Lastri tidak sepenuhnya benar. Nyatanya, saat Mak Rodiah dan Gugun sampai di lampu merah setelah pasar yang dia maksud tadi, orang-orang tidak tahu di mana persisnya rumah Doddy. Dari empat orang yang ditanya, hanya satu yang tidak menjawab tak tahu. Kebetulan, orang itu adalah penjual bakso di dekat pasar.
“Doddy yang mana, Bu? Doddy di sini ada tiga,” jawab sang penjual bakso setelah mengantar pesanan ke meja Mak Rodiah.
“Doddy si tukang ojek online, tetapi bukan dari perusahaan yang sama dengan teman saya ini,” kata Mak Rodiah menunjuk Gugun yang duduk di depannya. Karena waktu sudah memasuki Dzuhur, ditambah matahari sedang berjaya di atas kepala, plus perut yang sudah keroncongan, Mak Rodiah memutuskan mampir ke salah satu warung di dekat pasar. Warung bakso itu berada di sebelah perempatan samping pasar, melambai-lambai menggoda mata Mak Rodiah. Mata yang tergoda itu segera menyampaikan kepada otak, yang kemudian diteruskan kepada kelenjar ludah supaya memprokduksi air liur lebih banyak dan kepada cacing-cacing di perut yang segera saja mengangkat papan-papan dan menyerukan orasi, menuntut sembako turun ke lambung.
Warung itu tampak sepi ketika Mak Rodiah masuk. Hanya ada dua pengunjung. Semuanya laki-laki. Mak Rodiah melihat mangkuk-mangkuk mereka yang setengah kosong namun mereka sudah berhenti makan. Sebuah prasangka terbentuk di kepala Mak Rodiah: pasti baksonya tidak enak.
Wanita tua itu berniat balik badan, tetapi sang penjual yang merupakan lelaki kurus dengan serbet tersampir di bahu sudah menyambutnya. Mak Rodiah terpaksa masuk dan duduk di salah satu kursi yang disediakan. Ia memesan satu mangkuk bakso dan es teh, sedangkan Gugun hanya memesan es teh saja. Masih kenyang, katanya.
Tak mau menyia-nyiakan uang yang akan dikeluarkan demi bakso yang tak digemari itu pun, Mak Rodiah mencoba mengambil informasi dari sang penjual. Ia bertanya keberadaan rumah Doddy.
“Lha iya. Ketiga-tiganya sekarang jadi tukang ojek,” jelas sang penjual bakso. “Ada Doddy yang dulunya buruh pabrik, tapi waktu pandemi di-PHK. Sekarang, dia menjadi tukang ojek online. Yang satunya Doddy guru honorer yang merangkap menjadi tukang ojek juga. Sedangkan satu lagi Doddy—“
“Doddy si pejabat yang juga jadi tukang ojek?” potong Mak Rodiah. Cari satu orang aja ribetnya minta ampun, gerutunya dalam hati sembari mengentakkan botol saos kuat-kuat sebagai pelampiasan atas kekesalannya.
“Kok, Ibu tahu?” Mata sang penjual bakso membulat. “Ibu nyari Doddy yang itu?”
Mak Rodiah memutar bola matanya. “Mana ada seorang pejabat turun level jadi tukang ojek?” tanyanya skeptis.
“Ada, Bu! Rumahnya di belakang sana. Dari lampu merah, Ibu belok kiri. Tiga gang ke kanan. Ada rumah bercat krem.”
“Beneran ada?” Gugun menimpali. Ia penasaran. “Gimana ceritanya, pejabat kok jadi tukang ojek?”
“Bisa,” jawab sang penjual bakso menggebu-gebu. Ia duduk di samping Mak Rodiah. “Pada pemilihan yang dulu, ia ikut nyalon sebagai kepala desa lalu terpilih. Nah, setelah masa jabatannya habis, dia nyalon lagi. Sayangnya dia kalah. Padahal dia udah menggelontorkan uang yang banyak untuk kampanye. Duit korupsi saat menjabat dulu juga udah dipakai untuk nyuap warga dengan sembako dan serangan fajar. Tapi, tetep aja kalah pamor sama calon dari partai sebelah. Alhasil, hartanya habis. Alhamdulillahnya, dia belum gila. Nyaris, sih. Sekarang jadi tukang ojek online.”
“Jadi tukang ojek untuk nafkah anak istri? Syukur kalau gitu. Itu tandanya hartanya sedang dibersihkan oleh Allah Swt. Dari awalnya hasil korupsi yang jelas-jelas haram menjadi hasil keringat sendiri yang halal,” ujar Gugun dengan bijak.
“Dih, siapa bilang?” Sang penjual bakso menggeleng kuat-kuat. Ia juga melambaikan tangannya heboh. “Dia ngojek buat modal nyalon lagi. Nanti kalau udah berhasil mau korupsi lagi. Dia bertekad bakal korupsi secara totalitas kalau jadi.”
“Astaga dragon ....” Gugun mengelus dada.
“Kalau Doddy yang giginya gingsul?” sahut Mak Rodiah di tengah kunyahannya.
“Yang giginya gingsul ada dua.”