Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #3

Bab Tiga

Api itu berhasil melelehkan plastik pada tutup panci. Bagian bawahnya sudah penyok, penuh jelaga pula. Karena panik melihat asap tebal dan keadaan panci yang setengah sekarat, tanpa pikir panjang Ratih langsung mengguyurkan segayung air ke kompor. Hal itu malah membuat api tambah besar. Ia menjerit, memanggil-manggil si empunya dapur. Ia kesal ketika mendapati mertuanya tak membantu sama sekali dan malah sibuk berperan sebagai sutradara dadakan.

Untungnya, tak lama kemudian Ilham datang. Ia mengambil handuk yang sudah dibasahi. Dengan handuk itu, ia mendorong panci hingga jatuh berkelontang. Ia lalu menutupkan handuk basah itu ke kompor. Setelah api mengecil, segera ia memutar knob kompor ke posisi off. Ia juga mencabut regulator.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya kepada Ratih.

Dada wanita itu naik turun. . Tangannya yang memegang gagang gayung gemetar. “Eng ... enggak apa-apa, kok,” ujarnya sembari menepis tangan Ilham yang hendak menyentuhnya. Bibir Mak Rodiah melengkung saat menyaksikan sikap mantunya yang menjaga jarak pada pria lain.

Berbeda dengan Lanang, Ilham berwajah rupawan. Kulitnya putih dan bersih. Rambutnya berantakan, namun tetap elok dipandang. Ia hanya memakai kaus tipis yang tak bisa menyembunyikan ototnya yang menggoda. Celana pendek membuat pahanya terekspos. Hal itu membuat semua wanita yang memandangnya pasti kepincut, pikir Mak Rodiah. Kecuali mantunya, tentu saja. Nyatanya, Ratih menepis sentuhan lelaki itu. Mantu siapa dulu? Batinnya bangga.

Setahunya, sebelum menikahi Lanang, Ratih tak pernah dekat dengan lelaki lain. Waktu pertama kali dikenalkan, Mak Rodiah mendapat kesan bahwa Ratih merupakan anak yang pemalu. Ayah dan ibunya bercerai dan sejak kecil ia diasuh oleh ibunya. Keadaan keluarganya yang begitu pasti membuatnya menjadi sosok yang tertutup. Apalagi terhadap laki-laki. Jadi, menurut Mak Rodiah, sudah untung Lanang mau meminangnya. Ratih mestinya bersyukur dan tidak macam-macam.

Mak Rodiah yang masih merekam berkata pada kamera, "Sudah teratasi, Gais."

"Ih, Emak nih! Bukannya bantuin malah sibuk buat konten," protes Ratih kesal. Ia kembali ke rumah dengan merengut.

Mak Rodiah meringis. "Momen langka." Dia lalu celingak-celinguk mencari sesuatu. "Arini mana? Kamu tadi juga ke mana? Diteriakin kok nggak keluar-keluar!"

"Arini?" Ilham yang ditanya malah bingung. Ia menengok ke belakang. Ia baru sadar bahwa istrinya tidak ada. "Iya, ya, Mak? Ke mana ya, dia?"

"Lah? Gimana, sih?"

"Alah, paling cuma pergi sebentar."

Mak Rodiah mengernyit. "Pergi ke mana? Ini udah jam sepuluh lho, Ham!"

"Paling ke warung, nyari obat nyamuk, trus lupa deh kalau lagi manasin sayur. Nanti kalau udah balik, aku nasihatin. Pelupa tuh emang si Arini," cerocos Ilham, yang membuat Mak Rodiah sedikit curiga. Biasanya Ilham begitu protektif terhadap Arini.

Di rumah itu, mereka tinggal hanya berdua. Orang tua Ilham tinggal di kota terpisah, bersama saudara-saudaranya. Sedangkan orang tua Arini sudah meninggal. Kadang, jika ada apa-apa yang memerlukan pengetahuan seorang yang lebih berpengalaman, mereka—kebanyakan Arini—bertanya pada Mak Rodiah. Hal itu menjadikan hubungan mereka lebih dekat. Mereka tak sungkan memanggil Rodiah dengan sebutan Mak.

“Kamu yakin, Arini cuma pergi ke warung?” tanya wanita itu memastikan.

“Iya, Mak. Paling sebentar lagi balik. Dia nggak berani pergi jauh tanpa aku.”

Betul juga, sih, pikir Mak Rodiah. "Ya udah kalau gitu. Aku pulang dulu. Lain kali kalau tidur, hidungnya dibuka lebar-lebar. Masa bau gosong dari dapurnya sendiri enggak kecium," gerutunyakembali ke rumah, meninggalkan Ilham yang kebingungan memikirkan cara membuka hidung lebar-lebar ketika tidur.

Setelah menutup pintu belakang dan kembali ke kamar, Mak Rodiah memelototi ponselnya. Dia membagikan videonya barusan ke dalam grup WhatsApp. Sudut bibirnya terangkat tinggi. Ah, besok pasti spiral, batinnya. Eh, salah. Maksudnya, viral!

