Mak Rodiah bangun dengan tungkai yang sakit. Rasanya cenut-cenut seolah ada semut yang menggigiti. Dengkulnya kaku.
Matanya yang mulai fokus mengerjap. Ia merintih. Siang ini udara terasa panas. Ia menyetel kipas untuk sekadar menjadi penyejuk. Namun, ketika tak sengaja tertidur, ia bangun dengan tulang ngilu.
Perutnya pun terasa melilit. Sudah dua hari ia tak makan enak. Kokinya alias Arini belum juga pulang. Masakan Ratih selalu tak cocok di lidahnya yang eksklusif. Setiap akan memasak, Ratih selalu mendahului. Mak Rodiah curiga bahwa mantunya itu sengaja rajin masak supaya lepas dari tugas mencuci. Peraturan tak tertulis di antara mereka adalah jika salah satu masak, maka yang lain harus mencuci, baik baju maupun piring.
Oleh karena itu, Mak Rodiah hanya sanggup makan sedikit. Sejak sarapan tadi, belum ada lagi nasi yang masuk ke perutnya.
Beberapa kali ia mencoba menghubungi nomor Arini, tetapi tak pernah tersambung. Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, begitu kata sang operator. Mak Rodiah menduga-duga, di mana rumah kakak Arini? Mungkinkah letaknya di tengah hutan sampai-sampai sinyal pun tak dapat dijangkau?
Memikirkan Arini membuat kepala wanita tua itu nyut-nyutan. Ia pusing. Darah tingginya kambuh karena stres.
Sejak kemarin ia terpaksa menerima fakta bahwa Arini pulang ke rumah kakaknya. Tetapi tetap saja dalam hatinya ada perasaan yang aneh, perasaan yang membuatnya tak tenang. Hal itu malah menambah beban pikiran.
Apalagi dengan penemuan ceceran darah dulu. Prasangka buruk selalu menghantuinya. Mau dipikir sampai jungkir balik pun, kronologi yang diungkapkan kepada Bu Yayuk itulah yang paling tepat. Namun, tidak ada yang dapat membuktikan bahwa darah itu milik Arini. Sebab, ketika Mak Rodiah memeriksa lagi keesokan harinya, dapur itu sudah bersih.
Mak Rodiah memaksa kakinya menapak lantai. Rasa nyeri segera mendera. Sembari meringis menahan sakit, ia melangkah ke kipas yang menyala dan segera mematikannya.
Terdengar suara televisi ketika Mak Rodiah membuka pintu kamar. Ratih tampak berjalan ke sofa. Di belakangnya pintu rumah terbuka lebar. Ia memakai blus dan celana jins panjang. Setelah meletakkan tas slempang kecil, ia mengempaskan diri ke sofa, meraih remot dan memilih chanel. Rupanya, ia tak sadar tengah diperhatikan sang mertua.
Mak Rodiah membuka pintu kamar dengan lebar, membuat Ratih berjengit sedikit. "Kamu dari mana?" tanyanya.
"Ke rumah Santi. Tadi dia telepon, mau ketemu. Katanya urgen. Mau pamit tahunya Emak udah tidur. Nggak enak mau bangunin."
"Oh." Dengan langkah pelan, Mak Rodiah keluar kamar. "Santi itu teman pabrik kamu dulu?"
"Iya," jawab Ratih. "Sekarang dia ngekos deket sini."
"Lain kali kalau mau pergi, jangan lupa matiin televisi." Mak Rodiah berjalan ke arah toilet. Langkahnya timpang ketika lewat di depan sang mantu. Tangannya yang satu memegangi punggung, takut kalau-kalau mendadak copot.
"Kenapa Emak jalannya begitu? Asam uratnya naik lagi?" tanya sang mantu bangkit. Segera, ia membantu mertuanya.
"Enggak apa-apa, kok. Nanti juga sembuh," tolak Mak Rodiah. Ia melepaskan cengkeraman mantunya. Sebenarnya ia tak keberatan dibantu. Namun, ia terganggu oleh parfum Ratih yang tercium. Kepalanya tambah pusing.
