Pantas saja Vivi marah. Pantas saja dia tak dapat dihubungi begitu Mak Rodiah berkata bahwa mantan Arini-lah yang membawanya kabur. Kini, Mak Rodiah tahu alasannya. Rupanya, mantan Arini merupakan suami Vivi. Wah, tanpa sadar wanita tua itu telah menimbulkan perang dunia ke dalam rumah tangga Vivi. Padahal, ia tak sengaja berbuat seperti itu.
Dulu, ia berkata demikian karena tak mendapati Arini dekat dengan laki-laki baru. Jadi, ia simpulkan bahwa mantannya-lah si pelaku. Namun, setelah dipikir kembali, masa Arini hanya punya satu mantan? Tidak mungkin, kan? Jadi, pikiran buruk Vivi-lah yang salah. Pokoknya Mak Rodiah tidak pernah salah.
Selepas pamit kepada Indri dan memberikan sedikit uang saku untuk anak Indri, yang kemudian mendapat ucapan terima kasih berlebih dari Indri, Mak Rodiah kembali ke depan gang, di mana Gugun telah menunggu. Ia mencincingkan rok panjangnya hingga sepaha ketika akan membonceng. Namun nahas, kaki kanannya yang terangkat saat akan membonceng menyenggol sisi jok. Ditambah Gugun yang hanya menahan motor dengan satu kaki—kaki satunya sedang digunakan untuk menyepak penyangga motor—membuat keseimbangannya goyah. Motor oleng, kemudian jatuh. Begitupun dengan Gugun dan Mak Rodiah yang setengah pantatnya baru menyentuh jok ketika motor itu jatuh.
“Eh ... eh ... eh, gimana sih ini? Kamu bisa nahan motor, nggak?” Mak Rodiah protes. Ia terjatuh dengan pantat menyentuh tanah lebih dulu. Namun untungnya, ia tak tertimpa badan motor.
Seorang gadis yang kebetulan lewat segera membantu Mak Rodiah berdiri. “Lah, kok bisa jatuh? Kalau naik motor, ati-ati, Mas! Apalagi waktu bawa penumpang!”
“Iya, nih! Nggak bener banget! Masa pegang motor aja nggak kuat.” Mak Rodiah yang berhasil bangkit menepuk-nepuk roknya yang kotor. Ia kesal. “Untung belum jalan. Kalau udah, bisa bahaya.”
Tangan Gugun tampak gemetar ketika berhasil membuat motornya kembali berdiri. “Maaf, Bu. Tadi belum sarapan. Habis, Ibu berangkatnya minta pagi, sih!”
“Duh, Mas! Lain kali sarapan dulu kalau mau kerja,” sahut gadis yang menolong Mak Rodiah tadi.
“Iya, iya, Mbak!” kata Gugun.
“Lho, kok Mas malah melototi saya?” nada gadis itu meninggi.
“Mata saya memang sudah dari sananya begini!” ucap Gugun jengkel.
Mak Rodiah yang berhasil merapikan kembali roknya pun ikut bicara. “Iya, Mbak! Emang sudah dari sana—lho!” Ia terkejut ketika melihat profil gadis yang membantunya. “Lastri?”
“Eh, Ibu? Kok sampai ke sini?” Rupanya gadis itu adalah Lastri.
“Kamu sendiri kok sampai ke sini?” tanya Mak Rodiah masih terkejut.
“Lha, rumah saya memang di daerah sini. Saya ngekos di kota sebelah karena kerjanya di sana.”
“Oh ....” Mulut Mak Rodiah membulat ketika mengucap itu. Ia lantas beralih ke Gugun dan berkata, “Ya udah, kamu sarapan dulu. Aku mau mampir ke rumahnya Lastri." Lalu ia menambahkan, "Boleh, kan?"
Gadis berpotongan rambut bob itu pun mengiakan. “Rumah saya nggak jauh kok. Masuk gang ini, lurus saja. Sebelum kebun. Tuh, dari sini kelihatan,” katanya menunjuk.
“Ibu kamu penjahit, ya?” tanya Mak Rodiah penasaran.
“Kok, tahu?” Lastri heran. “Pasti Ibu mau gombalin saya, ‘karena kau telah mengobras hatiku.’ Gitu, kan?”
“Dih! GR!” Mak Rodiah mengibaskan tangannya. “Tadi aku lewat depan rumahmu. Kamu punya adik yang masih kecil juga, kan?”
“Iya, itu adik saya.” Lastri lantas berjalan masuk ke gang. “Mari, Bu! Rumah saya kecil, lho!”
“Ah, yang penting nyaman ditinggali,” sembari berkata seperti itu, Mak Rodiah mengikuti Lastri. Sebelumnya ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dan memberikannya kepada Gugun untuk membeli sarapan. Uang muka bookingan hari ini, katanya. Dan, Gugun pun berlalu. Ia berjanji akan cepat kembali untuk menjemput Mak Rodiah.
Rumah Lastri memang kecil. Hanya seluas lima puluh meter persegi. Lantainya masih berupa tanah. Ibunya yang tengah menjahit di dekat jendela tadi menyambut ketika Lastri pulang dan membawa seorang wanita tua asing yang sudah dua kali menyapanya tadi.
Setelah memperkenalkan sang tamu kepada ibunya, Lastri membawa Mak Rodiah duduk di teras rumah. Adiknya masih sibuk bermain sepeda mini roda tiga di dekat sana. Ibunya menawari minuman yang segera saja ditolak oleh Mak Rodiah. Ia tak mau perutnya kembung kebanyakan teh.
“Ibu kok sampai sini?” tanya Lastri setelah ibunya kembali ke dalam, melanjutkan pekerjaannya.
“Iya, aku habis ke rumah Indri, kakaknya Arini, buat tanya-tanya,” jawab Mak Rodiah jujur.
“Tanya apa?” Kening Lastri mengkerut.
“Ya, tanya tentang Arini. Soalnya sampai sekarang Arini belum pulang ke rumah. Katanya sih, dia kabur. Nah, aku pengin tahu kira-kira Indri tahu nggak tentang laki-laki yang membawa Arini. Gitu.”