***

Seperti dugaan Mak Rodiah, video kebakaran yang dia bagikan viral. Ibu-ibu anggota grup pecinta gosip segera mengadakan rapat rahasia. Meski rahasia, nyatanya kehadiran mereka dapat dilihat siapa saja. Terutama bagi orang-orang yang sedang keluar rumah. Walaupun begitu, mereka menutupi rapat itu dengan lihai sehingga yang tampak di mata orang lain adalah ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur keliling.

Sebelum dimulai, rapat itu akan dibuka dengan bacaan Al-fatihah terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan oleh sambutan ketua grup. Tetapi, karena waktunya mepet, rapat itu akhirnya dimulai dengan celetukan oleh salah satu anggotanya yang bernama Bu Yayuk.

"Arini itu kebangetan, deh! Masa pergi dengan ninggalin kompor yang masih nyala! Ceroboh!" Bu Yayuk mengempaskan kangkung yang tidak jadi dipilihnya. "Untung Ilham cekatan. Kalau enggak, rumah Mak Rodiah bisa ikut jadi arang."

"Heran! Kok bisa ya, Ilham yang gantengnya kek member BTS doyan sama Arini? Coba bandingkan sama aku? Masih seksian aku ke mana-mana!" Sulis, pengasuh yang dipekerjakan oleh salah satu penghuni rumah di sana ikut menjadi member grup itu. Dia mewakili majikannya yang sibuk bekerja ke luar negeri. Majikannya tak bisa membawa anaknya ikut serta. Sebagai ganti, dia mempekerjakan Sulis untuk menjaga anaknya yang sudah kelas enam SD. Orang-orang memanggilnya Bi Sulis, kecuali Mak Rodiah.

"Meski gendut, Arini itu masakannya joss, lho, Bi Sul." Mak Rodiah mengacungkan jempolnya.

"Manggilnya jangan disingkat dong, Mak! Nggak enak banget!" protes Sulis.

"Nah, betul," sahut Bu Sandiman menahan tawa. Usianya sebelas duabelas dengan Mak Rodiah. Tetapi, ia lebih sadar umur ketimbang yang satunya. "Orang nikah itu bukan semata-mata karena wajah, tetapi juga ketrampilan."

"Aku juga bisa masak, lho, Bu!" Sulis masih mendebat.

"Udahlah, kalaupun Ilham mau sama kamu, sudah dari dulu kamu dijadiin istri kedua, tetapi nyatanya nggak, kan? Berarti dia nggak mau sama kamu. Maunya sama Arini," tukas Bu Yayuk menggiring jalannya rapat kembali ke pokok permasalahan. "Omong-omong, Arini mana ya, Mak? Dari tadi pagi enggak kelihatan."

"Kemarin juga nggak kelihatan," jawab Mak Rodiah baru menyadarinya. "Waktu kebakaran itu, Arini enggak muncul, lho! Kata Ilham dia pergi ke warung."

"Warung yang mana? Jam segitu warung juga udah tutup kali, Mak! Kalau ke Alfa, terlalu jauh," kata Sulis.

"Betul juga, ya?"

"Lagian, tadi pagi aku lihat Mas Ilham nutup gerbang sendiri. Biasanya kan Arini yang nutup," tambah Sulis.

"Iya, ih!" cetus Bu Yayuk. "Biasanya sebelum pergi mereka cipika-cipiki dulu. Ya, kan? Sampai bikin iri."

"Iya juga, ya?" Mak Rodiah mengangguk-anggukkan kepalanya. Pandangannya menerawang. "Coba nanti aku cari tahu, deh!"

"Live, ya, Mak!" pinta Sulis nyengir.

“Idih, live, kayak pertandingan bola aja,” sahut Bu Yayuk. Ia lantas mengatur rapat ke pembahasan kedua yang dimulai dengan, “Eh, masalah anaknya Bu Mar gimana, Mak?”

Tanpa aba-aba, semua anggota rapat memajukan tubuh. Pendengaran ditajamkan, suara diperkecil, menandakan tingkat kerahasiaan topik lebih tinggi. Andai terdengar orang luar, niscaya perang dunia ke-tiga bakal meletus.

“Denger-denger, suaminya ini bukan cowok yang sering ngapel kemarin, lho,” bisik Mak Rodiah sambil menyodok lengan Bu Sandiman menggunakan siku. Ekspresinya seperti detektif gosip yang baru menemukan bukti baru. Alisnya naik, sementara matanya menyipit. Bibirnya mencebik, khas tukang nyinyir kawakan.

“Tuh, kan!” Bu ` Yayuk menjentikkan jemarinya, membuat gelang-gelang emas pada lengannya beradu. “Sudah kuduga.”

“Fix, sih, dia selingkuh,” Sulis menimpali. “Bikin resah aja.”

Lihat selengkapnya