Kampung Arini ternyata tidak jauh-jauh amat. Terletak di perbatasan kota. Perlu sekitar satu setengah jam menaiki motor. Meski begitu, tetap saja ketika turun, bokong Mak Rodiah terasa panas. Dengkulnya susah diluruskan, apalagi menopang berat badan. Ia berhenti sebentar, bersandar pada dinding tembok rumah orang sebelum masuk ke gang tempat tinggal kakak Arini.
Dari informasi yang diberikan Vivi kemarin, suami kakak Arini bernama Mustofa.
Sembari menunggu sendinya pulih, Mak Rodiah mencegat orang yang kebetulan lewat. Ia bertanya ke arah mana rumah Pak Mustofa.
“Masuk gang ini, belok kanan. Rumah bercat hijau telur asin, Bu,” infonya.
Mak Rodiah mengucapkan terima kasih. Ia menyuruh Gugun menunggunya di sana saja. Sebab, gang itu sempit. Lebarnya sekitar satu meter lebih sedikit, diapit oleh tembok rumah dan pagar. Susah jika digunakan motor untuk berbalik arah.
Mak Rodiah lantas masuk ke gang itu. Kira-kira 15 meter setelah masuk gang, di belakang tembok yang mengapit, ada rumah kecil selebar lima meter. Seorang anak kecil bermain sepeda mini di jalan yang jauh lebih longgar dari mulut gang tadi. Ibunya tampak sedang menjahit di dekat jendela. Sebuah motor terparkir di dekat pintu. Mak Rodiah merasa pernah melihat plat nomor motor itu, tapi ia lupa di mana.
Ia mengangguk dan tersenyum ketika ibu itu melihatnya lewat. Begitulah adab orang dari suku Jawa. Meski tidak kenal, mereka saling menyapa walau hanya berupa anggukan. Mak Rodiah masih menjunjung adat tersebut.
Ia berjalan lagi ke dalam gang. Di samping rumah itu ada kebun. Luasnya sekitar lima puluhan meter persegi. Di sana tertanam pohon cabai yang tingginya hanya sepinggang. Setelah kebun ada belokan ke kanan. Merasa yakin jalan itu yang dimaksud orang tadi, ia pun berbelok. Sembari melangkah, ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencari rumah bercat hijau telur asin. Ada sekitar lima rumah lagi yang dilewatinya sebelum menemukan rumah yang dicari.
Rumah kakak Arini cukup besar, namun bangunannya tampak kusam dan reot. Sepertinya rumah itu sudah berdiri lama. Lebarnya sekitar 10 meter. Atapnya rendah. Ada empat pilar dari beton di depan, berjajar menyangga ujung atap teras. Lantainya pun masih berupa ubin. Di sudut kanan teras terdapat seperangkat kursi rotan berlengan, berdiri berjajar. Tak ada meja di depannya. Sebagai ganti, ada beton setinggi paha yang memanjang dari sudut rumah ke pilar samping.
Mak Rodiah naik ke undakan kecil di tengah, di antara dua pilar yang tak terhubung beton. Ia berseru permisi pada pintu yang terbuka. Dari sana ia melihat dengan samar isi rumah yang remang. Tampak seorang anak kecil duduk membelakanginya di lantai, beralaskan tikar dari anyaman daun andhong, menonton telivisi yang menyala di tengah bufet besar. Dilihat dari ukuran tubuhnya, Mak Rodiah memperkirakan usia anak itu sekitar tiga atau empat tahunan.
“Assalamualaikum!” serunya. Anak kecil itu menoleh. Rambutnya yang dikucir dua mengelepak seperti telinga anjing jenis bloodhound.
“Bu!” serunya sembari bangkit dan masuk ke dalam. Tungkainya tampak kurus ketika dia melangkah.
Tak seberapa lama, seorang wanita keluar dari pintu di samping ruang televisi itu. Sembari melangkah, ia mengusap kedua telapak tangannya ke sisi baju.
“Ya? Cari siapa, ya, Bu?” tanyanya ketika melewati pintu depan. Matanya yang lebar menyipit memandang profil tamunya. Rambutnya yang pendek di bawah bahu dikuncir ke belakang. Ia memakai setelan longgar berwarna krem kusam.
Anak kecil tadi mengikutinya. Salah satu tangannya menarik ujung baju yang dikenakan ibunya. Ia mengintip dari balik badan sang ibu.
“Apakah benar ini rumahnya Pak Mustofa?”
“Betul,” jawab kakak Arini. “Tapi, suami saya sedang nggak ada di rumah. Main. Entah ke mana. Sepertinya mancing.”
“Saya ingin bertemu dengan kakaknya Arini, Bu Mustofa namanya,” jelas Mak Rodiah.
“Oh, saya, kalau begitu.” Kernyitan yang menghiasai wajahnya tadi berangsur menghilang. “Nama saya Indri, bukan Bu Mustofa. Ya, kalau ibu-ibu PKK sih tahunya Bu Mustofa. Biar gampang diingat,” tambahnya mencerocos. “Omong-omong ibu ini siapa?”
“Saya tetangganya Arini.”
“Oalah!” seru Indri kemudian tersenyum. ”Saya kira siapa. Mari, silakan duduk.” Dia menyilakan tamunya duduk di kursi rotan di teras. Ia lantas kembali ke dalam, membuat teh. Anaknya mengikuti.
Sembari menunggu, Mak Rodiah menatap sekeliling rumah Indri. Udara di sana cukup asri, meski begitu karena jarak antara rumah satu dengan yang lain begitu rapat, membuat nuansanya sedikit pengap.
Di depan rumah itu, di seberang jalan yang hanya selebar satu setengah meter terdapat rumah yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Rumah itu sudah reot. Pintunya dikunci dengan gembok. Di depan pintunya terdapat rangka sepeda yang teronggok hingga dipenuhi debu dan sarang laba-laba.
Di samping rumah itu ada pos ronda. Bangunannya lebih kokoh ketimbang rumah itu. Di depan pos ronda, tepat di samping rumah Indri ada rumah lain yang memiliki gerbang berteralis besi. Setengah bagiannya terpasang mika berwarna biru gelap sehingga orang-orang yang lewat tak dapat mengintip.
“Saya pikir tadi petugas kelurahan, lho, Bu,” kata Indri datang membawa baki yang berisi dua gelas teh dan sepiring biskuit. Ia meletakkannya di atas beton di depan Mak Rodiah. Anaknya masih mengekor. Sembari duduk di kursi samping Mak Rodiah, Indri menambahkan, “Soalnya pakaiannya rapi banget.”
Mak Rodiah tersenyum. Memang, kalau pergi jauh, dia berpakaian rapi. Biasanya, dia memakai kebaya katun sebagai atasan dan rok hitam panjang (saat membonceng motor tadi, ia menaikkan roknya sampai sedengkul. Untung ia memakai celana ketat panjang di balik roknya). Sepatu selop melengkapi penampilannya. Ia tak memakai konde, sebagai ganti, ia memakai jilbab praktis dengan panjang sedada. “Hari Minggu petugas kelurahan pasti libur,” tanggapannya.
“Iya, juga, sih,” balas Indri tersenyum. Ia berbisik kepada sang anak yang menggelayuti lengannya. Dengan muka masam, sang anak pun masuk ke rumah. Indri kembali tersenyum ke arah tamunya. “Monggo, silakan disambi.”
Mak Rodiah mengambil teh yang disediakan untuknya. Ia menyeruputnya sedikit. Teh itu masih panas. Jadi, ia meletakkan kembali ke tempatnya.