Muka Lanang memerah. Matanya pun menggelap, seperti awan yang membawa badai. Kalau tatapan bisa membunuh, Mak Rodiah sudah termutilasi sekarang. Wanita tua itu tengah dduk mengkeret di sofa. Dengkulnya bergerak-gerak gelisah.
“Bukankah Emak udah janji nggak bakal ngurusin orang lain lagi?” Suara Lanang naik beroktaf-oktaf. Urat pada lehernya sampai menonjol.
Dengan bibir gemetar, Mak Rodiah meminta maaf. Ia menunduk, tak berani menatap mata sang anak.
“Terus terang aja, aku udah nggak kuat lihat kelakuan Emak. Aku malu!” Lanang melanjutkan.
Air mata Mak Rodiah merebak. Ia tergagap ketika menjawab, “Ma-maaf, Nang. A-aku nggak sengaja ngirim video itu. Se-sebenarnya, video itu mau ku-kukirim—“
“Aku nggak peduli Emak mau ngirim video itu ke mana! Niat ngirim video yang nggak jelas aja udah salah!” Lanang memijat keningnya.
“Ta-tapi, itu bukan video nggak jelas. Kalau kamu lihat video itu, kamu pasti bakal kaget.” Mak Rodiah baru berani menatap mata sang anak. “Isinya—“
“Cukup, Mak!” Lanang membentak.
Mak Rodiah berjenggit mendengar suara sang anak yang bak petir tersebut. Jantungnya berdebar kencang sekali. Ia takut. Namun, ia sudah tak tahan. Rasa gatal seolah muncul di mulutnya, ingin memberitahu Lanang isi video tersebut. “Dengerin Emak dulu,” sahutnya memberanikan diri.
Lanang menggeleng. “Besok, aku akan pindah.”
Mak Rodiah mencelos. Telinganya mendadak berdenging. Ia merasa seperti dijatuhkan ke jurang tanpa dasar, gelap dan dingin.
“Pidah?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Kamu … kamu nggak bisa ninggalin Emak begitu aja, Nang.” Mak Rodiah terisak. Ia menarik lengan baju sang anak yang duduk di sampingnya. “Emak udah nepatin janji buat nggak ngurusin persoalan orang lain. Kamu juga harus nepatin janji nggak akan tinggalin Emak sendiri.”
“Tapi Emak nggak nepatin janji! Emak masih saja ngurusin urusan Ilham! Memangnya Ilham itu bukan orang lain?” Lanang menepis cekalan sang ibu dengan kasar. Tatapannya terkesan muak.
Mak Rodiah menggeleng. ”Ini urusan kita, Nang. Ada kaitannya dengan rumah tanggamu.” Coba kamu lihat dulu videonya.”
“Aku nggak mau dan aku nggak peduli.” Lanang bangkit, tetapi belum beranjak. “Udah! Aku udah capek. Pokoknya, aku sama Ratih mau pindah dari sini.”
Saat Lanang hendak melangkah, Mak Rodiah segera mencekal kakinya. “Jangan sama Ratih!” Tangannya mencengkeram erat. Ia sudah bertekad akan memberitahu Lanang. Anaknya harus tahu.
“Kenapa aku nggak boleh sama Ratih? Dia istriku. Kalau aku pindah, tentu aku akan mengajaknya juga.” Raut wajah lelaki itu mengeras.
Mak Rodiah menghapus air matanya dengan kasar. Ia lantas bangkit. Ia merentangkan tangannya ketika Lanang hendak melewatinya. “Tunggu sebentar, jangan masuk kamar dulu,” pintanya. “Tunggu di situ, jangan ke mana-mana. Emak akan tunjukkan alasannya.”
Kening Lanang mengernyit saat melihat sang ibu yang melesat ke kamar. Ia juga mendecakkan lidah. “Apa lagi sih, Mak? Aku capek! Keputusanku udah final. Aku nggak mau tinggal sama Emak lagi.”
Sementara Lanang menyampaikan protesnya, Mak Rodiah mengambil ponsel dari kamar. Saat keluar kamar, tampak Ratih menggandeng lengan Lanang. Ia mengatupkan bibir setelah melihat Mak Rodiah. Mungkin, ia tengah membujuk suaminya agar segera beranjak dari sana. Nyatanya, kalau Mak Rodiah tak cepat-cepat kembali, mereka bakal masuk kamar.
“Ini, lihat ini!” Tanpa membuang-buang waktu, ia menyodorkan ponselnya. Namun, ketika menyadari layarnya gelap, ia pun menariknya lagi. Ia menekan tombol power dan tak sabar saat menunggu ponselnya siap. Sejenak, ia mendapati Ratih tampak gelisah. Beberapa kali, mantunya itu menarik lengan Lanang, berbisik, merajuk, meminta sang suami ke kamar.
“Tunggu dulu, kenapa, sih?” Mak Rodiah membentak sang mantu. Ia mendapati Ratih melengos, tetapi wanita tua itu tak peduli. Begitu ponselnya siap, banyak notifikasi masuk, yang tentu saja ia abaikan. Ia lantas menekan-nekan layar ponsel, kemudian memberikannya pada Lanang. “Lihat ini! Ini video yang nggak sengaja kusebar di grup PKK. Isinya perselingkuhan Ilham dan istrimu itu!”