Angin sore menampar-nampar pipi Mak Rodiah yang duduk di jok belakang motor. Angin itu pula membuat ujung jilbabnya berkibar heboh. Mata wanita tua itu terpaksa menyipit. Helm yang dikenakannya tak mampu menghalau sorot matahari sore yang tajam dan kejamnya udara yang terbelah oleh laju motor. Dulu, ia tak merasa terganggu oleh angin seperti itu. Sebab, sudah biasa.
Setiap Minggu sore, ia dan suaminya sering pergi ke salah satu tebing favorit mereka untuk melihat laut dengan mengendarai motor vespa kesayangan sang suami. Tangannya yang masih halus mencengkeram pinggang sang suami dengan mesra. Rambut panjangnya yang terurai berkibar layaknya bintang iklan sampo di televisi. Namun, itu dulu, sebelum waktu mengambil suaminya, sebelum waktu mengambil kemudaannya. Sekarang, segalanya sudah berubah. Tangan yang mencengkeram pinggang itu kasar dan keriput. Pinggang yang dicengkeramnya pun bukan pinggang sang suami, melainkan pinggang lelaki asing yang baru sehari dikenalnya. Meski begitu, ia percaya lelaki asing itu tak akan mencelakainya. Sebab, jika dia celaka, maka lelaki itu juga bakal celaka.
Zaman cepat sekali berubah, pikir Mak Rodiah, dan tubuhnya juga cepat sekali ikut berubah. Ia bersendawa, badannya mulai memprotes. Sepertinya ia sudah mulai masuk angin. Padahal, perjalanan masih jauh. Tebersit dalam benak Mak Rodiah untuk meminta Gugun supaya berhenti. Namun, ia tak enak hati. Sebab, sudah dua kali ia meminta berhenti. Pertama adalah ketika melewati masjid. Ia meminta berhenti untuk melaksanakan salat dzuhur. Kemudian yang ke dua adalah ketika ia merasakan panggilan alam.
“Kenapa tadi nggak sekalian aja sih, Bu?” gerutu Gugun berhenti di masjid berikutnya.
“Tadi belum kebelet,” jawab Mak Rodiah.
“Ini masih jauh, lho, Bu. Nanti sampainya bisa maghrib kalau berhenti-berhenti melulu.”
Jelas, itu hanya gertak sambal semata. Mak Rodiah tahu rumahnya tidak sejauh itu. Paling lambat ia akan sampai ke rumah pukul empat sore. Tetapi tetap saja ia tak enak berhenti di jalan terus-terusan. Selain akan menambah lelah, ia juga ingin segera pulang ke rumah. Arisan PKK sudah menantinya. Ia memiliki angsuran utang untuk dibayar.
Sebenarnya, Mak Rodiah berhutang bukan untuk keperluan, atau pun untuk senang-senang. Ia berhutang agar uang tabungan arisan berputar. Uang yang diutangannya masih utuh sampai sekarang. Kalau uang tabungan arisan tidak berputar, otomatis ibu-ibu yang lain tidak mendapat bunga bagi hasil. Hal itu bisa mengurangi gairah dalam menabung. Pun dapat membuat ibu-ibu jenuh mengikuti arisan PKK. Padahal, menurutnya arisan PKK dapat menjadi ajang silaturahmi. Lagi pula, menurutnya hidup tanpa utang itu rasanya bagai hidup tanpa tantangan. Flat. Tak ada tantangan. Namun, kalau hidup kebanyakan utang bagai berdiri di atas jurang. Terlalu menantang.
Mak Rodiah bersendawa lagi. Ia lalu melipat ujung jilbabnya untuk digunakan sebagai masker penutup mulut dan hidung. Ia juga menurunkan kaca helmnya. Hal itu membuat angin yang menerpa wajahnya berkurang. Ia malah menjadi ngantuk. Karena tak mau tertidur, ia pun bertanya kepada Gugun, “Menurutmu gimana tadi?”
Gugun yang ditanya dengan tiba-tiba mengernyitkan dahi. “Apanya yang gimana, Bu?”
“Itu, si Doddy. Kalau dengar perkataannya tadi, kamu percaya, nggak?”
Gugun membelokkan motornya dengan hati-hati. Karena diajak omong oleh penumpangnya, terpaksa ia menurunkan kecepatan. “Percaya-percaya saja kalau saya. Lagian, buat apa dia berbohong?”
“Dia kan benci banget sama Ilham.”
“Ilham itu suami Arini yang sekarang?” tanya Gugun mulai memproses duduk perkara kasus Mak Rodiah. “Trus, Arini hilang? Ibu ke sana tadi untuk mencarinya, begitu?”
“Iya.”
“Hm ....” Bibir Gugun mengerucut. “Kalau gitu 50:50.”
Mak Rodiah mendecakkan lidah. “Aku tuh masih nggak percaya lho kalau Ilham kayak gitu. Masa umur belasan tahun udah berani menghamili anak orang?”
“Bisa saja, Bu. Tetangga saya ada, kok, yang begitu. Emang sekarang itu zamannya lagi edan.”
“Tapi, Ilham itu aku lihat orangnya kalem, baik, nggak neko-neko,” terang Mak Rodiah.