Mak Rodiah bingung bukan kepalang. Tadi tangannya gemetar waktu hendak mengirim video perselingkuhan mantunya dengan Ilham ke nomor Lanang, tapi entah kenapa malah terkirim ke grup ibu-ibu PKK. Wajahnya langsung memerah, bukan karena malu, tapi karena panik.
“Demi pantat panci! Gimana ini?” gumamnya sambil menatap layar ponsel. Komentar-komentar bermunculan di grup. Banyak yang menandai nomor Mak Rodiah, sehingga mau tak mau ia membaca komentar-komentar tersebut walau sekilas.
“Itu yang katanya harmonis, Mak?”
“Ya ampun, Mak! Belum puas buka aib orang, sekarang malah buka aib sendiri?”
“Gila! Diam-diam ternyata Ratih gatel juga, ya?”
“Kelihatannya sih alim, tetapi sekali melirik suami tetangga pun jadi.”
“Jangankan suami tetangga, Bang Sat aja dulu hampir kegocek.”
“Ah, iya, tuh! Untung imannya kuat.”
“Langsung pindah dia, nggak kuat kali sama ajian pelakornya!”
“Pantes nggak ngejar Bang Sat lagi. Dapat tangkapan yang lebih besar, sih!”
“Sudah-sudah, ibu-ibu! Mak Rodiah, tolong dihapus videonya,” pesan dari Ibu RT.
Mak Rodiah tambah panik. Ia tak tahu cara menghapus video yang terlanjur terkirim. Ia mencoba menekan-nekan layar, menggeser jari ke sana ke mari, tapi malah membuka emoji-emoji lucu yang membuat dia semakin stres. Saking stresnya ia tak sengaja mengirim stiker bergambar Suharto dengan tulisan, Gimana, enak jamanku, to?
Tanpa pikir panjang, Mak Rodiah pun memutuskan tindakan yang menurutnya paling bijak, yaitu menekan tombol daya dan mematikan ponselnya. Ia menyembunyikan ponsel di balik bantal dengan rapat, seolah-olah benda itu adalah bom yang bisa meledak kapan saja.
Mak Rodiah melirik pintunya dengan waswas, takut kalau-kalau Ratih mengamuk lalu mendobraknya. Pasalnya dia telah mengumbar aib sang mantu, walau tanpa sengaja. Ratih juga tergabung dalam grup PKK. Jadi, sudah pasti dia melihat video yang dikirimnya tadi. Namun, sekian waktu menunggu, tak ada yang terjadi pada pintu kamarnya. Bahkan, ketukan samar pun tidak ada.
Mungkin Ratih tidak sempat melihat video tersebut. mungkin seseorang telah menghapusnya dari grup sebelum Ratih sempat memutarnya. Tetapi, kalaupun begitu, dia masih bisa membaca komentar-komentar yang menghakiminya. Atau mungkin, Ratih malu, atau malah takut karena sadar Mak Rodiah tahu tentang perselingkuhannya. Jadi, dia tak memiliki nyali berbuat apa-apa terhadapnya. Meskipun demikian, Mak Rodiah tak berani keluar kamar. Ia memilih meringkuk di ranjang, berpura-pura tidak pernah mengirim video tersebut ke grup.
Lagi pula, bukan maunya salah kirim. Ratih juga ikut andil dalam kesalahan tersebut. Jika dia tidak menggedor pintu, Mak Rodiah tak bakal kaget hingga tangannya tak salah memencet. Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang, semua orang tahu kalau rumah tangga anaknya tidak harmonis seperti yang selama ini ia koar-koarkan. Mak Rodiah menjadi malu. Dulu, dialah yang paling keras bicara soal rumah tangga ideal. Dia bahkan berani berdebat dengan Bu Sandiman kalau rumah tangga anaknya adem ayem. Dia malah mencari-cari ketidaksetiaan para tetangganya. Tetapi kini, justru mantunya sendiri yang main hati.
Rasanya, Mak Rodiah ingin bersembunyi di rumah siput. Ia bersyukur telah keluar dari grup pecinta gosip. Walau begitu, ia yakin, para anggota grup pecinta gosip tengah membicarakan dirinya dan Ratih. Ia tak memiliki muka bertemu ibu-ibu komplek. Mak Rodiah juga membutuhkan waktu untuk menyalakan lagi ponselnya.
Hingga suara mobil Lanang terdengar, Mak Rodiah belum juga berani keluar dari kamar.
“Mak!” panggil Lanang mengetuk pintunya. “Emak kenapa? Dari tadi nggak keluar kamar. Emak sakit?”
Mak Rodiah jadi bimbang. Ia ingin menanggapi panggilan sang anak, tetapi berat rasanya menghadapi dunia luar. Entah apa yang membuatnya merasa berat. Rasa bersalah karena mengumbar aib mantunya, atau ketakutan akan pandangan orang lain terhadapnya. Atau malah keduanya. Ah, tidak. Video itu bukan aib, melainkan kebenaran. Jadi, pasti alasan kedua yang membuatnya merasa berat keluar kamar.
“Kalau sakit, kita ke dokter, yuk!” ajak Lanang.
Tak mau membuat anaknya khawatir, Mak Rodiah akhirnya menyahut, “Aku nggak apa-apa, kok. Cuma capek aja.”
Hening sebentar sebelum suara Lanang terdengar lagi. “Kalau gitu, kita makan malam sama-sama. Atau Emak mau aku bawain makan malamnya ke kamar?”
Mak Rodiah mendesah. Ia memberanikan diri bangkit dari ranjang dan memutar kunci. Ia membuka pintu itu sedikit, cukup untuk mengintip. Ia melihat anaknya sendirian berdiri di depan kamar.