Pukul dua dini hari, dua orang lelaki tengah lewat di jalanan sepi. Di kanan dan kiri jalan berdiri pepohonan setinggi kepala orang dewasa yang rindang. Di kejauhan tampak laut yang tenang. Langkah mereka terseok-seok. Susah payah mereka mempertahankan badan supaya tegak. Namun, pandangan mereka malah berputar-putar. Tiang-tiang lampu yang dilaluinya tampak miring. Jalan yang datar seolah menanjak. Mereka saling merangkul bahu.
Mereka menyanyikan sebuah lagu dengan tak jelas. Sesekali meracau tentang susahnya tekanan hidup yang mereka lalui. Salah satu lelaki itu menggenggam botol yang isinya tinggal seperempat. Baju mereka tampak berantakan. Satu lelaki mengenakan celana jins pendek yang melorot sehingga memperlihatkan perut bagian bawahnya yang kurus dan menjijikkan. Kaus lengan pendeknya menggantung. Jaketnya terpasang di satu tangan.
Sedangkan, lelaki yang satu lagi sama berantakannya. Meski jaketnya terpasang dengan benar, namun alas kakinya yang tinggal satu, dipakai secara serampangan, diseret hingga menimbulkan bunyi berisik. Rambut mereka sama berantakannya. Mata mereka juga merah. Tubuh mereka menguarkan bau alkohol yang tajam.
Mereka berjalan sempoyongan. Kadang, salah satunya menggoda, mengejek, dan menyumpahi yang lainnya sehingga menimbulkan pertengakaran. Namun, tak lama kemudian, dengan kompak, mereka mencaci istri mereka masing-masing, lalu tertawa dan menyanyi lagi. Saat salah satunya salah menyanyikan lirik, yang lain mencerca. Kemudian, siklus mereka berulang kembali. Begitu seterusnya hingga seandainya ada yang melihat tingkah mereka, niscaya orang itu bakal menjauhi mereka sembari mengernyit jijik. Mereka tampak bak sampah. Dan, memang itulah sebutan mereka. Sampah masyarakat.
Mereka baru berhenti mengulang siklus itu ketika salah satu punggung lelaki itu menabrak sebuah benda besar berwarna silver. “Berengsek! Siapa yang naruh mobil di sini! Ngalangin orang jalan saja!” Ia lantas menyepak bodi mobil itu.
“Eh, eh! Jangan, Bro! Nanti ada orangnya!” seru lelaki yang sandalnya hilang satu. Ia melirik kanan kiri, mencari si pengendara mobil. Namun, ia tak menemukannya.
“Minggir!” teriak lelaki yang menabrak mobil tadi. “Kalau nggak minggir, kupecahin kacanya pakai botol, nih!” Ia berancang-ancang dengan mengangkat botol setinggi kepala. Namun, karena tangannya lunglai, ia tak dapat mempertahankan botol itu di udara lama-lama.
“Sssh ....” Lelaki satunya menariknya menjauh. Meski sama-sama minum alkohol, ia tak semabuk kawannya.
“Apaan, sih?” Lelaki dengan celana melorot itu pun merangsek maju. Tangannya terulur, membuka pintu mobil. Ia melongok ke dalam mobil dan berseru, “Turun kau, goblok!”
“Itu pintu penumpang, bego!” kata lelaki satunya. Ia menarik jaket kawannya, mendudukkannya ke dekat ban kemudian mengamati mobil dengan kening berkerut. Ia merasa seolah mendapat durian runtuh. Mobil di depannya itu tidak terkunci, tidak ada pengendaranya pula. Ia lantas memeriksa isi mobil itu, menggasak semua yang kiranya bisa menghasilkan uang. Mulai dari uang receh di dasbord, stir, CD player, spion, hingga barang-barang yang ada di bagasi ia ambil. Ia bahkan berniat mengambil kamera yang biasanya terpasang di dalam mobil, namun rupanya, benda itu tak ada. Si pemilik pastilah tidak ingin merekam keadaan di luar maupun di dalam mobil. Mungkin, si pemilik masih kolot, atau malah sering membawa mobilnya ke tempat-tempat rahasia bersama orang-orang rahasia.
Setelah melancarkan aksinya, lelaki itu meraih jaket temannya, menariknya pergi. Sayangnya, baru setengah jalan, mobil patroli polisi memergoki mereka.