Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #31

Tigapuluh Satu

Setiap langkah menanjak yang ia lalui menghadirkan berbagai pertanyaan di dalam benak. Apa yang diinginkan Mak Rodiah di tempat seperti ini? Apakah dia tahu sesuatu tentang rencananya? Kalau memang tahu, kenapa malah memintanya bertemu? Mungkinkah dia keliru mengerti?

Ilham menyesali sepatu yang dipakainya. Ia pikir Mak Rodiah mengajaknya bertemu di salah satu restoran, atau minimal warung makan. Namun, setelah dipikir kembali, mereka tidak tengah berkencan.

Ia memakai sepatu pantofel yang licin, yang jelas tidak sesuai dengan medan yang dilaluinya. Kemeja panjang serta celana berbahan thai silk tidak mampu melindunginya dari angin darat yang berembus. Sesekali, Ilham melirik GPS, menghitung berapa jauh lagi ia sampai ke tempat tujuan. Jika bukan karena ingin memuaskan rasa penasaran, ia tak mau susah-susah bertemu wanita tua itu di tempat tersebut. Ilham berhenti ketika GPS menunjukkan arah yang berbeda dengan jalan setapak yang dilaluinya. Keningnya mengernyit. Ia menimbang-nimbang sebentar.

Sepengetahuannya, jalan setapak itu akan menuntunnya ke sebuah tebing di pinggir pantai selatan, tebing yang sering digunakan oleh para netizen untuk berfoto maupun membuat konten. Kadang, kalau tahun baru, beberapa orang tampak berkemah di sana. Ilham pernah mengajak Arini ke sana dulu. Tidak berkemah, tentu saja. Hanya melihat-lihat.

Kini, dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat lampu menerangi tebing itu. Namun, ia tak melihat ada orang di sana. Mengikuti GPS, ia melangkah ke atas, ke arah semak. Cahaya yang menyorot jalannya hanya berasal dari bintang yang berkelip di atas. Ilham berhati-hati dalam melangkah.

Setelah menyibak semak, ia melihat punggung seorang wanita berjilbab duduk di kursi panjang. Pandangannya ke arah bintang yang bertaburan di langit. Sekilas, Ilham ingin mencekik wanita tua itu. Namun, ia tahan. Ia harus sabar.

"Memang harus ya, bicara di sini?" tanya Ilham menghampiri Mak Rodiah. Jalan yang dilalui kini mendatar, kering, dengan sedikit pasir.

Mak Rodiah menoleh. "Aku nggak mau Lanang tahu." Ia melirik telepon genggam dan kunci mobil yang ditelakkan Ilham di sampingnya ketika duduk, menjajari Mak Rodiah.

"Kan bisa di restoran, atau warung, atau mana kek selain di sini."

"Aku nggak mau ada orang lain yang dengar. Soalnya ini rahasia," balas Mak Rodiah.

Ilham mengernyit. "Rahasia?"

Mak Rodiah menggenggam tasnya lebih erat. Sebenarnya, ia tak tahu apa yang akan dia bicarakan dengan Ilham. Ia menyuruhnya ke sana hanya sebagai alasan supaya bisa masuk ke dalam mobilnya. Sekarang, setelah alasan itu dipertanyakan, ia bingung menjawabnya.

"Kamu bohong, kan?" tanya Ilham. Sejak kejadian malam itu, ia sudah kehilangan respek terhadap Mak Rodiah. Ia tak lagi memanggilnya dengan sebutan Mak. Ia bahkan nggak mau repot menghormatinya dengan menyebut Bu. Ia berniat bangkit namun dicegah oleh Mak Rodiah.

"Tunggu dulu! Dengerin dulu! A-aku tahu siapa yang menculik Arini."

Ilham mendengkus. "Itu lagi, itu lagi. Bosen, tahu. Kamu mau nuduh aku, kan?"

"Enggak. Aku tahu bukan kamu yang nyelakain istrimu."

