Pukul sepuluh malam mata Mak Rodiah masih nyalang. Sebenarnya ia lelah dan ingin tidur. Namun, segala yang terjadi hari ini membuat pikirannya kusut seperti baju yang disumpal ke bawah lemari.
Lanang belum pulang. Mungkin nanti atau besok. Mak Rodiah tak tahu letak rumah ibu bosnya. Mungkin di luar kota.
Sedangkan Ratih sudah masuk kamar sejak setelah makan malam. Sekarang dia pasti sudah tidur, pikir Mak Rodiah.
Wanita tua itu membalik tubuhnya yang miring menjadi terlentang. Ia menatap plafon rumahnya yang bercat putih. Lampu kamarnya sudah mati. Tetapi, ada lampu kecil yang tercolok di stopkontak di atas nakas. Lampu itu berpijar remang.
Mak Rodiah membalik tubuhnya ke posisi miring lagi. Ia menelusupkan satu telapak tangannya ke bawah kepala. Matanya dipaksa memejam, tetapi otaknya malah bekerja semakin keras.
Mak Rodiah membuka matanya. Ia memandang telepon genggam yang tersambung pada pencatu daya di nakas. Ia mengambinya, menekan tombol aktif dan mengusap layarnya ke atas. Ia memandang ikon-ikon aplikasi sebentar kemudian mendesah panjang. Tak ada yang membuatnya merasa tertarik untuk mengeklik ikon-ikon tersebut. Ia lantas menon-aktifkan ponselnya lagi.
Setelah menaruh ponselnya kembali ke nakas, ia berbalik menghadap tembok. Mak Rodiah menutup mata, mencoba tidur. Tak lama kemudian ia membukanya lagi. Ia lantas bangkit dan duduk di tepi ranjang dengan kesal. Mak Rodiah diam sejenak di sana. Kemudian ide itu datang. Ia menggulung rambutnya dengan cepat lalu bangkit dan keluar kamar.
Berjingkat-jingkat, ia ke dapur dan membuka pintu belakang pelan-pelan. Ia tak mau Ratih terbangun. Ia lalu melompati sekat beton di belakang rumahnya.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu belakang rumah Arini. Ya, dia akan menyusup.
Sebenarnya, ia berencana menyusup ke rumah Arini besok, ketika Ilham kerja. Namun, karena tak bisa tidur, dan sudah malam, ia memutuskan untuk melakukannya sekarang. Ia yakin Ilham pastilah sudah tidur.
Di rumah Arini mungkin masih ada petunjuk. Atau, malah tidak. Namun, tak apa. Ia akan berusaha.
Mak Rodiah membuka mata lebar-lebar. Ia tak mau menyerah. Kalau sekarang tak mendapatkan bukti itu, besok ia akan mencarinya lagi. Malam ini ia hanya ingin memastikan tentang surat yang pernah dilihatnya dulu. Apakah benar surat penyataan persetujuaan suaminya menikah lagi atau malah surat kuasa pengubahan sertifikat.
Kalau dinilai dari cerita Doddy, Ilham orang yang serakah. Demi harta nekat kawin dengan orang yang tidak dicintainya. Setelah menemukan kekasih yang benar-benar dicintai, dia malah tega menghabisi istrinya. Benar-benar kejam!
Tangan Mak Rodiah merogoh sela jendela yang tak terkunci. Ia menarik slot yang mengunci pintu belakang rumah Arini hingga terbuka. Dengan mengendap-endap, ia masuk ke dapur rumah Arini. Ia menepuk jidatnya pelan ketika ingat tak membawa ponselnya. Namun begitu, ia terus melangkah masuk.
Dia melihat sekeliling dengan waspada. Langkahnya pelan dan tanpa suara. Lampu dapur dan ruang tamu mati. Di ruang tengah, ada lampu meja yang menyala. Nyalanya remang-remang, cukup untuk membuat Mak Rodiah tidak menendang barang.
Perempuan tua itu mengintip kamar tidur yang pintunya sedikit terbuka. Kamar lampu itu mati, tetapi ada seberkas sinar dari sebuah benda yang Mak Rodiah yakin adalah ponsel. Sinar itu menyorot wajah Ilham yang masih terjaga. Sial.
Mak Rodiah berbalik. Ia berniat pergi. Namun, langkahnya tertahan oleh suara Ilham yang berkata, “Susah, Yang.” Rupanya lelaki itu tengah bertelepon. “Aku belum bisa menikahimu.”
Wanita tua itu menempelkan punggungnya ke dinding kamar Ilham. Ia menajamkan telinga. Didengar dari percakapan itu, ia yakin Ilham tengah bertelepon dengan kekasih gelapnya.
“Iya. Aku sudah maksa Arini supaya mau tanda tangan surat persetujuan itu. Lagi pula, gimana hubunganmu dengan suamimu? Memangnya kamu bisa minta cerai?”
Darah di tubuh Mak Rodiah rasanya menggeletar. Kurang ajar, batinnya. Berani-beraninya dia berselingkuh dengan istri orang. Mak Rodiah mengepalkan tinjunya.