Kompleks itu gempar lagi. Kali ini bukan karena amukan seorang istri yang cemburu kepada suaminya, melainkan karena seruan maling yang membahana. Kentongan dipukul dengan heboh. Semua orang yang masih melek atau yang terbangun karena mendengar kentongan itu berlarian keluar rumah. Sebagian yang penasaran menghampiri asal suara. Namun, sebagian lagi hanya menjulurkan lehernya sekadar ingin mengintip di mana sumber polusi telinga itu berasal, kemudian balik lagi ke rumah dan tidur.
Pak RT yang mendengar keributan itu pun buru-buru memakai sarung dan keluar rumah. Rambutnya masih acak-acakan. Kausnya belum terpasang sempurna. Namun, ia tak peduli. Warga membutuhkannya.
“Ada apa?” tanyanya kepada salah seorang warga yang berlari melewatinya.
“Nggak tahu, Pak RT. Saya dengar kentongan ditabuh tadi. Sepertinya ada maling.”
“Maling? Di mana?”
“Nggak tahu! Ikuti yang lain aja. Nanti juga tahu.” Warga itu pun kembali berlari. Bergegas, Pak RT mengikutinya.
Benar saja, setelah membelok gang ia dapat melihat sebuah kerumunan. Dalam hati, lelaki kurus itu menebak rumah siapa yang kemalingan. Orang-orang tampak berkumpul membentuk setengah lingkaran di depan sekat gerbang rumah Mak Rodiah dan Arini. Suara perdebatan dari dua orang yang berdiri di tengah kerumunan itu pun terdengar. Salah satunya, Pak RT yakin, adalah suara milik Mak Rodiah. Sedangkan yang satu lagi milik seorang lelaki.
Pak RT menyibak bahu para warga yang tengah berkerumun supaya memberinya jalan. Namun, ia malah mendapat pelototan dari mereka. “Apa, sih, ah! Lagi seru, nih!”
Lelaki berkumis tebal itu mengembuskan napas panjang. Ia mengelus dadanya supaya sabar. Pak RT beralih ke tepi dekat gerbang. Dengan memiringkan tubuh, ia menyusup celah antara gerbang dan tubuh orang-orang yang tengah menonton apa pun yang terjadi di depan mereka. Mereka merasa terganggu oleh tingkah laku Pak RT yang seolah ingin menyerobot antrian. “Ih, ngapain sih?” gerutu para warga yang disela olehnya. Mereka merasa kesal. Bahkan, saking kesalnya, mereka malah sengaja menghimpit tubuh kurus Pak RT hingga kepalanya menekan jeruji gerbang.
“Aduh!” teriaknya frustrasi. “Kasih jalan, woi! Saya ini ketua RT lho!”
Baru setelah bilang begitu, impitan itu melonggar. Orang-orang yang tengah berada di barisan depannya menyingkir, memberi jalan. “Nah, gitu dong!” serunya kesal. Ia menaikkan sarungnya dengan satu gerakan sembari melirik galak para warganya. Di depan, di tengah kerumunan, berdiri dua orang yang sedang berdebat. Mereka diam ketika Pak RT mendekat.
“Ada apa ini?” tanyanya kepada Mak Rodiah dan Ilham yang terengah-engah setelah adu pendapat.
“Ini, nih, Pak! Ilham keterlaluan! Dia nyeret aku kayak napi aja,” kata Mak Rodiah dengan mata menyala-nyala.
“Ibu ini kurang ajar, Pak! Masuk rumah saya tanpa izin. Malam-malam pula! Itu sama juga dengan perbuatan calon napi, kan, Pak?” Ilham dengan wajah merah padam menunjuk muka Mak Rodiah. Ia menyebut Mak Rodiah dengan ‘ibu ini'. Sapaan biasanya telah ia abaikan saking marahnya.
“Aku bukan napi!” Mak Rodiah tak terima. “Kamu yang napi! Sudah menyelingkuhi Arini, mencelakainya pula!”
“Eh, jaga mulutmu itu, ya!” seru Ilham memelotot. “Kalau bukan orang tua sudah kutampar kamu!” Ia mengangkat tangan dan mengayunkannya. Namun, berhenti di udara.
“Tuh, kan! Pak RT dengar sendiri apa katanya?” tantang Mak Rodiah. “Emang dasar kamu, ya! Lelaki nggak punya hati! Aku tahu semua kelakuan busukmu itu!”
“Lah, kelakuan apa?” Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya ganti di pinggang. “Jangan mengada-ngada! Saya yakin, Pak RT, dia pasti mencari-cari alasan! Namanya maling kalau kepergok pasti berkilah!”
“Benar begitu, Mak?” tanya Pak RT kepada Mak Rodiah.
Wanita tua itu menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Enggak!”
“Kalau gitu, kenapa kamu masuk ke rumahku?” tantang Ilham. Ia menyeringai. Seringainya membuat Mak Rodiah bergidik. Nyali wanita itu pun menciut.
“Aku ....” Ia bingung harus menjawab apa.
“Tuh kan, Pak!” kata Ilham. "Mana mungkin dia bisa jawab."