Peluh Mak Rodiah menetes di balik jilbab pink-nya. Daster yang panjangnya di bawah dengkul tak menghentikan langkahnya yang lebar. Sandal jepitnya menginjak kerikil hingga berbunyi. Tetapi, bunyi itu kalah dengan deru motor pengendara ojek online yang datang silih berganti, mengantar pesanan para penghuni komplek.
Matahari hampir menuju puncak ketika dia berjalan ke pos satpam. Ia akan menanyai Pak Satpam perihal Arini. Dia tak bisa melakukannya kemarin karena sudah terlalu malam. Tadi pagi pun, setelah bangun dan salat subuh, dia harus meniyiapkan makanan terlebih dahulu. Ratih belum sehat betul. Wajahnya pucat. Mual masih mendera. Karena kasihan, Mak Rodiah menyuruhnya istirahat. Nanti kalau sampai sore belum sembuh, Lanang akan mengantarnya periksa ke dokter.
Semalam Mak Rodiah mencari pentunjuk tentang laki-laki yang membawa pergi Arini lewat sosial media, terutama Facebook. Mak Rodiah tak bisa membuat akun Facebook. Tetapi dulu, dia meminta tolong Arini membuatkannya. Orang yang pertama kali add-friend juga Arini. Dari dia pula Mak Rodiah bisa tahu cara berselancar di aplikasi itu. Biasanya, ia bermain aplikasi itu untuk membaca keluh kesah orang-orang di dunia maya. Ia tergabung dalam grup Curahan Hati Emak No Bocor-Bocor. Kadang, membaca kisah-kisah mereka membuatnya lebih mensyukuri hidup.
Jika ada anggota grup yang meminta saran dalam menghadapi suami penyelingkuh, Mak Rodiah tak ragu untuk berkomentar supaya mengajaknya duduk bersama, membicarakan dengan kepala dingin. Tak lupa, kepada sang istri, Mak Rodiah mengusulkan supaya menyajikan teh yang telah dicampur sianida kepada sang suami.
Terkhusus untuk kasus lelaki yang suka main tangan alias KDRT, Mak Rodiah mengetik "Mari kita keroyok ramai-ramai!" sebagai saran. Dia memang bar-bar di sosial media.
Selain Facebook, Arini juga mengajarkan Instagram. Mak Rodiah mengikuti hampir semua artis, baik yang masih kecil sampai yang sudah tua. Oh, maaf, maksudnya yang sudah berpengalaman. Namun, ia paling suka mengikuti orang-orang yang pamer kekayaan. Baginya, hal itu dapat menimbulkan penyakit iri, gagal bersyukur, nyinyir berlebih, gangguan hati, dan halusinasi. Tetapi, setelah tahu bahwa itu hanya konten, ia marah, merasa tertipu. Dari sanalah ia dapat membedakan mana hoax, mana berita benar. Dia mampu berpikir lebih kritis, kecuali kalau sedang khilaf. Dan, dia lebih banyak khilaf ketimbang hiraunya.
Pada dua aplikasi tersebut, tak ada tanda-tanda yang ganjil pada unggahan Arini. Di Facebook, unggahan terakhirnya adalah sebuah kata-kata mutiara yang isinya tentang manusia adalah makhluk egois. Mak Rodiah menjelajah lini masa Arini pada waktu sebulan terakhir. Tak ada apa-apa di sana. Tak ada komentar dari laki-laki yang tidak dikenalnya. Tak ada like dari akun yang mencurigakan. Ketika beralih ke Instagram, tak terlihat interaksi apa pun dengan akun baru. Kebanyakan yang menyukai postingannya adalah temannya, Vivi, dan ibu-ibu komplek. Gambar yang diposting pun hanya kegiatannya ketika mengikuti arisan PKK dan foto-foto hasil masakan.
Merasa tak mendapat petunjuk dari dunia maya, Mak Rodiah beralih ke dunia nyata.
Waktu sudah menunjuk pukul 10 ketika dia selesai menjemur pakaian. Segera, dia menuju pos satpam.
Perjalanan ke sana cukup melelahkan. Sebab, letaknya di ujung gang lain. Dia harus berjalan ke sudut sampai ke tembok tinggi pembatas perumahan kemudian berbelok ke kiri. Setelah melewati dua rumah, dia berbelok lagi ke kiri sampai ke ujung jalan, tempat pos satpam berada. Sebenarnya lewat depan toko Bu Aya bisa, tetapi tadi Mak Rodiah pikir di sana ramai, dipakai lalu lalang kendaraan. Namun rupanya sama saja. Nanti setelah dari pos, dia akan memilih jalan depan toko Bu Aya saja untuk pulang.
Pak Satpam tengah duduk di depan pos ketika Mak Rodiah datang. Ia duduk di kursi panjang dengan kaki yang dinaikan satu. Kancing seragamnya terbuka sehingga memperlihatkan perut yang buncit. Tangannya yang berbonggol besar mengelus kepalanya yang hampir pelontos. Matanya mengamati kendaraan yang lalu lalang di jalan.
"Pak!" seru Mak Rodiah menghampiri.
Satpam itu menengok, lantas duduk dengan benar. Ia tersenyum. Kulitnya yang gosong terkena matahari dan tampangnya yang sangar membuatnya gagal menampilkan kesan ramah. Meski begitu, Mak Rodiah tak takut. Ia tahu kebribadian lelaki itu tidak segarang tampangnya.
Mak Rodiah lantas duduk di samping Pak Satpam. "Saya mau tanya."