gelap. Lampu neon berpijar redup. Meski begitu, Mak Rodiah dapat melihat pintu belakang tetangganya sedikit terbuka.

Komplek tempat Mak Rodiah tinggal adalah komplek perumahan yang rapat. Antara rumah satu dengan rumah sampingnya tak ada jarak. Bangunannya pun hampir serupa. Dari depan, semua rumah memiliki gerbang dan garasi.

Gerbang itu terbuat dari teralis besi, setinggi kepala orang dewasa. Di samping kanan dan kiri gerbang ada beton yang memisahkan halaman rumah satu dengan halaman rumah lainnya, lebih rendah sepuluh senti dari gerbang.

Namun, di bagian belakang rumah ada sisa tanah yang lumayan longgar. Biasanya untuk menjemur pakaian. Lebarnya dua meter. Di seberang tanah terdapat pagar perumahan yang tingginya mencapai dua meter. Di atasnya terpasang pagar besi yang mencuat tajam, berguna untuk mencegah maling lewat.

Antara tanah rumah satu dengan tanah rumah lainnya dipisahkan oleh beton setinggi paha orang dewasa. Kadang, kalau Mak Rodiah ingin memasak dan kebetulan garamnya habis, dia akan melompati beton itu dan meminta garam kepada Arini-tetangga di sebelah rumahnya.

Mak Rodiah tak bisa meminta garam kepada tetangga satunya. Sebab, tetangga satunya telah mengubah sekat yang hanya setinggi paha menjadi setinggi atap. Mungkin mereka lelah dimintai garam oleh Mak Rodiah selama sepuluh tahun bertetangga. Berbeda dengan Arini yang masih menjadi tetangga newbie.

Arini orangnya gendut, namun masakannya sangat enak. Kadang, selain minta garam, Mak Rodiah minta cicip masakan. Tak tanggung-tanggung, dia mencicip sepanci penuh.

Pernah suatu kali, Mak Rodiah meminta Arini membantunya masak untuk arisan. Mulai dari bumbu, bahan, dan alat masak, semua dari Arini. Berkatnya, acara arisan Mak Rodiah sukses besar. Bahkan banyak yang memuji masakan Arini.

Waktu itu, Mak Rodiah mengusulkan agar Arini membuka katering saja. Pasti laku keras. Tetapi, hal itu ditentang oleh Ilham, suami Arini.

"Aku nggak mau istriku capek. Biarlah aku aja yang capek kerja," kata Ilham saat itu. Ciye, Ilham.

Ilham sebaya dengan Lanang. Mereka juga menikah dalam tahun yang sama, walau jaraknya 11 bulan lebih 20 hari. Kalau Ilham memiliki istri yang gemuk, kucel, dan bisa dibilang tidak cantik tetapi pandai memasak, Lanang sebaliknya. Ratih cantik, kurus, kulit kuning langsat, dan enak dipandang. Tetapi, dia tidak pandai masak.

Namun, ada kesamaan dari kedua pasangan muda itu, yaitu sama-sama belum dikaruniai momongan.

Mak Rodiah melangkahi sekat yang memisahkan belakang rumahnya. Dia mengintip pintu belakang Arini yang terbuka. Tak ada yang aneh di dalam. Namun, hidungnya menangkap bau nikmat masakan. Suara sayur yang mendidih di atas kompor terdengar samar di telinganya. Mak Rodiah ingin berteriak memanggil tetangganya, tetapi segera dibungkam oleh kehadiran sang anak.

"Ngapain Mak di situ?" Lanang berdiri di tengah pintu belakang rumahnya.

"Enggak. Aku tadi nyari kamu. Kok tiba-tiba ngilang dari depan TV." Mak Rodiah menjinjing dasternya, melompat kembali ke rumah.

"Udah malem, Mak. Nggak enak namu malem-malem, apalagi lewat pintu belakang," kata Lanang minggir ketika ibunya lewat.

Lihat selengkapnya