Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #31

Tigapuluh Satu

Meskipun sudah menduga akan menemukan sesuatu di mobil anaknya, tetap saja Mak Rodiah berharap bahwa dirinya salah. Ia tak menyangka bukti yang ditemukan bakal sejelas ini. Wanita tua itu mendesah panjang. Ia sudah kembali ke rumah. Mobil sudah dikunci dan kuncinya ditaruh kembali ke tempat ia menemukannya.

Baju berlumur darah yang baru saja ia temukan tergeletak pasrah di pangkuannya. Ia yakin baju itu milik Arini. Dilihat dari ukurannya saja sudah dapat dipastikan.

Mak Rodiah kini duduk lemas di kamarnya yang remang-remang. Dengan ditemukannya baju itu maka terbukti anaknya terlibat. Dan dari darah kering pada baju itu, Mak Rodiah yakin Lanang tak hanya menculik Arini. Ia pasti menyakitinya atau malah membunuhnya. Ya Tuhan .... Mak Rodiah menangkupkan tangannya ke muka. Ia tak sanggup menerima kenyataan ini. Pantas saja Lanang melarangnya ikut campur. Dia pasti tak ingin Mak Rodiah mengetahui kebenarannya.

Wanita tua itu sedih. Ia menyayangkan sikap Lanang yang lebih memilih menyakiti Arini ketimbang Ilham langsung. Ia lantas mengira-ngira, ke mana Lanang menyembunyikan Arini? Mungkinkah ia menyekap Arini di rumah yang dibeli olehnya dengan hasil keringatnya sendiri? Sepertinya, tidak mungkin. Sebab, kalau di sana, Lanang tak akan bersikeras pindah besok. Ratih bakal tahu. Mungkinkah Ratih juga tahu? Itu lebih tak masuk akal.

Kalau begitu, di mana? Mungkinkah ia membeli rumah lagi? Rasanya, mustahil. Mak Rodiah tahu anaknya tidak sekaya itu.

Gaji Lanang memang lumayan. Namun, hampir semua gaji ia transfer ke satu rekening. Kartu rekening itu dipegang oleh Ratih. Ia hanya mengambil seperlunya saja untuk makan siang dan bensin.

Untuk belanja keperluan sehari-hari, Ratih menaruh uang seratus lima puluh puluh ribu setiap harinya ke dompet yang terletak di atas kulkas. Jadi, kalau Mak Rodiah ingin berbelanja sayur maupun kebutuhan rumah tangga, ia bisa membelinya dengan uang itu. Jika ada kembalian, akan ditaruh kembali ke dompet. Di luar uang belanja, menjadi hak Ratih. Biasanya uang tersebutlah yang Ratih gunakan untuk jajan, atau jalan-jalan bersama temannya, atau malah untuk selingkuh. Dasar mantu tak tahu diuntung! Mak Rodiah kesal setiap kali ingat perselingkuhan mantunya.

Mak Rodiah mendesah. Ia yakin Lanang tak memiliki rumah lain untuk menyembunyikan Arini.

Kalau begitu, mungkinkah Lanang menyewa tempat untuk menyekap Arini? Atau .... Mak Rodiah membelalakkan mata. Ia menatap baju itu sekali lagi. Ia menyadari satu kemungkinan lain yaitu: Arini tidak disekap. Dia sudah dibunuh dan mayatnya entah dikubur di mana.

Kemudian, mendadak ia ingat waktu Lanang pergi menengok ibu atasannya yang sakit di luar kota. Jangan-jangan, dia hanya mencari alasan. Jangan-janagn, dia mengubur Arini ke luar kota.

Mak Rodiah mendekap mulutnya erat-erat. Ia menangis saat menyadari tak bisa bertemu wanita itu lagi. Dan, yang makin membuatnya pilu adalah kenyataan bahwa anaknya sendiri yang menghabisi nyawa Arini. Mak Rodiah terisak pelan. Ia mendekap baju itu di dadanya. Ia merasa kehilangan.

