Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #21

Duapuluh Satu

Vas-vas di halaman rumah Bu Yayuk pecah, tanahnya berhamburan di alas beton. Tanamannya berceceran tak keruan. Bahkan ada yang tangkainya patah. Daun-daun hijau segar menyebar, terpisah dari batangnya. Kelopak bunganya tercerai berai. Barang-barang seperti pajangan dari kayu dan batu juga berserakan di depan rumah, sebagian pecah di dekat gerbang. Kursi rotan yang biasanya duduk rapi di depan jendela terguling. Meja bundar dari stenlist dan berkaki tiga ramping juga ikut terguling. Suara raungan dan isakan terdengar dari dalam rumah Bu Yayuk.

Mak Rodiah melangkah dengan hati-hati ke depan pintu. Orang-orang yang berkerumun di depan gerbang menjulurkan lehernya tinggi-tinggi, berusaha mencari tahu penyebab rumah yang letaknya nomor dua dari ujung itu berantakan. Mereka berbisik dengan orang di sebelahnya yang juga minim informasi. Beberapa orang yang sok tahu mengutarakan dugaannya dengan menyebut banyak kata mungkin: mungkin habis kemalingan, mungkin ada badai lokal, mungkin dinosaurus sedang menyeberang. Namun, semua itu hanyalah dugaan.

Suara raungan semakin terdengar jelas ketika Mak Rodiah sampai di depan pintu rumah Bu Yayuk. Selain itu, ada suara lain. Suara dua orang. Yang satu lebih berat ketimbang yang lain.

Mak Rodiah menghambur masuk ke ruang tamu Bu Yayuk yang tak kalah acak-acakan. Bantal-bantal sofa robek, memuntakhan isinya ke lantai. Vas bunga pecah, airnya menggenang di lantai. Asbak yang terbuat dari keramik terbelah menjadi dua, tergeletak di lantai juga. Namun, meja dan sofa masih berdiri kokoh di tempatnya. Sebab, meja itu terbuat dari kaca tebal dan kayu mahogani yang mahal dan berat. Adapun badai tak dapat menggulingkannya dengan mudah.

Bu Yayuk yang memakai daster dengan rambut dirol duduk di sofa. Ia menangis histeris. Tangannya yang menggenggam tisu tak henti-hentinya membersit hidung. “Tega benar dia berbuat seperti itu terhadap saya. Saya nggak mau memaafkannya!” raungnya kepada kedua orang yang tengah menemaninya. Mereka adalah pasangan RT.

“Sabar,” kata bapak kebanggaan ibu-ibu komplek itu. Peci hitamnya tampak seperti mahkota di kepala. Dia duduk di seberang sofa yang diduduki Bu Yayuk. Tangannya melajurkan segelas air putih dengan ragu-ragu. Mungkin ia takut kalau-kalau Bu Yayuk melemparkan gelas itu ke kepalanya alih-alih meminum isinya.

“Iya, Bu. Sabar,” sahut Bu RT kompak dengan suaminya. Dia duduk tepat di samping Bu Yayuk. Tangannya yang sebelah mengelus punggung, menenangkan emosi sang pemilik rumah. Tangan satunya mengangsurkan gelas dari sang suami ke hadapan wanita itu. “Ini diminum dulu.” Genggaman tangannya ketika memegang gelas itu lebih mantap ketimbang genggaman suaminya tadi.

Bu Yayuk mengambil gelas itu dan meneguk isinya. Setelah Bu Yayuk meletakkan kembali gelas itu ke meja, tanpa sadar Pak RT mendesah. Ia lega kepalanya tak jadi pecah.

Mak Rodiah masuk dan duduk di sisi yang berlawanan dengan Bu RT. Ia ikut mengelus pundak Bu Yayuk dengan lembut. Kendati belum tahu duduk permasalahannya, ia merasa simpati kepada wanita itu.

Tidak biasanya Bu Yayuk menunjukkan kelemahannya secara terang-terangan. Apalagi sampai tetangga yang lain berkerumun dan membicarakannya. Selama ini ia selalu meunjukkan sisi bahagia kepada orang lain. Jadi, Mak Rodiah yakin, pasti ada sesuatu yang besar yang telah terjadi kepadanya. Penasaran, dia pun bertanya kepada Pak RT tanpa ketara. Mulutnya mengucap “ada apa” tanpa suara.

Pak RT menanggapinya dengan menggeleng. Tak mau menyerah, ia ganti bertanya kepada Bu RT. Bu RT hanya menjawabnya dengan kedikkan dagu yang mengarah ke sebuah surat yang terletak di meja depan Bu Yayuk.

Mak Rodiah mendekatkan kepalanya ke surat itu. Surat itu hanya berupa selembar kertas. Di bagian kopnya tertulis kata ‘pernyataan’ dengan huruf besar. Di bawahnya tertulis rangkaian kalimat. Dan, di bawahnya lagi tertulis nama, alamat, dan nomor induk Bu Yayuk disertai nama, alamat, dan nomor induk suaminya.

Sekilas, Mak Rodiah mengira surat itu merupakan surat keterangan miskin yang dikeluarkan ketua RT. Tetapi ternyata bukan. Sebab, nama yang tertulis di bagian tanda tangan adalah nama Bu Yayuk.

Mak Rodiah membaca surat itu sekali lagi dengan teliti. Kemudian, ia beristighfar. Rupanya, itu adalah surat pernyataan yang menyebutkan bahwa Bu Yayuk setuju suaminya kawin lagi.

