Terakhir kali Mak Rodiah melihat Arini adalah kemarin siang. Ketika itu dia sedang mengangkat jemuran yang sudah dua hari nangkring di halaman belakang sampai-sampai kainnya keras seperti kerupuk. Bahkan, saat disentuh pun Mak Rodiah dapat mendengar bunyi kriuk walau samar.
Sembari membawa keranjang berisi baju yang sudah kering ke rumah, dia melihat pintu belakang rumah Arini menjeblak terbuka. Wanita gendut itu terlihat duduk membelakangi pintu. Mak Rodiah hanya bisa melihat punggungnya saja. Tetapi, dia yakin bahwa itu Arini. Sebab, hanya ada Arini dan suaminya yang menghuni rumah itu. Tidak mungkin Ilham memakai kaus lengan panjang bermotif bunga-bunga dan berkucir kuda. Lagi pula, ukuran badan mereka berbeda. Arini jelas lebih lebar dari suaminya. Meski begitu, tinggi mereka hampir sama. Mungkin hanya beda 5 cm.
Arini suka memakai baju lengan panjang. Bahkan pada bulan-bulan kemarau yang panasnya minta ampun. Mak Rodiah pernah bertanya alasannya dulu, tetapi hanya senyum yang didapatkan sebagai jawaban.
Mak Rodiah mengingat-ingat, apakah Arini pernah menyebut-nyebut tentang pergi ke suatu tempat sendiri kemarin? Sepertinya tidak. Percakapan terakhir mereka adalah tentang drama baru di televisi yang mengangkat tema perselingkuhan. Waktu itu, Mak Rodiah baru sadar, Arini tampak tak sesemangat biasanya. Wajahnya murung. Ia sering melamun dan tak nyambung. Acapkali desahan panjang keluar dari mulutnya.
Beberapa hari yang lalu, Mak Rodiah tak sengaja mendengar wanita itu terisak. Ketika ditanya ada apa, ia hanya menggeleng lalu masuk rumah. Mak Rodiah tak mau memaksanya bercerita. Dia berpendapat bahwa mungkin hormonnya sedang tidak stabil.
Arini pernah bercerita bahwa ia sedang mengikuti program hamil dari dokter di kota. Salah satu terapinya adalah menyetabilkan hormon. Hal itu membuat emosinya naik turun tak keruan.
Mengingat suasana hati Arini membuat Mak Rodiah terkenang kejadian aneh dua hari yang lalu. Seperti biasa, dia sedang kelaparan. Ratih memasak sop yang rasanya seperti garam diairi. Dia menjadi tak selera makan. Maka dari itu, dia pergi ke rumah Arini, berniat meminta semangkuk sayur.
Pintu belakang rumah tetangganya itu terbuka ketika dia datang. Tanpa mengetuk, dia langsung masuk. Dia membuka tudung saji dan melihat sambal goreng hati sepiring penuh di meja. Air liurnya hampir menetes karenanya.
"Rin!" serunya memanggil sang empunya rumah. Namun, tak ada sahutan. Dia melangkah ke batas aman-ujung dapur sebelum ruang tengah. "Arini!"
Sebuah geraman terdengar samar dari kamar.
"Rin, aku masuk, ya!" Tanpa menunggu persetujuan, Mak Rodiah melangkahkan kakinya ke kamar Arini. Dia terkejut ketika mendapati sang pemilik rumah terbaring lemas di lantai kamar. Bergegas, dia membantunya berdiri. Dengan susah payah, Mak Rodiah berhasil membaringkan tetangganya itu ke ranjang.
Mak Rodiah segera mengambil air putih untuk Arini. Dia memerhatikan wanita itu ketika minum. Tubuh Arini tampak gemetar, wajahnya kucel dengan rambut awut-awutan. Ada bekas air mata di pipinya.
"Kamu kenapa?" tanyanya lembut.
