Seharian ini Mak Rodiah sibuk sekali. Setelah apel Pak Satpam, ia pulang. Ia memilih lewat depan toko Bu Aya. Dan, ketika lewat di depan para tukang ojek yang biasanya mangkal, Mak Rodiah membuka mata lebar-lebar, mengamati satu per satu wajah mereka. Ia mencari Kang Ojek yang memiliki ciri-ciri sama dengan yang disebutkan oleh Pak Satpam tadi.
Jaket dan helm mereka yang berwarna sama membuat Mak Rodiah sedikit kesulitan mengidentifikasi. Matanya dipaksa memicing.
Di sana ada sekitar enam orang pengemudi ojek online. Masing-masing sedang menunduk, mengamati ponsel yang berada di genggaman tangan mereka. Beberapa ada yang merokok. Meski jika ingin menggunakan jasa mereka harus lewat online, mereka sering nongkrong di luar alih-alih di rumah. Biar dikata kerja oleh para tetangga. Lagi pula, jika menunggu di rumah, mereka bosan melihat wajah istri-istri mereka yang selalu merengut. Salah satu tongkrongan mereka adalah di depan komplek perumahan Mak Rodiah, dekat warung Bu Aya.
Mak Rodiah mengamati para pengemudi ojek online tersebut dengan teliti. Ketika salah seorang di antara mereka sadar telah diamati dan balik memelototinya, barulah ia berhenti. Ia menegakkan punggung dan berdeham. Tangannya spontan terayun ke depan dan belakang. Pandangannya ditolehkan. Ia melangkah dengan gugup.
Selepas tiga langkah, ia menoleh ke arah mereka lagi. Namun, Kang Ojek tadi masih memelototinya. Bahkan, saking fokusnya memelototi Mak Rodiah, teman sebelah yang tampak sedang bicara tak digubris oleh Kang Ojek tersebut. Dia sampai harus menyenggolnya supaya mendapat perhatian.
“Ada apa, sih?” celetuk temannya itu, mengakibatkan Kang Ojek yang masih memelotot menoleh.
“Ada nenek-nenek yang mencurigakan,” jawabnya mengedikkan dagu ke arah Mak Rodiah yang bertingkah aneh.
Sadar dirinya sedang dibicarakan, wanita tua itu tersenyum secara paksa. Satu tangannya melambai, seolah berkata, “Abaikan saja aku. Aku hanya debu yang nyelip di kuku jari kaki.” Tetapi, justru debu itulah yang dapat membuat kaki berbau busuk.
Kang Ojek itu pun bangkit. Sembari memasukkan ponsel ke saku celana jins, ia menghampiri Mak Rodiah. “Ibu kenapa ngelihatin kami tadi?” tanyanya.
“Ah, enggak apa-apa, kok!” Mak Rodiah tersenyum kikuk. Ia menautkan jemarinya dengan gugup. "Perasaan kamu aja."
“Ibu mau pesan ojek? Tapi nggak tahu caranya, atau gimana?” tanyanya lagi.
Kang Ojek itu bertubuh besar. Tidak sebesar Pak Satpam. Perutnya pun tidak sebuncit perut Pak Satpam. Tingginya hampir sama dengan Mak Rodiah. Usianya, ia perkirakan sekitar tiga puluhan tahun. Rambutnya sepanjang lima centi, disisir rapi ke belakang dan memakai jel. Ia mengenakan masker yang diturunkan sampai ke dagu. Matanya masih melotot. Rupanya, setelah diperhatikan dari dekat, mata Kang Ojek itu tidak melotot karena marah, tetapi memang sudah dari sananya begitu. Kelopaknya terbuka lebar sehingga terkesan memelotot.
Mak Rodiah mendesah lega. Tadi, ia takut bakal dikeroyok para pengendara ojek itu karena sudah bersikap tak sopan. Namun, setelah merasa aman, ia pun menjawab, “Enggak kok, Mas. Sebenarnya saya lagi nyari orang. Dia tukang ojek juga. Biasanya mangkal di sini. Tetapi beberapa hari ini nggak kelihatan lagi.” Ia berdusta sedikit.
“Oh, memangnya namanya siapa, Bu?”
“Saya nggak tahu. Tapi ciri-cirinya tahu. Orangnya tinggi, kurus. Giginya gingsul.”