Hukum di Indonesia sekarang menyebutkan bahwa seorang suami tidak dapat menikah lagi tanpa persetujuan dan sepengetahuan sang istri. Kalau nekat, sang suami dapat dituntut. Jadi, jika suami Bu Yayuk ingin menikah lagi, dia harus meminta surat persetujuan dari Bu Yayuk.

 Mak Rodiah terkejut ketika membaca surat itu. Selama ini, ia mengira rumah tangga Bu Yayuk harmonis. Apalagi sering kali ibu dua anak itu memamerkan perhiasan yang dibelikan oleh suaminya. Dan, tentang surat itu, Mak rodiah merasa tak asing. Ia yakin pernah melihatnya, tetapi di mana ia lupa. Lagi pula surat itu tidak persis seperti surat yang pernah dilihatnya dulu. Namun anehnya, Mak Rodiah merasa sangat penting untuk mengingat di mana ia pernah melihat surat itu.

“Saya sudah kenyang dengan yang namanya sabar, Bu RT! Selama ini saya tahu, Sur-bajingan itu membelikan saya perhiasan supaya saya pura-pura nggak tahu dia selingkuh. Selama ini saya diam karena yakin si Sur-bajingan itu nggak akan menikahi wanita simpanannya! Eh, lha kok sekarang berani-beraninya minta tanda tangan! Kalau nggak tanda tangan, katanya saya mau dicerai! Kurang ajar, kan, Bu?” Bu Yayuk membersit hidungnya lagi. Matanya memerah. “Saya nggak akan membiarkan wanita itu mendapatkan rumah ini! Kalau perlu, saya akan hancurkan rumah ini! Enak aja! Saya yang menemani suami saya dari nol. Dia yang mau enaknya! Pokoknya saya nggak rela!” 

Pak Sur-bajingan alias Surya adalah suami Bu Yayuk. Umurnya sudah kepala lima. Biarpun begitu, ia menolak tua. Baju yang dikenakannya selalu necis. Ubannya ia tutupi dengan semir hitam. Setiap keluar rumah, meski hanya sebatas gerbang, ia selalu memakai parfum yang baunya semerbak. Bahkan, saking semerbaknya, orangnya masih jauh, parfumnya sudah tercium. Hal yang paling diingat oleh Mak Rodiah dari Pak Surya adalah cincin akiknya yang besar, melingkar di kelingking kanan. Selain di sana, batu akik besar berwarna merah delima juga terpasang di kalung Pak Surya. Dia suka memamerkan kalung itu. Sebab, dia selalu memakai baju dengan kancing yang terbuka sampai ke dada. 

Mengingat profil lelaki tua itu dan kelakuannya membuat Mak Rodiah ikut jijik. “Iya, Jeng! Jangan biarkan suamimu enak-enakkan dengan wanita lain. Tapi, Jeng Yayuk juga harus sabar! Harus main dengan cantik,” nasihatnya dengan mata berkilat-kilat.

Isak Bu Yayuk berhenti seketika. Ia memandang Mak Rodiah dengan heran. “Maksudnya?”

Pak RT yang mendengar perkataan wanita tua itu pun terkejut. “Lho, gimana sih, Mak Rodiah ini? Jangan dikomporin, dong! Ini tetangga kita lagi ada problem. Seharusnya, sebagai tetangga yang baik kita menenangkannya. Kalau bisa kita satukan lagi. Toh, surat ini ndak membuktikan apa-apa. Siapa tahu Pak Surya hanya bercanda.”

“Bercanda?” sahut Bu RT ikut menanggapi. “Bercanda bagaimana, to, Pak? Lha wong surat beginian kok dipakai untuk bercanda. Nggak mungkin!”

“Kan bisa saja maksudnya nggak serius. Nggak benar-benar ingin menikah lagi alias hanya ngetes.”

Bu RT mendengkus. “Hanya ngetes? Kalau nggak mau tanda tangan, tesnya dianggap gagal, gitu? Kalau tanda tangan, lolos, gitu? Memangnya Bapak pikir kita-kita ini bodoh, terima begitu saja dikadalin?”

“Atau mungkin—“

“Halah! Ini pasti cuma akal-akalan kaum lelaki saja. Sok-sok ngetes! Jangan-jangan malah Bapak sendiri mau ikut-ikutan bikin surat kayak gini? Bapak mau minta tanda tanganku juga?” tanya Bu RT sengit. “Memang ya, laki-laki itu sama saja! Kalau Bapak juga mau aku tanda tangan, jadi mayat dulu sana!”

 “Lho, kok jadi aku ikut dimusuhi, to, Bu? Aku kan hanya menyampaikan pendapat,” jelas Pak RT yang mendapat lirikan maut dari Bu RT.

“Pendapat? Pret! Bilang saja Bapak juga mau ikut-ikutan minta tanda tangan. Iya?” Bu RT memelotot.

“Enggak, Bu! Demi Allah!” seru Pak RT kemudian. Badannya gemetar ketika mendapati semua pasang mata yang ada di sana menatapnya dengan curiga. Nyalinya segera menciut. Ia bagai kelinci yang tengah berada di kandang macan. Takut, ia pun memilih undur diri. “Daripada urusannya tambah runyam, plus rumah tangga saya yang jadi taruhan, lebih baik saya pulang saja. Sepertinya saya sudah tidak dibutuhkan di sini.”

Lihat selengkapnya