Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #22

Duapuluh Dua

Hal yang harus dilakukan Mak Rodiah adalah menyelinap ke rumah Arini lagi. Ia mesti memastikan bahwa surat yang dilihatnya dulu adalah benar surat pernyataan izin menikah lagi. Selain itu ia akan mengamati TKP lagi, mencari bukti yang mungkin kemarin luput dari perhatiannya. Ia juga akan mencari petunjuk tempat Ilham menyembunyikan Arini. Namun, hal ini tak bisa ia lakukan sekarang. Sebab, Ilham pasti masih berada di rumah. Ilham tak mungkin mengizinkan Mak Rodiah masuk, mengacak-acak rumahnya guna mencari bukti kejahatan yang mungkin dilakukannya. Jadi, lebih baik ia menunggu dulu sampai nanti malam ketika Ilham tidur atau besok ketika lelaki itu pergi kerja.

Mak Rodiah masih berada di meja dapur rumahnya. Setelah rada lama ia duduk di salah satu kursi, ia baru sadar bahwa sedari tadi ia tak mendapati anak dan mantunya. Ke mana mereka? Tidak mungkin pergi jauh karena mobil Lanang masih terparkir di garasi. Gerbang rumah juga tidak terkunci, begitu pun pintunya. Mak Rodiah berjalan ke kamar Lanang dan mendapati anaknya tidur siang di sana. Sendirian. Tak lama kemudian Ratih masuk. Ia membawa plastik hitam yang berisi entah apa. Sepertinya ia dari warung.

“Eh, Emak udah pulang. Gimana kabar temennya? Baik?” tanya Ratih melangkah masuk. Ia meletakkan belanjaannya ke meja kecil di samping sofa, kemudian duduk di sana.

“Baik. Kamu habis beli apa? Di depan rumah Bu Yayuk masih ramai, nggak?” tanya Mak Rodiah kepo. Ia mengintip plastik yang dibawa mantunya tadi.

“Ramai kenapa?” Kening Ratih mengerut.

“Lah, masa nggak tahu?”

Ratih menggeleng. “Ramai kenapa, Mak? Pas aku ke warung tadi enggak ada apa-apa, kok. Wajar-wajar aja.”

Aneh, pikir Mak Rodiah. Memangnya kapan Ratih berangkat ke warung? Pasti sebelum kedatangannya, bukan? Sebab, jalan ke warung Bu Aya melewati depan rumah Bu Yayuk. Dia pasti bertemu dengan Mak Rodiah di jalan kalau berangkat sebelum Mak Rodiah pulang. Atau kalau berangkat waktu Mak Rodiah masih di rumah Bu Yayuk pasti dia tahu tentang keramaian yang terjadi di rumah Bu Yayuk. Apakah mungkin Ratih pergi lewat jalan memutar? Ah, bisa jadi. Mestinya dia tidak melakukan hal itu. Dia kan lagi hamil. Bagaimana kalau kecapekan? Mak Rodiah hanya bisa mendesah.

Akhirnya ia menjawab pertanyaan mantunya dengan, "Nggak apa-apa." Ia lantas bertanya kepada Ratih, apakah bakal ikut arisan PKK atau tidak, sebab ia ingin titip saja. Ia lelah.

“Sebenarnya, aku malas sekali ikut arisan PKK, Mak,” jawab mantunya.

“Kali ini ikut saja. Setor uang terus pulang. Ya. Plis!” pintanya.

 Pakai please segala, batin Ratih. “Okelah. Tapi nanti kalau Mas Lanang jam lima belum bangun, tolong bangunin ya, Mak.”

“Memangnya Lanang mau ke mana?”

“Nggak tahu. Tapi tadi dia request begitu.” Ratih kemudian bangkit. Ia menuju kamar mandi.

“Oke, deh,” sahut Mak Rodiah merogoh tas. Ia menyiapkan uang arisan serta uang angsuran. Ia meletakkannya ke dalam buku tabungan PKK. “Nanti aku nitip uang arisan dan angsuran, ya!”

“Iya, Mak!” seru Ratih menjawab. “Taruh saja di situ dulu.”

