Suara ketukan dari pintu terdengar samar. Ilham bahkan tak mendengarnya apabila tidak sengaja memelankan suara televisi. Ia tengah mencoba menghubungi seseorang lewat ponsel. Namun, gagal. Orang yang diteleponnya tidak menjawab.
Sesungguhnya ia tahu orang yang dihubunginya pastilah sibuk pada waktu-waktu begini. Malah justru pada siang hari dia lebih leluasa. Kendati harus mengorbankan jam kerjanya untuk menghubungi orang tersebut, Ilham tak keberatan karena hasilnya pun setimpal.
Malam ini begitu sepi. Istri yang biasa menyiapkan segala kebutuhannya tidak ada. Jadi, ketika ketukan itu terdengar mau tak mau Ilham turun dari sofa ruang tamu dan melangkah ke pintu.
"Ada apa, Mak?" tanyanya ketika melihat profil wanita tua yang merupakan tetangga sebelah rumah berdiri di depan pintu. Matanya melirik plastik bening yang berisi sesuatu berwarna kuning kecokelatan yang tengah dijinjing tamunya.
Tadi, seusai mendengar kesaksian Bu Aya, Mak Rodiah bergegas meninggalkan warung tersebut. Ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia mampir dulu ke rumah Arini.
Wanita tua itu membuka kunci gerbang rumah tetangganya sepelan mungkin, sembari sesekali matanya menengok pintu rumahnya sendiri. Ia tak mau tepergok mampir ke rumah Ilham oleh anaknya yang mungkin tiba-tiba keluar rumah. Saat mengetuk pintu untuk menamu pun dia lakukan dengan pelan.
Kini, setelah penghuni rumah yang diketuknya membuka pintu, tanpa menunggu dipersilakan, Mak Rodiah masuk. Sembari melewati pintu, ia menuduh, "Ham! Kamu bohong ya?"
Ilham yang heran mengerutkan kening. "Bohong apa, Mak?"
Mak Rodiah melangkah masuk lebih dalam. Berbeda dengan rumah Mak Rodiah, rumah Arini sedikit lebih lapang. Tak ada ruang tamu. Sebagai gantinya, ruang tengah rumah itu besar. Seperangkat sofa dan meja kotak dari kayu tertata di dekat jendela, di samping pintu.
Dari sana tampak bufet berdiri di tengah ruangan, di dekat tembok pemisah antara ruangan tengah dan dapur. Di tengahnya terdapat televisi layar datar yang besar. Di bagian kanan dan kiri bufet berjajar barang-barang pajangan. Di bagian atasnya tersusun buku-buku. Di lantai depan bufet ada karpet dengan bulu lembut dan tebal. Biasanya, ia dan Arini duduk-duduk di sana atau rebahan sembari menonton drama korea dari ponsel yang terhubung ke televisi.
Setelah masuk ke rumah Arini, Mak Rodiah langsung duduk dengan kaki menyilang di sofa ruang tamu. "Kamu bilang ke Pak RT kalau Arini kabur. Kamu bohong, kan?"
Sekilas tampak selembar surat di meja. Mak Rodiah sempat membaca nama Arini di bagian kanan bawah, tempat biasanya untuk tanda tangan, sebelum Ilham merenggutnya lalu menyembunyikannya di balik tubuh. Namun, ia tak melihat coretan tangan Arini di sana. Ada nama Ilham juga di bagian atas. Meski begitu, ia tak tahu surat apa itu. Dari kop sepertinya itu merupakan surat resmi.
Wajah Ilham memerah. Ia kesal karena Mak Rodiah telah berlaku tidak sopan, menyelonong masuk seenak jidat. Ditambah tuduhan itu membuatnya tak sabar. "Emak jangan nuduh sembarangan!"
"Aku nggak nuduh, Ham! Aku cuma tanya." Mak Rodiah menepuk meja beberapa kali. "Ayo duduk dulu." Beberapa kali matanya melirik surat yang disembunyikan oleh Ilham. Meski penasaran, ia menahan diri untuk tidak bertanya. Surat itu pastilah surat pribadi yang Ilham tak mau berbagi pengetahuan. Ia tak mau membuat Ilham tambah marah dengan mendesak surat apa itu.
Lelaki itu tampak merengut. Dia adalah si tuan rumah yang merasa seperti tamu. Walau begitu, ia menurut. Ia duduk di depan Mak Rodiah.
"Jadi, gini lho, Ham," Mak Rodiah berkata selembut mungkin. "Tadi aku tuh ke warung Bu Aya. Dia bilang, dia nggak melihat Arini pergi dua hari lalu. Jadi, aku mengambil kesimpulan kalau kamu bohong. Arini nggak kabur. Aku tuh tahu dia istri baik-baik. Nah, kalau Arini nggak kabur berarti kan kamu yang bohong."
Ilham mendengkus meremehkan. "Arini pasti kabur, Mak. Lagi pula, bisa saja Arini nggak lewat depan toko itu. Bisa saja dia ngambil jalan memutar. Orang kabur kan pastinya nggak mau diketahui orang. Jadi, dia milih lewat jalan lain."
Kening Mak Rodiah mengerut. Butul juga, batinnya. "Tapi, kok kamu tahu kalau dia kabur? Emang dia bawa koper?"
"Dia kabur, Mak. Bukan piknik."
"Lha iya, maksudku orang kabur kan bawa perlengkapan."
Ilham menggeleng. "Enggak, Mak. Arini kabur gitu aja. Orang dia bawa ponsel."