Udara panas dan pengap membuat kerongkongan Mak Rodiah kian sakit. Apalagi jika digunakan untuk menelan, meski hanya menelan ludah sekalipun. Beberapa kali ia terbatuk. Badannya juga pegal. Saat bangkit dari ranjang, walau sekadar duduk, kepalanya langsung pening. Pandangannya berkunang-kunang. Suhu tubuhnya mencapai 38 derajat celcius.
Ia sudah meminum antibiotik dari dokter satu jam yang lalu, juga paracetamol. Tetapi, efek obat itu belumlah terasa. Lanang membuka kamar dan mengatakan seseorang mencarinya.
“Siapa?” Suara Mak Rodiah serak saat bertanya.
“Polisi.”
Wajah Mak Rodiah pucat pasi. Sekilas, bibirnya menegang ketika mendengar jawaban sang anak. Ia lantas terbatuk.
Lanang menambahkan, “Pemeriksaan rutin saja, katanya. Aku udah bilang kalau Emak sakit. Tapi, kata Pak Polisi tadi kalau emang nggak bisa sekarang, pemeriksaan itu bisa dilakukan lain waktu di kantor polisi.”
Cepat-cepat, wanita tua itu menggeleng. Ia berhenti ketika kepalanya semakin pusing. “Sekarang aja kalau gitu,” sembari berkata seperti itu, ia bangkit. Ia menahan rasa tidak enak dari badannya. Ia menapakkan kaki ke lantai, dan memaksa tubuhnya tegak. Kepalanya seolah dipukul palu. Ia sempoyongan.
Lanang segera mencegahnya melangkah lebih jauh lagi. Dia membantu ibunya berbaring kembali, lantas berkata, “Aku minta Pak Polisi itu ke sini aja. Emak nggak keberatan, kan?”
Mak Rodiah menggeleng, lalu menyesal karena melakukannya. Kepalanya mau pecah rasanya. “Kalau dia nggak keberatan, suruh ke sini aja.”
Lanang kemudian keluar dari kamar ibunya. Tak lama kemudian ia kembali bersama seorang polisi bertumbuh tinggi. Rambutnya dicukur pendek. Ia memiliki kumis selebat milik Pak RT. Matanya yang hitam menatap dengan tajam, dibingkai alis tebal dan panjang. Saat melihatnya, Mak Rodiah teringat tokoh Rahwana dalam cerita Ramayana. Seragam polisi membuatnya tampak lebih gagah dari aslinya.
Di belakang polisi itu ada Pak RT yang menatapnya dengan pandangan minta maaf. Entah apa yang telah dilaporkannya, Mak Rodiah yakin bukan hal baik. Jantungnya berdegup lebih keras. Tangannya yang tersembunyi dari pandangan sang polisi mencengkeram sprei erat-erat, berharap kegugupan yang menguasainya reda. Benaknya bertanya, mungkinkah polisi itu tahu tentang kejadian tadi malam?
“Maaf menganggu, Bu,” sapa polisi itu. Suaranya memiliki aksen Bali yang kental. “Saya Ipda I Made Slamet. Biasa dipanggil Pak Slamet.”
“Si-siang, Pak,” balas Mak Rodiah. “Nang, tolong ambilkan kursi,” tambahnya kepada Lanang.
“Tak usah, Bu. Saya cuma sebentar saja.” tolak Pak Slamet. “Omong-omong, sudah berapa lama Ibu sakit?”
Mak Rodiah mengernyit. Ia mengingat-ingat sejak kapan dirinya mulai merasa tidak enak badan. Kalau dipikir-pikir, tenggorokannya sudah sakit sejak bertengkar dengan Ilham. Namun, ia baru benar-benar merasa tidak enak badan setelah pulang dari tebing. “Kemarin. Memangnya kenapa, Pak?”
“Tidak apa-apa,” jawab Pak Slamet ramah. “Jadi begini, dari keterangan Bapak Ketua RT, beberapa hari yang lalu, Ibu bertengkar dengan Saudara Ilham. Kalau boleh saya tahu, apa yang kalian pertengkarkan?”
Kening Mak Rodiah mengernyit. Benaknya sedikit lega. Rupanya, polisi itu tak tahu akan keterlibatannya dengan Ilham tadi malam. Meski begitu, ia harus hati-hati. “O-oh, itu ... itu hanya kesalahpahaman, Pak,” jawab Mak Rodiah yang disela batuk.