Selama ini, Arinilah yang menghiburnya, menemani hari-harinya. Mak Rodiah tak habis pikir Lanang tega melakukan hal itu. Namun, kalau dipikir kembali, bukan Lanang yang memulai ini semua, tetapi Ilham dan Ratih. Jadi, tidak adil kalau Lanang yang harus menanggung dosanya.

Sudah satu minggu tetangganya itu menghilang. Selama ini, Ilham mengira Arini kabur. Namun, bagaimana kalau dia sadar Arini tidak kabur, lalu melapor ke polisi?

Lanang akan ada dalam bahaya.

Polisi sekarang pintar-pintar. Tak perlu waktu lama untuk mencari tahu siapa pelaku penculikan dan pembunuhan Arini. Mereka akan menangkap Lanang, menuntutnya dengan pasal berlapis. Dan, akhirnya sang anak dipenjara. Mak Rodiah ngeri membayangkannya. Ia tak sanggup melihat anaknya dipenjara. Pasalnya, hanya sang anaklah keluarga yang tersisa. Tidak apa-apa Lanang pergi jauh darinya. Tidak masalah mereka tak tinggal serumah. Yang penting, Lanang bebas.

Mak Rodiah bertekad akan melindungi sang anak, dengan cara apa pun, termasuk menutup mata atas kasus ini. Toh, Arini terlanjur mati, tidak bisa diselamatkan. Mak Rodiah memindai kamar. Ia mencari tempat yang pas untuk menyembunyikan baju bernoda darah milik Arini. Ia lantas memutuskan menyimpan baju itu di lemari bagian dalam. Lebih aman kalau dibakar saja. Mungkin besok, atau lusa. Ia tak mau tetangga curiga ada asap muncul malam-malam. Ia takut dikira terjadi kebakaran, dan akhirnya membuat gempar komplek lagi.

Perasaan Mak Rodiah sedikit lega ketika merebahkan diri ke ranjang. Ia mencoba menutup mata. Namun mendadak, sosok Ilham datang dalam bayangannya.

"Aku nggak terima! Aku mau menuntut keadilan. Besok, aku akan melaporkan kejadian ini pada polisi." Suara Ilham terdengar dalam benak Mak Rodiah.

Kemudian, sosoknya digantikan oleh Lanang yang berkata, "Kalau Ilham melaporkan Emak ke polisi, aku angkat tangan! Aku nggak peduli!"

Mak Rodiah membuka mata lebar-lebar. Jantungnya berdetak kencang sekali. Ia terlalu fokus pada Lanang hingga lupa ancamannya sendiri. Bagaimana kalau Ilham benar-benar melaporkannya pada polisi? Membayangkan meringkuk di sel yang dingin membuat Mak Rodiah merinding. Ia menarik selimutnya rapat-rapat, tak peduli udara panas yang mendera.

Keesokan paginya, mata Mak Rodiah sembap. Lingkaran hitam menggantung di bawah mata, membuatnya tampak seperti panda. Mulanya ia tak memperhatikan suara berisik dari luar kamar. Pikirannya begitu ruwet. Namun ketika membuka pintu kamar, ia terpaku. Rupanya itu adalah suara Lanang yang tengah sibuk mengemas barang-barang ke dalam koper. Suara resleting, gesekan baju, dan denting hanger terdengar seperti nada-nada asing yang menyesakkan dada. Tangannya gemetar di balik daster lusuh yang sudah mulai memudar warnanya, menahan setiap gejolak yang nyaris meledak dari dadanya.

“Nang, nggak nanti malam aja pindahnya?” Suranya bergetar ketika bertanya.

“Lebih cepat lebih baik,” jawab sang anak tanpa menoleh. Ia kembali ke kamar, menyeret satu koper lagi dari sana. Ratih mengikutinya. Sebelum keluar rumah, sang menantu menghampiri Mak Rodiah, lalu mengulurkan tangan.

“Mak, kami pamit dulu,” ujarnya.

Mak Rodiah melengos. Ia tak sanggup menyambut uluran tangan itu. Rasa kecewanya begitu dalam hingga melihat wajah sang mantu saja ia tak sanggup, apalagi menyentuhnya.

Lihat selengkapnya