Menurutnya, selera mantunya dalam memilih parfum itu payah. Sebelumnya Ratih tak pernah memakai parfum. Ia hanya memakai deodoran. Mak Rodiah tahu karena tak menemukan botol parfum wanita di kamarnya. Jadi, pada ulang tahun pertama setelah tinggal serumah, Mak Rodiah membelikannya parfum sebagai hadiah.
Dua bulan yang lalu, dia mendapati parfum itu hampir utuh. Iseng-iseng, Mak Rodiah bertanya apakah parfum yang dibelikannya sudah habis. Dia berharap jika Ratih tak suka dengan wanginya, atau memang tak mau parfum itu, dia bisa mengambilnya kembali untuk dipakai sendiri. Namun, sang mantu malah menganggap pertanyaan itu sebagai sindiran.
Esoknya, setiap pergi keluar, Ratih selalu menyemprotkan parfum itu ke badan. Entah karena sudah kadaluarsa, atau memang dia lupa baunya, ketika parfum itu bercampur dengan keringat Ratih wanginya jadi aneh, seperti gel rambut yang dicampur dengan air bekas pel.
"Ya sudah, Emak istirahat aja. Kali ini biar Ratih yang masak buat makan malam."
Mak Rodiah mengangguk. Meski enggan, dia tak punya pilihan. Setelah keluar dari toilet ia ke kamar dan salat asar. Seusai salat ia memutuskan untuk makan di warung depan komplek. Ia tak sanggup menelan masakan Ratih lagi.
Saat keluar rumah, ia memutuskan berjalan tanpa menggunakan sandal. Awal melangkah, ia meringis dan merintih. Kerikil menusuk telapak kakinya dengan kejam. Sakitnya ajaib karena dapat merambat ke atas hingga mencapai ubun-ubun. Pening terasa sampai Mak Rodiah memejamkan mata. Tetapi, dia tak mau menyerah.
Suaminya dulu pernah berkata, sesakit apa pun rasa yang dideritanya sekarang, bandingkan dengan sakit saat melahirkan. Maka, sakit itu akan terasa lebih lunak.
Mengingat itu, Mak Rodiah melanjutkan berjalan kaki. Setelah beberapa langkah, ia mulai menikmati. Ia membayangkan dirinya tengah berjalan di karpet akupuntur. Cenut-cenut di tungkainya perlahan menghilang.
Matahari mulai menukik. Sorotnya tak seganas tadi. Warnanya yang keemasan menyinari rumah-rumah di seberang jalan yang ia lalui.
Jalanan sepi dari kendaraan. Sebagai gantinya, anak-anak kecil mendominasi. Dengan otopet, atau sepeda, baik roda dua maupun roda tiga, mereka menguasai jalan.
Ibu-ibu berdaster tampak duduk-duduk di pinggir jalan mengawasi, mungkin lebih tepat menggosip karena jelas mata mereka tak tertuju pada anak-anak yang bermain di jalan. Setelah salah satu anak menangis karena jatuh, barulah para ibu itu menoleh. Dan, ketika salah seorang ibu menghampiri anak itu, para ibu yang lain kembali menggosip, seolah kejadian itu hanya intermezo dari acara penting mereka saja.
Mak Rodiah berjalan sampai ke ujung gang perumahan. Demi sopan santun, saat melewati geng berisi ibu-ibu itu, dia menyapa.
Warung makan yang ditujunya sedang sepi. Terletak di ruko depan perumahan, menghadap jalan raya. Bangunannya hanya selebar empat meter dan sepanjang enam meter.
Etalase berisi bermacam-macam menu terletak di depan. Sedangkan perlengkapan makan seperti piring dan gelas ada di meja sampingnya. Di belakangnya, masuk ke dalam, ada meja-meja panjang dan kursi berjajar. Di meja-meja tersebut terdapat gorengan, kerupuk, dan aneka pendamping makanan, lengkap dengan saus, kecap, sambal, dan sebagainya.
Warung makan itu menjual berbagai masakan dengan harga yang cukup murah. Ada soto, asem-asem, sayur oseng, dan lain-lain. Tiap hari menunya lain. Kendati begitu, menu yang selalu ada adalah soto.