Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #30

Tigapuluh

Telepon Ilham berdering. Lelaki itu melihat siapa peneleponnya. Bibirnya tersungging ketika nomor baru masuk. Ia sedang mengendarai mobilnya, pulang ke rumah dari kantor. Tanpa pikir panjang, ia menolak panggilan itu. Ia tahu persis siapa yang meneleponnya.

Mak Rodiah harus menekan egonya kuat-kuat saat meminta nomor ponsel Ilham kepada Ratih. Dirinya tahu kenapa Ilham memintanya menelepon alih-alih bicara langsung. Tetangganya yang licik itu bahkan menganjurkan untuk meminta nomornya kepada Ratih. Ilham ingin merendahkannya, mengejeknya, dan mencemoohnya. Ilham pasti ingin menunjukkan pada Mak Rodiah bahwa selama ini, mereka berhubungan di depan hidungnya tanpa ketahuan.

Segera, setelah mendapatkan nomor ponsel lelaki itu, ia menelepon. Ia menahan diri untuk tidak bertanya alasan Ratih menyimpan nomor Ilham. Sebab, jawaban yang diberikan pastilah omong kosong belaka.

Menahan amarah, Mak Rodiah menelepon tetangganya. Namun, lelaki itu malah menolak panggilannya. Tak mau menyerah, dia mencobanya lagi. Hingga lima kali mencoba, barulah Ilham mengangkatnya.

“Lagi di jalan, nggak bisa menerima telepon.” Selepas bicara seperti itu, Ilham memutus sambungan. Ia terkekeh. Pancar puas menghiasai roman mukanya. Hatinya senang mempermainkan Mak Rodiah. Sebab, ia merasa seolah mempermainkan Lanang.

Selama ini, Ilham membenci Lanang. Sifatnya yang kaku, wajahnya yang tak tampan, kekayaannya yang pas-pasan, tapi malah mampu memikat Ratih yang cantik membuatnya iri. Dia juga memiliki pekerjaan yang bagus. Ilham tahu karena salah satu klien penting yang pernah dijamunya menyebut Lanang sebagai tangan kanan. Ilham iri ketika lelaki dengan latar belakang jauh lebih rendah darinya mendapat semua hal yang diinginkannya: kepercayaan atasan, istri cantik, orang tua yang menyayangi.

Meski cucu orang kaya, apa yang diperoleh Ilham? Tak ada. Atasan sekaligus kakeknya tak pernah menghargai usahanya. Ayahnya malah sibuk menganiaya sang ibu. Ilham berharap mendapat istri secantik kakak iparnya, tapi malah zonk. Dulu, Arini tidak buruk-buruk amat. Kulitnya yang sawo matang terlihat manis. Untuk ukuran gadis desa, dia cukup lumayan. Namun, setelah menjadi istrinya, dia tak bisa mengontrol berat badan.

Sesungguhnya, Ilham tidak keberatan menikahi Arini. Wanita itu penurut. Bahkan, ketika dia memintanya untuk tak lagi berhubungan dengan teman-temannya, ia menurut. Namun, tetap saja dia bosan. Baginya, Arini tak memiliki tantangan. Merebut dari bekas pacarnya pun begitu mudah.

Ilham tumbuh dewasa dengan menyaksikan ibunya dipukul, ditendang, dilecehkan oleh ayahnya sendiri. Setiap kali ayahnya melakukan kekerasan kepada sang ibu, Ilham hanya bisa meringkuk di pojok kamar. Ia ketakutan dan tak berdaya sementara bunyi tamparan, cacian, dan kata-kata kotor diteriakan ayahnya. Dan, setelah ayahnya selesai, Ilham akan menatap ibunya yang tergolek lemah dengan memar menghiasi tubuhnya.

Ilham benci ketidakberdayaan. Ia butuh suatu tantangan untuk dimenangkan. Supaya orang-orang, terutama ayahnya, tahu bahwa dia bukan anak kecil yang bisanya hanya meringkuk di pojok ruangan, yang takut dengan suara menggelegar ayahnya ketika marah, yang ngeri terhadap cambukan dan tamparan. Ia ingin menunjukkan bahwa ia mampu menerjang setiap halangan.

Awalnya, ia ingin berprestasi seperti kakaknya yang sekolah di luar kota, sehingga terbebas dari segala bentuk siksaan mental yang dialaminya. Namun sayang, otaknya tidak secermelang sang kakak. Ia sudah berusaha berkonsentrasi terhadap pelajaran sekolah, tetapi sulit. Kemudian, ketika salah satu gadis menyatakan perasaan padanya, barulah dia sadar bahwa satu-satunya kelebihan yang dimiliki adalah tampang.

Ilham tak butuh wanita yang gampang ditakhlukkan. Ia tak suka. Jadi, ketika melihat adik kelasnya yang bernama Seruni, dia seolah mendapat tantangan.

Ayah Seruni sangat protektif. Setiap hari ia mengantar dan menjemput anak gadisnya itu. Main ke rumah teman pun selalu ditemani, dan tak boleh pulang setelah pukul delapan malam. 

Dengan sembunyi-sembunyi dia nekat mendekati gadis itu. Di sela-sela liburannya ke rumah sang kakek, diam-diam dia mengajak Seruni ke saung-saung, ke garasi, ke sawah, tanpa sepengatuhan ayah si gadis. Bahkan, ia berani berbuat hal yang tak senonoh terhadap gadis itu. Menurutnya, jika dia sampai berhasil mendapat kehormatan sang gadis, ia menang. Ia tak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya. Sebab, sang kakek yang akan mengurusnya. Seperti yang terjadi tiap kali ibunya ingin menyerah dan menceraikan sang ayah. Kakeknya akan mencegah hal itu, dengan menyuapkan perhiasan kepadanya.

Terhadap kakak iparnya pun demikian. Ia merasa tertantang. Sejak sang ayah dipenjara, kakak laki-lakinya kembali ke rumah dengan membawa istri. Dibanding kakaknya, jelas, Ilham lebih tampan, lebih supel, lebih pandai merayu. Tak pelak, dengan sedikit usaha, ia mampu merebut hati iparnya hingga mengajaknya kawin lari. Baginya, jika berhasil membuat mereka berpisah, ia menang. Dan, ia pasti menang seandainya, di saat terakhir, kakeknya tidak ikut campur. Meski begitu, ia puas karena sekarang, ternyata kakaknya telah bercerai.

Kini, ia mendapat tatangan lagi. Ratih. Ia tidak terima lelaki kaku dan bertampang pas-pasan itu mendapat jodoh wanita secantik Ratih. Ia menggunakan daya tariknya untuk memikat wanita itu. Baginya, jika dia mampu membuat Ratih meninggalkan Lanang, dia menang. Dan, dia yakin bakal menang. Sebab, kakeknya tak dapat ikut campur. Ia tengah sekarat.

Namun, berbeda dengan kakaknya, Lanang begitu peka. Ia tahu apa yang diperbuat Ilham. Dan, ia melawan. Ia bahkan berani membisikkan ancaman kepada Ilham kemarin. Musuhnya kali ini punya nyali dan otak. Dia jadi bersemangat.

Lihat selengkapnya