Ilham menatap Mak Rodiah lama. Batinnya menilai. "Oh, ya? Masa?"

Mak Rodiah mengangguk. Tangannya yang dekat dengan kunci mobil perlahan ia turunkan. Kelingkingnya menyentuh ujung benda itu. Jantungnya bertalu-talu. Namun, ia menutupinya dengan berkata, "Ka-kamu juga tahu kan siapa yang melakukannya?"

Ilham terkekeh. Ia memandang laut lepas di hadapannya. "Enggak, tuh," jawabnya berdusta. Dan, Mak Rodiah tahu ia berdusta. "Emang siapa yang nyulik Arini?"

Kelingking Mak Rodiah diam-diam mengait ke kunci mobil Ilham. Perlahan supaya tidak menimbulan suara, ia menariknya mendekat, kemudian meraupnya. Untungnya, deburan ombak saat itu meredam bunyi kerincing dari kunci yang beradu di genggamannya.

"Akan aku kasih tahu, tetapi jangan bilang-bilang polisi. Eh, tapi bentar dulu. Aku mau pipis. Kebelet." Sembari berkata seperti itu, dia bangkit.

"Pipis di mana?" Ilham menatapnya dengan jijik. "Di sini?"

"Ya enggaklah! Di parkiran. Tadi, kamu parkir di mana?"

"Di parkiran? Jauh amat! Aku tadi parkir di bawah. Kalau parkir di tempat parkir wisata, jalan ke sininya kejauhan. Lagian, kalau kamu mau pipis di sana, aku nggak mau nunggu. Kelamaan. Mending aku pulang aja. Kita bicara lagi lain kali. Aku juga kedinginan. Kupikir kamu ngajak aku bicara di resto bawah tebing. Nggak tahunya malah di tebingnya langsung. Kalau nggak nuruti rasa penasaran, males banget, tahu!"

Sebelum mendaki jalan setapak yang menuju ke tebing itu, dari tempat parkir wisata orang-orang mesti melewati jalanan yang diapit semak setinggi kepala orang dewasa. Akan tetapi, karena tidak mau berjalan kaki, penduduk lokal yang ke sana sering parkir liar di jalan tersebut. Para juru parkir sebenarnya sudah memperingatkan mereka supaya tidak parkir di sana karena selain sempit juga menganggu ketertiban. Namun, karena sekarang sudah malam, juru parkir juga pasti sudah pulang, Ilham memarkir mobilnya di sana saja. Toh, tak ada wisatawan yang bakal ke sana malam-malam, pikirnya.

"Ya udah, aku pipis di semak bawah. Tunggu sebentar. Aku bakal cepet, kok! Lagian kamu nggak mau tahu siapa pembunuh istrimu?" tanya Mak Rodiah.

Kening Ilham mengerut dan itu tandanya Mak Rodiah berhasil mematik rasa penasarannya. "Pembunuh? Maksudmu Arini udah mati?"

"Nanti, setelah aku pipis kukasih tahu. Makanya jangan pergi dulu." Wanita tua itu berlari kecil ketika pergi dari sana. Ia menuruni tebing dengan tergesa-gesa. Sesekali, ia terpeleset pasir. Namun, ia segera bangkit. Tanpa menoleh ke belakang, ia terus turun.

Nadi di telinganya berdengung-dengung. Napasnya tersengal. Ia hanya memiliki waktu singkat.

Kakinya dipaksa berlari ketika sampai di bawah tebing, di jalan landai.

Lampu jalan tampak berjarak. Mobil Ilham terparkir di antara lampu-lampu itu sehingga cahaya yang menyorotnya malah minim. Namun, warnanya yang silver membuat Mak Rodiah gampang mengenalinya. Sembari berlari mendekat, ia memencet tombol kunci. Ia akan menyembunyikan baju bernoda Arini ke bawah jok mobil Ilham.

Lihat selengkapnya