Setelah menghabiskan segelas air yang disodorkan Mak Rodiah, Arini mencekal lengan wanita tua itu erat-erat. Dengan bibir gemetar, ia berkata, "Mak, aku takut."
"Hah?" Mak Rodiah mendekatkan telinganya. Dia memastikan bahwa yang didengarnya tidak keliru. "Takut sama siapa?"
Namun sialnya, sampai di sanalah ingatan itu berakhir. Mak Rodiah mendengkus kesal.
Kini wanita tua itu sedang mengunci diri di kamar. Tadi, setelah menemukan bercak darah di dapur Arini, Mak Rodiah buru-buru pulang. Dia segera mengunci pintu belakang rumah tetangganya itu supaya Ilham tidak curiga.
Selepas berhasil menenangkan diri di kamar, dia ingin mengirim temuannya itu ke grup WA. Namun, dia batal melakukannya. Dia tak boleh tergesa-gesa. Pasalnya, dia yakin ada yang tak beres dengan menghilangnya Arini. Menurutnya, perkara ini tidak boleh ditangani dengan buru-buru.
Mak Rodiah mendecakkan lidah, menghalau pikiran yang membuatnya ngeri. Apalagi saat ingatan dua hari yang lalu itu muncul kembali. Dia takut terjadi apa-apa dengan tetangganya satu itu.
Wanita tua itu mengerutkan kening, berkonsentrasi dan berusaha mengingat jawaban Arini. Tetapi semakin dia berusaha, malah semakin lupa. Dia bahkan membayangkan jawaban-jawaban ngawur seperti: takut kalau Superman berubah menjadi Supermi.
Argh! Dia jadi kesal sendiri.
Hari sudah sore ketika Mak Rodiah keluar kamar. Dari depan terdengar suara mobil yang berhenti. Tak lama kemudian disusul oleh suara gerbang yang digeser. Mak Rodiah menyambut anaknya pulang.
Lanang kelihatan lelah sekali. Rambutnya yang tipis terlihat sedikit botak di depan. Tubuhnya yang jangkung membungkuk. Badannya tampak kurus di balik kemeja yang dikenakan. Wajahnya lesu. Matanya juga sayu. Ada lingkar panda di bawah matanya yang hanya memiliki satu lipatan di kelopak.
Sejak dulu Lanang terkenal tegas dan kaku. Ia juga merupakan lelaki yang memiliki prinsip. Pun ambisius. Ia selalu menjadi anak yang penurut. Namun, Mak Rodiah yakin Lanang menurut bukan karena keharusan melainkan karena memang ia tak ingin neko-neko.
Saat orang tua lain sibuk menasihati anaknya untuk tidak minum minuman keras, merokok, atau nongkrong tak jelas, Mak Rodiah malah sibuk mendorong anaknya bergaul. Lanang bukannya tidak memiliki teman. Ia punya, tetapi hanya sedikit. Kebanyakan malah orang-orang yang memiliki latar belakang bagus dan tidak macam-macam. Malahan, salah satunya adalah anak seorang dokter. Ia amat selektif dalam memilih teman.
Mak Rodiah sempat berpikir mungkin anaknya dibully waktu sekolah. Tetapi, ternyata tidak. Lanang seperti hidup dalam lingkungan yang diciptakannya sendiri.
"Mau makan dulu atau mandi dulu? Kayaknya Ratih masih nyiapin makan malam," kata Mak Rodiah meraih tas kantor anaknya.
"Sepertinya aku mau tidur dulu deh, Mak. Capek banget." Lanang melonggarkan dasinya.
"Ya udah, tidur aja. Lagian sih, malam-malam ke luar kota segala. Tapi tadi lancar, kan?"
"Lancar apanya?" tanya Lanang melepas sepatu.
"Itu, pres ... presensinya?"
"Oh, maksudnya presentasi? Lancar, kok. Aku tidur dulu ya, Mak." Ia lalu masuk.