Mak Rodiah teringat dulu, ketika Arini membantunya memasak untuk arisan. Setelah selesai acara, ia datang ke rumah Arini. Ia memberinya uang bayaran.
Saat itu, ia melihat Arini tersenyum bahagia ketika ia menyampaikan kekaguman ibu-ibu PKK atas rasa masakannya. Ia mengusulkan supaya Arini membuka katering saja. Namun, Ilham yang selesai mandi segera menolaknya. “Jangan, jangan!”
“Tapi, Mas! Aku kan—“
“Aku bilang jangan, ya jangan!” bentak Ilham.
Mak Rodiah terkejut. Namun, tak lama kemudian ia melihat raut wajah Ilham yang tadinya keras mendadak melembut. Ia menghampiri sang istri, menggelayuti pundaknya dengan manja. “Aku nggak mau kamu capek. Biarlah aku yang kerja.” Ia lalu mencium pipi Arini dengan sayang. “Oke, ya, Sayang,” tambahnya merayu.
Melihat kemesraan kedua insan di depannya itu membuat Mak Rodiah malu. Ia lalu undur diri.
Kala itulah dia menyimpulkan bahwa Ilham sangat mencintai Arini. Lalu, pada waktu-waktu pagi sebelum berangkat kerja, Arini selalu mengantar suaminya ke gerbang, mencium tangannya. Sebagai balasan, Ilham mencium kedua pipi sang istri. Melihatnya Mak Rodiah yakin bahwa hidup mereka harmonis.
Selain itu, Mak Rodiah sering mendengar Arini bercerita hal-hal yang baik dari suaminya. Ia tak pernah melihat Arini mengeluh tentang sikap Ilham. Kini, setelah dipikir lagi, ia menjadi curiga. Menurutnya, tidak mungkin seseorang begitu sempurna. Namun, hal ini bisa saja karena Arini memang tidak mau membagi kekurangan Ilham yang baginya mungkin tidak seberapa itu, dengan orang lain. Meskipun demikian, benar, Mak Rodiah tidak mengenal Ilham secara mendalam. Ia bahkan tidak tahu siapa ayah dan ibunya. Ia hanya tahu dari apa yang diceritakan oleh Arini. Itu pun tidak mendetail.
“Maksudmu, kamu mengenal Ilham dengan baik? Gitu?” tanyanya kemudian kepada Doddy. Ia masih duduk di ruang tamu lelaki itu. Gugun masih bersamanya. Udara siang yang panas tak mengganggunya dalam mencari kebenaran dalam misteri hilangnya sang tetangga. Sorot matahari yang menyinari jendela rumah Doddy perlahan memanjang ke timur.
“Tentu aja! Dulu, saya belum ikhlas Arini dijodohkan. Saya mencari tahu latar belakang Ilham. Hasilnya ....” Doddy menggeleng sedih. “Saya benar-benar ndak rela Arini menikah dengannya.”
“Memang, latar belakangnya bagaimana, Mas?” Gugun yang ikut menyimak pembicaraan mereka pun dibuat penasaran.
“Seharusnya, setelah perjodohan anak-anaknya gagal, kakek Arini ndak usah melanjutkannya dengan menjodohkan cucu-cucu mereka,” jelas Doddy.
“Kenapa?”
“Sampeyan tahu Pak Subroto, tuan tanah terkemuka di daerah timur Gunung Kidul?”
Mak Rodiah menggeleng.
“Nah, Pak Subroto ini kakek Ilham. Beliau sahabatnya kakek Arini. Tanah Pak Subroto ini luaaaaaaas banget.” Doddy merentangkan tangannya lebar-lebar untuk menggambarkan betapa luas tanah milik Pak Subroto. “Ada perkebunan, ada pertanian, wah, pokoknya banyak! Beliau memiliki lima anak. Tiga perempuan, dua lelaki. Lelaki paling besar sekolah di luar negeri. Dapat orang bule dan menetap di sana. Sedangkan anak lelaki yang satunya—anak ke-tiga, anak ke-dua perempuan—hidup foya-foya di sini. Dia yang akan dijodohkan dengan budhenya Arini waktu itu. Tetapi, ndak jadi. Umur mereka terlalu jomplang, begitu alasan Pak Subroto. Tetapi sebenarnya mereka gagal berjodoh karena hal lain.”
“Hal lain apa?”
“Rupanya, anak laki-laki yang mau dijodohkan ini sudah menghamili anak pembantu mereka,” jawab Doddy. Ia menyeringai seolah mengejek.
“Lalu? Akhirnya mereka menikah?” tanya Gugun.
Doddy menggeleng. “Prosesnya panjang. Pokoknya rumit. Tetapi, akhirnya iya. Mereka menikah. Setelah menikah, mereka dibuatkan rumah sendiri oleh Pak Subroto. Rumahnya lebih kecil dibanding rumah Pak Subroto. Beliau juga ndak mau menunjang perekonomian mereka. Tetapi, beliau mengizinkan anaknya ini bekerja di perusahaan Pak Broto. Nah, dari pernikahan mereka lahirlah tiga orang anak. Ilham anak mereka yang paling bontot.”
Mak Rodiah mengernyit. “Terus, permasalahannya apa? Nggak apa-apa kan kalau Ilham memang anak seorang yang dulunya pembantu?”
“Oh, saya belum selesai. Sepuluh tahun yang lalu, orang tua Ilham bercerai. Ibunya melaporkan suaminya sendiri ke polisi atas tindak KDRT.”
“Kok kamu tahu?” tanya Mak Rodiah curiga.
“Saya kan menyediliki,” jawab Doddy dengan dada membusung.
“Me-nye-li-di-ki!” koreksi Gugun.
“Nah, itu! Saya ndak mau kekasih terindah saya menikah dengan orang berengsek. Jadi, saya ke rumah Pak Broto, mengorek informasi dari pembantu-pembantunya. Namun, sayangnya saya terlambat. Saat pulang, Arini sudah menikah. Maka dari itu, waktu di pelaminan saya begitu emosional. Saya nggak rela Arini menikah dengan Ilham.”
“Tapi, dari ceritamu itu, yang berbuat nggak baik kan ayahnya Ilham, bukan Ilham.”
Doddy mendengkus sekejap. “Saya belum selesai.”
“Masih panjang, to?” tanya Gugun tak sabar. “Berapa episode lagi?”
Doddy meliriknya dengan sengit. “Kalau kalian ndak percaya, sana pergi sendiri ke rumah Pak Broto. Saya kasih alamatnya. Orang-orang di sana sudah tahu semua rahasia yang disimpan tuan tanah itu.”
Gugun meringis. “Bukan gitu, Mas. He, sabar. Silakan dilanjut.”
“Lanjut-lanjut,” ujar Mak Rodiah mendorong Doddy supaya melanjutkan ceritanya.
“Ilham itu boleh dikatakan versi kecil ayahnya.”
“Maksudnya?”
“Ndak juga ding! Malah lebih parah.”
Kening kedua pendengar mengernyit.
Doddy menjelaskan, “Sifat-sifatnya!”
Mak Rodiah dan Gugun mengangguk paham. Mulut mereka membentuk huruf O.
“Di depan tadi sudah saya katakan—bukan depan rumah saya,” katanya segera ketika mendapati Gugun menengok ke arah pintu, “maksudnya di awal cerita saya tadi.”
“Oh!”
“Ah, sampeyan ini! Saya jadi lupa mau ngomong apa,” Doddy ngambek.