Jantung Mak Rodiah berdetak kencang ketika turun dari motor. Sandalnya menginjak kerikil di tepi jalan. Ujung roknya berangsur turun, tertarik gravitasi, menutupi betis yang dibalut celana leging hitam. Matanya menatap pintu rumah Doddy dengan was-was. Ia melangkah lamban, sembari dalam hati berharap tak melihat sesosok lelaki keluar dari pintu itu. Pasalnya, ia bertaruh pada dirinya sendiri bahwa sang pemilik rumah pastilah tidak ada. Kalau ada, akan runyam jadinya. Sebab, ia salah menerka sang tersangka dan harus kembali ke penyelidikan awal. Mak Rodiah pun khawatir. Andai benar Doddy yang telah melarikan Arini, setidaknya ia tahu wanita itu baik-baik saja. Namun, jika bukan Doddy, siapa lagi? Pokoknya harus Doddy.
Mak Rodiah mengucap salam dengan ragu. Ia berdiri tepat di depan pintu yang terbuka. Dari sana ia bisa melihat ruang tamu yang sempit. Lebarnya kira-kira hanya dua meter lebih sedikit. Ruang itu terdiri dari satu kursi kayu panjang, satu kursi kayu single, dan meja. Kayu-kayu itu tampak kusam karena tanpa dipernis, seolah baru setengah jadi. Ada satu almari berpintu kaca bening setinggi pinggang di pojok ruangan. Almari itu berisi pajangan dan souvenir-souvenir dari pernikahan. Di sudut lain terdapat tirai kusam yang menutupi pintu ke bagian dalam rumah.
Angin yang berembus membuat tirai itu tersingkap sesekali. Tampak sekilas layar televisi yang menyala dari ruangan di balik tirai itu. Mak Rodiah mengucap salam keras-keras. Namun, tak ada orang yang menyahut.
Gugun yang sudah memarkir motornya bergabung dengan Mak Rodiah. Karena suara laki-lakinya yang menggelegar, salamnya dibalas dari dalam rumah itu. Seorang laki-laki tampak menyingkap tirai. Rambut berantakannya mengintip. Keningnya tertaut. Setengah badannya telanjang. Di dadanya terlihat guratan merah yang mengalur membentuk seperti tulang ikan. "Ya? Siapa, nggih?"
Jantung Mak Rodiah mencelus melihat giginya yang gingsul. Tidak, batinnya. Dia pasti bukan Doddy. Dia mungkin adiknya.
Sembari berjalan ke depan, lelaki itu mengenakan kaus, menutupi bekas kerok di dada. "Ibu nyari siapa?" tanyanya.
Wanita tua itu rasanya mau pingsan. Padahal, dia sudah yakin betul bahwa Doddylah yang membawa Arini pergi. Namun, setelah melihat makhluk di depannya itu, keyakinannya seolah amblas di telan bumi. Sekarang, ia tak tahu lagi ke mana Arini pergi.
"Bu!" Gugun yang melihat Mak Rodiah pucat pasi pun segera mencengkeram kedua bahunya. "Mas, boleh duduk dulu nggak? Kayaknya Ibu ini nggak sehat," tambahnya meminta izin sang pemilik rumah.
"Boleh, boleh! Silakan!" Tergerak oleh rasa kemanusiaan, lelaki berponi miring itu pun mengizinkan tamu tak dikenalnya duduk. Ia lalu ke dalam dan mengambil segelas air putih untuk sang tamu.
Setelah minum seteguk air, wajah Mak Rodiah kembali menemukan ronanya. Detak jantungnya berangsur normal. Kendati begitu, tetap saja perasaannya tak menentu. Ia sudah berekspektasi bahwa Doddy pasti tak ada di rumah karena minggat bersama Arini. Tetapi nyatanya, setelah melihat profil lelaki di depannya ini, ia yakin bahwa perkiraannya salah.
"Maaf, nih. Sampeyan-sampeyan ini ke sini mau mencari siapa?" cetus sang pemilik rumah setelah melihat tamunya tenang.
Karena Mak Rodiah tidak menjawab, Gugunlah yang maju, "Apa betul, di sini rumahnya Mas Doddy mantan pacar Arini?"
Lelaki sang pemilik rumah itu terperanjat. Bola matanya melebar, punggungnya ditegakkan. "Kok, sampeyan tahu kalau mantan saya bernama Arini? Sampeyan dukun, to?"
Gugun segera menggeleng. "Bukan, Mas. Kisah Mas Doddy ini kondang. Sampai-sampai tukang bakso di pinggir lampu merah sana tahu." Dia menunjuk belakang bahunya dengan malu-malu.
"Oalah!" Doddy mengalihkan pandangannya ke apa pun selain ke tamu-tamunya. Ia menutupi pipinya yang bersemu malu. Ia berdeham lalu bertanya, "Jadi, sampeyan siapa? Ke sini mau apa?"
"Wah, kalau itu, Ibu ini yang tahu. Saya cuma sopir, Mas," jawab Gugun menengok Mak Rodiah yang duduk di sampingnya di kursi panjang.
"Betul, kamu yang namanya Doddy?" tanya wanita tua itu. Dalam hatinya, ia berharap bahwa dia bukan Doddy, meski tahu bahwa harapannya tak akan terkabul.
"Iya, saya Doddy. Ibu siapa?"
Mak Rodiah mendesah panjang. Bahunya lesu. "Aku tetangganya Arini. Aku ke sini karena mau mencari Arini. Aku pikir dia minggat sama kamu."
"Oh! Jadi sampeyan yang bikin gosip kalau saya kabur bersama Arini?" Mendadak, Doddy bangkit. Matanya memelototi Mak Rodiah seolah ingin menerkamnya. Kedua tangannya di pinggang. Wajahnya memerah karena murka. "Lihat, Bu! Lihat! Saya masuk angin gara-gara sampeyan!"
Gugun ikut bangkit, menenangkan lelaki tinggi kurus itu. "Sabar, Mas! Sabar! Saya yakin ini hanya kesalahpahaman saja."
"Salah paham?" Nada bicara Doddy semakin meninggi. "Enak betul sampeyan bicara! Saya itu ndak kenal sampeyan! Ndak pernah singgungan dengan sampeyan! Kok ya tega-teganya merusak rumah tangga saya! Sekarang sebaiknya kalian pergi saja dari sini!"
"A-aku minta maaf, Doddy," kata Mak Rodiah dengan raut penyesalan. "Aku nggak bermaksud merusak rumah tanggamu. Sungguh!"