Mak Rodiah tersenyum senang. Ia lalu beranjak ke kamar. Ia begitu lelah, baik lelak fisik dan pikiran. Ia duduk di sana sebentar. Setelah mengambil baju ganti, ia pun keluar untuk mandi. Ratih sudah akan berangkat ketika dia masuk ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, Ratih sudah pergi.

Kali ini arisan dilaksanakan di rumah Bu Sandiman. Makanannya pasti enak-enak. Tetapi, Mak Rodiah tidak menyesal tak ikut. 

Keluar dari kamar mandi, Mak Rodiah membuka kulkas. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul 4. 25 sore. Ia mengintip bahan makanan yang ada di kulkas. Tetapi, karena terlalu lelah ia memutuskan untuk membeli lauk untuk makan malam saja. Ketika menutup pintu kulkas, Mak Rodiah tak sengaja menyenggol rak yang berisi kunci mobil sehingga membuat kunci itu jatuh. Mak Rodiah pun memungutnya.

Sementara itu, Lanang yang sudah bangun keluar dari kamarnya. Karena haus ia menuju dapur. Ia melihat ibunya sudah pulang. “Emak kapan pulang?”

Belum sempat mendengar jawaban ibunya, mata Lanang melebar melihat benda di tangan ibunya. Segera, ia merebutnya. “Kenapa Emak bawa-bawa kunci mobilku?” tanyanya dengan galak.

“Tadi jatuh, nggak sengaja kesenggol,” jawab Mak Rodiah linglung. Ia terkejut atas perlakuan Lanang yang tiba-tiba itu.

“Bohong!” Lanang menatap ibunya curiga. “Emak buka mobilku, kan?”

“Enggak! Buat apa aku berbuat seperti itu? Kamu kenapa, sih?”

“Emak yang kenapa? Emak tuh dari dulu suka ingin tahu. Di rumah ini aku nggak punya privasi. Hanya mobil itu privasiku. Jadi, Emak jangan seenaknya buka-buka mobilku tanpa persetujuan dariku. Ngerti!”

Hati Mak Rodiah mencelus. Namun, ia tetap mengangguk. “Aku bersumpah enggak berbuat apa-apa dengan mobilmu, Lanang! Kunci itu tadi jatuh karena nggak sengaja kusenggol. Demi Allah!” Ia sampai mengacungkan dua jarinya.

“Pokoknya ingat perkataanku. Emak nggak mau kan kutinggal lagi?” tanya sang anak mengancam.

Mak Rodiah segera mengangguk lagi. Ia menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk dengan mengerjap cepat. Ia memalingkan pandangannya dan berkata, “Aku kan nggak bisa nyetir, Nang. Buat apa aku masuk ke mobilmu?”

 Lanang tak menjawab. Dia sadar ucapannya membuat ibunya sedih. Lekas-lekas ia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, “Ratih mana?”

“Arisan PKK,” jawab Mak Rodiah berbalik memunggungi sang anak. Ia pura-pura sibuk dengan membuka kulkas lagi, mencari-cari sesuatu yang tidak ada di sana. “Paling sebelum maghrib udah pulang. Dia tadi berpesan supaya membangunkanmu pukul lima. Katanya kamu ada acara.”

“Iya. Aku mau pergi ke rumah ibu bosku.” Wajah Lanang tampak menyesal karena membentak ibunya seperti itu, tetapi hanya sebentar.

“Ngapain?” tanya Mak Rodiah datar. Tangannya sibuk memindahkan barang-barang yang berjajar di peti es.

“Enggak ngapa-ngapain. Nengok aja. Ibunya Pak Bos kan sakit. Kena glukoma." Ada dusta dalam jawaban Lanang. Namun dusta itu begitu samar. "Tadinya aku mau pergi siang ini, tetapi Emak belum pulang. Aku nggak bisa ninggalin Ratih sendiri. Makanya aku undur sore. Kalau Emak belum pulang juga terpaksa aku undur malam. Jadi, aku tidur dulu biar nggak kecapekan.”

Lanang meraih handuk yang tersampir di dekat pintu kamar mandi lalu masuk. Kunci mobilnya ikut dibawa ke kamar mandi.

Lihat selengkapnya