Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #28

Duapuluh Delapan

Kadang, jika kita membaca sebuah novel, atau menonton sebuah film maupun sinetron, kita selalu berharap si tokoh utama, atau tokoh yang kita sukai, memiliki akhir yang bahagia. Namun, dalam cerita nyata, Mak Rodiah tidak menemukan hal itu. Dalam kisah cinta segiempat Lanang, Ratih, Ilham, dan Arini justru anaknya-lah yang memiliki nasib paling mengenaskan. Bagaimana tidak? Sudah diselingkuhi istri, dia juga akan mendekam di penjara karena mencelakai Arini. Itu tidak adil sama sekali.

Mak Rodiah tengah duduk di sofa, menonton televisi. Setelah memergoki perselingkuhan mantunya, ia pulang. Tukang ojek yang mengantarnya protes, namun Mak Rodiah tak peduli. Ia tak keberatan membayar ongkosnya secara penuh.

Acara gosip yang biasanya menarik perhatian, kini tak lagi. Benaknya sibuk mencari cara untuk membebaskan sang anak dari daftar tersangkanya. Tetapi, tunggu dulu! Belum tentu Lanang yang mencelakai Arini. Selingkuhan Ilham mungkin bukan hanya Ratih. Lagi pula, apa motif Lanang mencelakai Arini? Seharusnya Ilham saja yang dibunuh, atau dikebiri.

 Namun, Mak Rodiah teringat dulu, ketika Lanang SD. Saat itu wali sekolah sang anak mengharap kedatangannya. Rupanya Lanang merusak tas kesayangan salah satu teman sekolahnya. Alasannya karena kakak si teman telah membuat putus rantai sepedanya.

“Kenapa nggak kamu balas dengan ganti mengembosi ban sepeda kakaknya aja?” tanya Mak Rodiah seusai pulang sekolah.

“Biar kakaknya yang dimarahi bapaknya karena nggak bisa jaga adiknya.”

Mak Rodiah mengernyit. Menurutnya, cara Lanang membalas beda dari anak lain. Kemudian, saat Lanang SMP, teman sekolahnya bercerita tentangnya yang berani melempari kepala gurunya dengan bola. Karena penasaran, Mak Rodiah meminta temannya itu untuk bercerita secara lengkap.

Kejadiannya berawal saat pelajaran olahraga. Waktu itu ada salah satu temannya yang nakal, namanya Anto. Pada saat kasti, Anto dengan sengaja memukulkan bola ke arah teman-temannya yang lain yang tak disukainya, termasuk Lanang. Guru yang mengawasi mereka pun pura-pura tak tahu.

Lanang membalas anak itu dengan ganti mengarahkan bola ke belakang kepala sang guru. Berulang kali hingga guru itu menegur.

“Masa," cerita teman Lanang kepada Mak Rodiah, "Lanang malah bilang gini, ‘Maaf, Pak, saya kira Bapak itu Anto. Soalnya mirip, sih!’” Temannya itu lantas tergelak.

Mak Rodiah mengeryitkan kening. “Lah, apanya yang lucu?”

“Yang lucu, guru itu kan memang ayahnya si Anto. Muka si Anto pas Lanang bilang gitu langsung merah padam. Kalau aku jadi dia, malunya setengah mati,” jawab sang teman.

Seketika, Mak Rodiah paham.

Lalu, ketika Lanang marah kepadanya karena berani mengintip isi ponsel, ia menghukum Mak Rodiah dengan pergi. Waktu itu Mak Rodiah amat tersiksa. Bukan fisik, melainkan mental.

Dari kejadian-kejadian itu, Mak Rodiah dapat menyimpulkan bahwa hukuman yang Lanang timpakan untuk musuhnya bukanlah suatu penyiksaan fisik, melainkan mental. Ia tak peduli demi itu ia harus menyakiti orang lain. Kalau begitu, mungkin benar bahwa Lananglah yang menyakiti Arini untuk menghukum Ilham.

Lanang pikir, Ilham bakal sedih kalau Arini tak ada. Dia menyangka Ilham bakal kelabakan. Seperti kata pepatah, kita akan menyadari betapa berharganya sesuatu itu kalau sudah kehilangannya. Bah! Kalau begitu, menurut Mak Rodiah, Lanang salah. Ia tak mengenal Ilham. Lelaki itu malah senang Arini menghilang.

Bodoh! Mak Rodiah mendengkus kesal. Namun, ia sadar sudah terlambat untuk mencegah anaknya membalas dendam. Arini terlanjur menghilang.

Tidak, tidak! Mak Rodiah menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Pokoknya, bukan Lanang yang nyulik Arini!” katanya keras-keras. Ia mencegah otaknya berpikir sebaliknya. Namun, semakin dicegah, malah semakin kepikiran. Apalagi saat menyadari bahwa Lanang sempat tidak ada ketika malam Arini menghilang. Mak Rodiah sudah mencarinya di seluruh rumah. Meski hanya beberapa menit, mungkin sekitar sepuluh menit, ia tak menemukan anaknya di rumah. Mungkinkah dia ke rumah Arini, mengancamnya dengan pisau lalu memaksanya ke mobil dan menguncinya di sana? Ya, mungkin saja. 

Dan, ketika pamit ke luar kota dengan alasan menyerahkan berkas, Lanang pasti berdusta. Kata Ratih, berkas itu dapat dikirim lewat—apa itu namanya, Mak Rodiah lupa. Bu Aya juga bersaksi bahwa hanya mobil Lanang yang terlihat keluar dari kompleks perumahan. Astaga, pasti begitulah kronologisnya, tebak Mak Rodiah yakin.

Ia lantas ingat kemarahan Lanang yang tiba-tiba ketika melihatnya memegang kunci mobil. Kenapa? Apakah di sana ada bukti yang masih tertinggal? Mulut Mak Rodiah menganga ketika pikiran itu masuk ke benaknya.

Lihat selengkapnya