Mak Rodiah pikir, motor itu sengaja hendak menabraknya. Dia menduga ada orang yang tak suka dengan penyelidikannya hingga berencana membunuhnya. Namun, saat suaranya habis karena berteriak, rasa sakit yang ditunggunya tak kunjung datang. Malahan, teriakan sang pengendara motor membuatnya bungkam.
"Oi!" seru pengendara motor itu dengan tubuh gemetar karena kaget. Ia berhasil mengerem tepat waktu. Meski hal itu membuat bannya selip, ia mampu mempertahankan keseimbangan. Setelah aman, ia mematikan mesin, membuka helm, lalu turun. "Kalau ada motor lewat itu minggir, bukannya malah teriak! Dasar! Nenek-nenek kebanyakan nonton sinetron ya gini, nih!"
Mak Rodiah yang juga gemetar, tak terima disalahkan. Apalagi oleh bocah kemarin sore. Pengendara motor itu seorang pemuda dengan rambut dicat warna-warni. Bibirnya dipasang tindik berbentuk lingkaran. Kalung dari rantai melingkar di lehernya, menjuntai hingga ke dada. Ia tinggi dan kurus. Celana jins yang dipakainya sobek di banyak tempat. Kausnya hitam dengan gambar lidah yang menjulur, seolah mengejek siapa saja yang memandangnya.
"Enak aja ngatain orang!" balas Mak Rodiah tak kalah galak. "Kamu yang goblok! Masa nabrak nenek-nenek di tengah jalan aja nggak becus!" Mata wanita itu berkilat-kilat penuh amarah. Prasangkanya tadi keliru. Rupanya itu murni kelalaian, bukan karena ada orang yang menghendakinya mati. Tak seru dan tak seperti di film-film. Batinnya sedikit kecewa.
Pemuda itu berniat membalas tetapi tertahan. Emosinya bercabang antara marah dan bingung. Dia marah karena dikata goblok, tetapi bingung karena dikata tak becus menabrak nenek-nenek di tengah jalan. Dia tak tahu emosi mana yang lebih dominan. "Lah ...." Akhirnya hanya kata itulah yang mampu keluar dari bibirnya.
Kebingungan sang pemuda membuat Mak Rodiah semakin mencerocos, "Ngendarai motor tuh pakai otak!" Ia menunjuk pelipisnya dengan menggertakkan gigi. "Pakai mata juga! Jangan cuma pakai tangan! Enak aja nyalahin orang lain! Periksa dulu kalau mau mengendarai sesuatu. Jangan langsung tancap gas aja. Untung kamu nggak nabrak aku. Kalau sampai nabrak, aku nggak bakal lepasin kamu. Mati pun nggak bakal aku lepasin! Asal kamu tahu ya, siapa pun yang nabrak aku bakal terkutuk seumur hidup. Jodohnya jauh, rezeki seret, sial terus. Kamu mau hidup kayak gitu?"
Sang pemuda menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Kenapa jadi sial? Memangnya Ibu arca peninggalan Majapahit?"
"Widih! Sok sejarah banget, lu! Aku titisannya putri Prabu Sili ... sili ... silihberganti," jawab Mak Rodiah berpikir keras.
"Siliwangi!" koreksi sang pemuda.
"Nah, pokoknya itu. Omong-omong, kamu bukan orang sini, ya?" tanya Mak Rodiah memicingkan matanya. Ia memandang sang pemuda dengan penuh selidik. "Kamu mau ke rumah siapa? Ada hubungan apa kamu sama penghuni perumahan sini? Rumahmu mana? Bapakmu kerja apa? Kamu lulusan apa? Udak kerja belum? Kerjanya apa? Punya gaji berapa? Udah punya rumah belum?"
"Eh?" Baru sekarang ia menemui emak-emak model wanita tua itu, yang terancam ditabrak bukannya memusuhi malah menginterogasi. Mana pertanyaannya bikin keki pula. Jangan-jangan wanita tua ini mantan polisi, duga pemuda itu. Bisa gawat kalau begitu.
Dia mundur teratur. Nyalinya langsung menciut. Pasalnya dia ke sini untuk mengapel gebetannya yang tinggal di perumahan itu.
Dia yakin wanita tua itu pasti salah satu tetangga gebetannya. Dia sedang berusaha menampilkan citra cowok kulkas--cool dan memiliki kas yang penuh alias kaya--di depan sang gebetan. Jadi, seandainya gebetannya tahu tentang kejadian ini, kesan cool-nya pasti hancur.
Dan, jika wanita tua itu benar mantan polisi, bisa-bisa dia dipenjara. Mau ditaruh mana mukanya seandainya dia dipenjara? Bukannya apa-apa. Nanti kalau di sana ditanya napi lain tentang kesalahannya, dia bakal menjawab apa? Menabrak nenek-nenek tapi gagal? Bah! Sungguh tidak keren sama sekali.
Tak mau menambah suram masa depannya, pemuda itu pun memutuskan mundur. Sembari hatinya menyumpah, ia kembali ke motor, memakai helm, lalu melaju, meninggalkan Mak Rodiah yang tersenyum puas.
"Emak-emak dilawan," gumamnya. Setelah mencerocos tadi, hati Mak Rodiah berangsur tenang. Ia tak gemetar lagi. Baginya, mencerocos adalah jalan ninjanya untuk menenangkan diri.
Ia lantas melanjutkan perjalanannya ke barat, menjadi pengawal, mencari kitab suci. Oh, bukan, itu kera sakti.
Dia melangkah ke toko di ujung gang. Toko itu tidak menghadap ke jalan di mana Mak Rodiah hampir tertabrak. Dia harus membelok. Ketika sampai di depan toko, dia melihat Bu Yayuk di sana.
Bu Yayuk bukan si penjual. Tetapi rasanya dia selalu ada di mana-mana. Bak ayam yang tengah bertelur, saat mendapat sesuatu yang membuatnya bisa menyombong, ia akan keliling komplek dan memamerkannya. Padahal ia sudah membagikan kabar itu lewat sosial media. Ibu-ibu yang lain sampai bosan mendengarnya.
Namun, selain menyombongkan diri, Bu Yayuk kerap membagikan kabar yang didapatnya dari para tetangga. Berbeda dengan Mak Rodiah yang menyebar informasinya lewat grup atau pertemuan rahasia yang tak rahasia amat, Bu Yayuk menyebar kabar dari rumah satu ke rumah yang lain. Tidak efektif, bukan? Tetapi, dengan cara begitu dirinya merasa lebih puas.
Seperti sekarang, ketika dia sedang membeli gula di warung Bu Aya. Dia memamerkan anaknya yang berhasil menjadi karyawan bank. "Enak, Bu. Di bank kan adem. Ada AC. Nggak bakal bau kecut karena keringatan. Gajinya lumayan pula."