Jalan di rumah Pak RT memadat akibat ulah Mak Rodiah. Bagaimana tidak? Sudah satu jam wanita tua itu mondar-mandir di sana. Setelah menyeberang dan sampai di depan rumah Pak RT, ia berhenti. Ia merenung sejenak lalu kembali menyeberang dan berniat pulang. Ketika sampai di tepi jalan satunya, ia berhenti lagi dan merenung. Ia lalu berbalik dan menyeberang lagi ke rumah Pak RT. Tetapi saat sampai di depan gerbang rumah Pak RT lagi-lagi dia berhenti dan merenung. Ia lantas berbalik lagi, begitu terus hingga rambut Upin-Ipin tumbuh lebat.
Tukang ojek online yang kebetulan mangkal di depan komplek pun sempat berpikir bahwa mungkin Mak Rodiah adalah oknum yang suka pura-pura tertabrak supaya dapat ganti rugi di tempat dan bukan malah mati di tempat. Atau jangan-jangan, dia malah benar-benar ingin ditabrak? Tak mau tergoda, tukang ojek itu pun melajukan motornya, mencari pangkalan lain.
Rupanya, Mak Rodiah berbuat seperti itu karena bingung. Sejak menyadari ada yang tak beres dengan kepergian Arini, hatinya tak tenang. Ia ingin mencari tetangganya itu, tetapi tak tahu caranya. Ia ingin bercerita kepada orang lain, tetapi tak yakin. Adakah yang mau percaya padanya?
Mungkin ada. Namun, adakah yang mau membantunya? Sepertinya tidak.
Hal itu sudah dibuktikan oleh Bu Yayuk kemarin dulu, ketika diperlihatkan video jejak darah itu. Mak Rodiah tahu persis bagaimana sifat para ibu komplek. Mereka hanya suka omong di mulut saja, suka bergibah. Untuk aksi, mereka nol besar. Mereka juga suka menyepelekan masalah orang lain. Namun, ketika masalah yang sama menimpa, barulah mereka koar-koar seolah telah menjadi korban terngenes sedunia.
Tebersit dalam pikiran Mak Rodiah untuk minta tolong pada Lanang supaya membantunya mencari Arini. Tetapi, setelah dipikir-pikir kembali, dia tak berani. Lanang tak suka mengurusi orang lain. Dia juga tak suka melihat ibunya ikut campur urusan orang lain.
Dulu, Mak Rodiah pernah membahas tetangga mereka di meja makan saat makan malam. Lanang langsung bereaksi. "Kalau Emak mau gibah, jangan di depan Lanang. Apalagi ikut campur urusan orang lain. Muak aku lihatnya!"
Deg! Hati Mak Rodiah langsung mencelus.
Lanang adalah orang yang pendiam. Dia jarang marah. Tetapi, sekalinya marah, kata-katanya mampu membuat orang lain menciut. Sejak itu, ia menyembunyikan predikat Emak Paling Informatif kepada sang anak. Ia tak mau Lanang tahu. Sebab, kalau sampai anaknya itu tahu, seribu persen ia yakin bakal dipecat jadi ibu.
Terlintas juga dalam benaknya untuk meminta pendapat kepada Ratih. Namun, Mak Rodiah ragu-ragu. Seandainya memberitahu Ratih, dia yakin mantunya itu pasti akan memberitahu Lanang. Sekali lagi, ia tak mau dipecat sebagai ibu.
Kemudian, sebuah nama muncul dalam pikiran Mak Rodiah. Nama ini bukan nama yang asing, bukan nama yang keren pula. Setiap kampung selalu ada nama itu. Semua orang juga pasti kenal dengan nama itu. Meski yang mengembari namanya pun banyak, orang-orang tak kebingungan saat nama itu disebut. Siapa lagi kalau bukan Pak RT!
Setelah pulang dari warung makan Bu Sandiman, Mak Rodiah segera mandi lalu berganti pakaian. Ia memasukkan telepon genggamnya ke tas selempang kecil. Ia menyapukan bedak dan lipstik. Setelah bercermin sekilas, ia memakai jilbab praktis yang bisa dipakai tanpa peniti. Ia lantas keluar kamar dan pergi ke rumah yang berada paling sudut perumahan. Kali ini ia memakai sandal menuju rumah Pak RT. Dan di sanalah dirinya kini berada, mondar-mandir penuh keraguan. Ia ragu apakah Pak RT mau percaya padanya atau tidak? Maukah Pak RT mengambil aksi menyelidiki hilangnya Arini?
Wanita tua itu menyetrika jalan sampai tak sadar matahari sudah terbenam. Lampu-lampu jalanan menyala. Azan maghrib berkumandang. Mak Rodiah mengembuskan napas panjang lantas memberanikan diri mengetuk gerbang milik Pak RT.
Seorang lelaki berbadan kurus keluar. Dia memakai baju koko dan sarung. Sajadah tersampir di pundaknya. Di balik peci hitam yang dikenakan mengintip rambut tebal dihiasi beberapa uban. Tangannya yang panjang membuka gerbang. "Eh, Mak Rodiah!"