Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #24

Duapuluh Empat

Komplek itu gempar lagi. Kali ini bukan karena amukan seorang istri yang cemburu kepada suaminya, melainkan karena seruan maling yang membahana. Kentongan dipukul dengan heboh. Semua orang yang masih melek atau yang terbangun karena mendengar kentongan itu berlarian keluar rumah. Sebagian yang penasaran menghampiri asal suara. Namun, sebagian lagi hanya menjulurkan lehernya sekadar ingin mengintip di mana sumber polusi telinga itu berasal, kemudian balik lagi ke rumah dan tidur.

Pak RT keluar rumah dengan sarung yang belum terikat sempurna dan rambut awut-awutan, tapi Mak Rodiah nyaris tak menyadarinya. Perhatiannya masih terpaku pada Ilham yang berdiri beberapa langkah di depannya, napasnya tersengal karena lelah, plus marah. Suara kentongan memang memancing warga berkumpul seperti semut mengerubungi gula. Tapi bukan itu yang membuat darah Mak Rodiah mendidih. Bukan juga karena warga membentuk lingkaran di depan rumahnya—setengah lingkaran, lebih tepatnya—seolah mereka menonton topeng monyet.

Matanya menyipit ketika melihat Pak RT menyibak-nyibak kerumunan. Lelaki itu berusaha masuk, tapi warga malah memelototinya. Beberapa bahkan tak segan menyumpal badannya ke arah gerbang, hingga terdengar suara jeritan kesal dari mulut Pak RT.

“Aduh! Kasih jalan, woi! Saya ini ketua RT, lho!” begitu teriaknya.

Mak Rodiah mengangkat alis. Baru kali ini ia melihat Pak RT benar-benar menunjukkan jabatannya. Biasanya, orang itu lebih sibuk ikut ronda demi bisa numpang makan gorengan. Namun, begitu kata “ketua RT” terucap, warga langsung menyingkir. Baru kemudian lelaki kurus itu berhasil menyusup masuk, menepuk-nepuk sarungnya sambil melempar pandangan galak ke segala arah.

Mak Rodiah berdiri tegak. Dada masih naik-turun, marahnya belum tuntas. Ia tahu persis, orang-orang pasti sudah mulai merangkai prasangka di kepala mereka.

“Ada apa ini?” tanya Pak RT, matanya bergantian menatap Mak Rodiah dan Ilham.


 “Ini, nih, Pak! Ilham keterlaluan! Dia nyeret aku kayak napi aja,” kata Mak Rodiah dengan mata menyala-nyala.

“Ibu ini kurang ajar, Pak! Masuk rumah saya tanpa izin. Malam-malam pula! Itu sama juga dengan perbuatan calon napi, kan, Pak?” Ilham dengan wajah merah padam menunjuk muka Mak Rodiah. Ia menyebut Mak Rodiah dengan ‘ibu ini'. Sapaan biasanya telah ia abaikan saking marahnya.

“Aku bukan napi!” Mak Rodiah tak terima. “Kamu yang napi! Sudah menyelingkuhi Arini, mencelakainya pula!”

“Eh, jaga mulutmu itu, ya!” seru Ilham memelotot. “Kalau bukan orang tua sudah kutampar kamu!” Ia mengangkat tangan dan mengayunkannya. Namun, berhenti di udara.

“Tuh, kan! Pak RT dengar sendiri apa katanya?” tantang Mak Rodiah. “Emang dasar kamu, ya! Lelaki nggak punya hati! Aku tahu semua kelakuan busukmu itu!”

“Lah, kelakuan apa?” Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya ganti di pinggang. “Jangan mengada-ngada! Saya yakin, Pak RT, dia pasti mencari-cari alasan! Namanya maling kalau kepergok pasti berkilah!”

“Benar begitu, Mak?” tanya Pak RT kepada Mak Rodiah.

Wanita tua itu menggoyangkan kedua telapak tangannya. “Enggaklah! Enak aja!”

“Kalau gitu, kenapa kamu masuk ke rumahku?” tantang Ilham. Ia menyeringai. Seringainya membuat Mak Rodiah bergidik. Nyali wanita itu pun menciut. 

“Aku ....” Ia bingung harus menjawab apa. 

“Tuh kan, Pak!” kata Ilham. "Mana mungkin dia bisa jawab."

“Sumpah! Demi Allah, aku nggak nyuri,” sangkal Mak Rodiah.

“Kalau gitu, coba jelasin! Ngapain kamu masuk rumahku malam-malam gini?” tantang Ilham.

Lihat selengkapnya