Raut muka Pak Slamet tampak tak nyaman. Dalam hatinya ada rasa khawatir. Sebab, ia takut tertular. Belakangan ini di Indonesia tengah terjadi pandemi wabah mematikan. Baru beberapa bulan terakhir pemerintah melonggarkan aturan dalam menjalankan protokol kesehatan. Ia masih waswas. “Tolong jelaskan, Bu!”
Mak Rodiah melirik Pak RT yang mengalihkan pandangan darinya. Ia kesal terhadap lelaki kurus itu. Namun, ia tak memiliki pilihan selain menjawab. Walaupun demikian, ia bingung. Ia harus menjawab apa? Bertengkar karena Ilham memergokinya masuk ke rumahnya tanpa izin untuk mencari bukti penculikan Arini? Bagaimana kalau polisi itu malah mengusut penculikan Arini? Tidak. Dia tak boleh menjawab jujur. Lagi pula, kenapa polisi itu malah bertanya tentang pertengkarannya dengan Ilham, bukannya malah menuduhnya terlibat dengan kematian Ilham? Mungkinkah .... “Memangnya ada apa to, Pak? Apa Ilham melaporkan saya? Saya benar-benar nggak seperti yang dia tuduhkan.”
Polisi itu menggeleng. “Tidak, Bu. Saudara Ilham tidak melaporkan Ibu. Saya hanya ingin tahu.”
“Kalau memang tidak, kenapa Bapak merasa perlu bertanya kepada ibu saya?” tanya Lanang ikut menimpali.
Polisi itu mendesah. “Tadi pagi, saudara Ilham kami temukan tewas, jatuh dari tebing di pinggir pantai selatan.”
Mata Lanang terbelalak kaget. “Innalillahi wa innaillaihi roji’un.”
Pak Slamet mengamati ekspresi Lanang ketika dia mengabarkan berita itu. Menurutnya, keterkejutan lelaki itu tidak dibuat-buat.
“Bagaimana kejadiannya, Pak?” tanya Lanang lagi.
“Itu masih kami selidiki,” jawab Pak Slamet. Ia berpaling ke Mak Rodiah yang terbaring di ranjang lantas berkata, “Untuk itu, saya mohon kepada Ibu supaya membantu kami.”
Wanita tua itu mengangguk, namun malah terbatuk. Kemudian, ia menjelaskan, “Waktu itu saya nggak bisa tidur. Saya ke belakang sekadar cari angin. Saya lihat pintu belakang rumah Ilham terbuka. Padahal sudah malam. Saya takut kalau-kalau ada maling masuk. Saya masuk ke sana. Saya sudah memanggil-manggil Ilham, tetapi dia nggak nyahut.”
Cerita Mak Rodiah disela oleh batuk lagi. Ia kemudian melanjutkan, “Saya kan jadi tambah curiga. Jangan-jangan dia pergi. Saya coba memeriksa, apakah benar ada maling atau tidak. Apalagi semua lampu rumah Ilham mati. Nah, waktu mau ngecek kamar, Ilham memergoki saya. Dia salah sangka. Dia kira saya maling. Padahal, sumpah demi Tuhan, saya nggak gambil apa-apa. kalau nggak percaya, cek aja, Pak!”
Polisi itu mengangguk-angguk.
“Ilham itu ceroboh banget, Pak Polisi,” tambah Mak Rodiah setelah berdeham. Tenggorokannya gatal. Sejenak, ia takjub kepada dirinya karena mampu menciptakan kebohongan itu dengan lancar. “Saking cerobohnya, beberapa hari yang lalu dapurnya kebakaran. Pak RT ingat kan, saya pernah bercerita tentang itu?”
Pak RT yang tiba-tiba dimasukkan ke dalam percakapan pun tampak sedikit salah tingkah. “Eh, iya! Yang waktu—“
Mak Rodiah segera memotong, “Mungkin, Bapak bisa melihat bekas kebakaran itu di dapur Ilham. Kabinet atasnya sampai gosong.”
Pak Slamet manggut-manggut khidmat. Ia lantas bertanya, “Saya dengar, kejadian itu sampai ramai—maksud saya pertengkaran itu, bukan kebakarannya. Apa Ibu merasa dendam?”
Mak Rodiah menggoyangkan telapak tangannya ke kiri dan ke kanan. “Kalau marah sih iya, Pak. Malu juga. Tapi, ya sebatas itu. Saya nggak dendam.”