Mata Mak Rodiah sembap ketika bangun keesok harinya. Tulangnya sakit kerana tidur dalam posisi tak nyaman. Semalam, ia menangis sampai ketiduran di sofa. Pukul dua pagi ia terbangun dan pindah ke kamar.
Saat bangun untuk kedua kalinya, fajar hampir merekah. Mak Rodiah segera menunaikan ibadah subuh. Ia lantas ke dapur. Berbekal dari sisa bahan di kulkas ia membuat sarapan. Karena kemarin tidak belanja, hanya tersedia telur dan sedikit sayur. Mak Rodiah memutuskan membuat telur orak-arik.
Ratih bangun ketika masakan itu matang. Setelah mencuci muka, ia membantu Mak Rodiah. Namun, saat menghirup uap nasi yang baru tanak, ia mual.
“Sudah, kamu istirahat aja. Memang kalau hamil muda begitu,” jelas Mak Rodiah mengusir mantunya dari dapur. “Kumpulkan pakaian kotormu. Masukkan ke mesin cuci.”
Pukul tujuh Lanang keluar dari kamar dengan lesu. Setelah mandi, barulah raut wajahnya tampak sedikit lebih segar. Rasa canggung menguasai benak Mak Rodiah kala sang anak ke dapur untuk sarapan. Segera, ia mencari kesibukan di bagian lain rumah itu. Untungnya, ia menemukannya.
“Eh, eh!” serunya menuju tempat Ratih yang sedang sibuk dengan cucian. “Biar aku aja yang nyuci.”
Sang mantu yang sedang memindahkan baju basah ke tabung pengering pun menatap Mak Rodiah dengan heran. Mesin cuci itu bertipe dua tabung. Antara tabung pencuci dan tabung pengeringnya terpisah.
“Kamu kan lagi hamil muda. Nggak boleh kerja yang berat-berat,” katanya sembari merebut pakaian basah dari genggaman mantunya. “Kamu temani suamimu sarapan sana.”
“Tapi, hari ini kan Emak yang masak.” Peraturan tak tertulis di rumah itu adalah jika salah satu wanita yang tinggal di sana memasak, maka yang lain harus mencuci. Namun sekarang, rupanya peraturan itu berubah.
“Mulai sekarang, biar aku yang mencuci. Kamu harus hati-hati. Jaga si jabang bayi baik-baik. Oke!” Mak Rodiah tersenyum sekejap sebelum membenamkan diri pada pekerjaannya.
“Emak nggak ikut sarapan dulu?” tanya Ratih meninggalkannya ragu-ragu.
“Nanti aja,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari pakaian-pakaian basah itu.
Ratih mengedikkan bahu lalu pergi menemani sang suami di meja makan.
Mak Rodiah baru berani ke dapur setelah sang anak pergi kerja. Bahkan saat anaknya pamit pun, ia hanya menjawab "hati-hati" dari halaman belakang tempat dirinya menggantung pakaian.
Setelah sarapan, Mak Rodiah mencuci piring. Ia melarang Ratih membantunya. Hal itu ia lakukan bukan karena khawatir dengan keadaan sang mantu yang tengah mengandung, melainkan untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi malam. Bukan kejadian memalukan di mana dia dimarahi Lanang maupun menjadi tontonan karena dianggap maling, melainkan sebelumnya. Fakta bahwa Ilham memiliki wanita lain dan potongan percakapannya dengan wanita itulah yang membuat pikiranya tak berhenti bekerja. Padahal, dia sudah bertekad untuk berhenti mencari Arini. Ia tak mau Lanang pergi. Dan, yang lebih utama, ia tak ingin pisah dari rumahnya.
Selain nyaman, rumah ini merupakan satu-satunya peninggalan suami yang masih tersisa. Dulu, untuk membeli rumah itu, Mak Rodiah dan suaminya bergotong royong mencari uang guna melunasi cicilan. 10 tahun mereka banting tulang, menyisihkan gaji demi membayar KPR. Jatuh bangun mereka lewati bersama. Bahkan, Mak Rodiah pernah makan hanya berlauk sambal dan kerupuk supaya mampu membayar cicilan bulan itu. Waktu itu sang suami belum diangkat menjadi PNS.
Namun, setelah diangkat menjadi pegawai negeri, ekonomi mereka pun perlahan terangkat. Cicilan yang kurang tiga tahun itu menjadi sedikit lebih ringan. Mengingat perjuangannya saat itu membuat Mak Rodiah semakin tidak rela jika harus meninggalkan rumah itu. Maka dari itu, ia berusaha untuk tidak memikirkan Arini.
Benar kata Lanang tadi malam, keluarga Arini pasti akan bertindak kalau memang merasa kehilangan. Tetapi, apakah Indri merasa kehilangan? Mak Rodiah tak yakin. Sebab, sampai sekarang—seminggu setelah Arini menghilang—Indri diam saja. Tak ada polisi yang ke sana untuk interogasi. Bukankah kalau ada laporan, polisi segera bertindak? Jadi, apabila Indri melapor, paling tidak ada satu atau dua petugas yang datang ke rumah Arini untuk menyelidikinya. Namun nyatanya, tidak ada petugas sama sekali.
Memang keterlauan kakaknya itu! Pikir Mak Rodiah kesal. Ia kini tengah mengeringkan piring.