Arini menghela napas panjang. Mak Rodiah duduk di dekatnya, bahkan menempel padanya. Wanita tua itu mendesaknya memberi penjelasan. Tak memiliki pilihan lain, ia pun terpaksa memulai, "Jadi dulu aku menikahi Mas Ilham tanpa tahu sifat aslinya. Perkenalan yang hanya beberapa minggu itu terhitung sangat singkat. Awalnya dia memperlakukanku dengan baik, lembut, dan penuh kasih sayang. Kakeknya selalu mendorong kami buat cepat-cepat nikah. Ditambah Mas Doddy yang ngecewain, bikin pikiranku kacau. Aku jadi terburu-buru ambil keputusan. Kupikir dengan memilih Mas Ilham, aku beruntung. Nggak tahunya .... Mulanya sih cuma sekali, Mak, tapi lama-lama keterusan, dan malahan jadi kebiasaan."
"Berarti Doddy bener, dong," gumam Mak Rodiah.
"Doddy?" Kening Arini berkerut. "Emak bicara sama Mas Doddy?"
Mak Rodiah mendecakkan lidah. "Nggak usah dibahas. Lanjutin aja ceritanya."
Arini tersenyum sebentar. Ia menurut. "Setelah menikah, Mas Ilham berubah. Dia bukan lagi sosok yang lembut dan penuh perhatian seperti yang selama ini terlihat. Dia temperamen, sok dominan, dan kasar. Dia sering nganiaya aku. Bukan pukulan berat yang menimbulkan suara gaduh, Mak, melainkan cubitan, puntiran, serta gigitan. Kalau aku teriak, dia bakal nyakiti aku lebih banyak lagi. Makanya aku selalu bungkam. Dia juga nyiksa aku dengan kata-katanya. Dia menghancurkan mentalku pelan-pelan. Dia bilang aku wanita yang nggak memiliki tantangan, jelek, gembrot, nggak pantas hidup, pokoknya ngerilah. Aku jadi nggak percaya diri lagi. Kemudian, setelah penganiayaan itu selesai, dia meratap, mohon ampun dan berjanji nggak bakal ngulangi lagi. Dia juga bilang kalau kata-kata yang diucapkannya itu nggak serius, bilang dia mencintaikulah, tak bisa hidup tanpakulah, bla bla bla, sampai aku luluh. Dia ngeyakinin aku kalau penganiayaan itu warisan dari bapaknya. Bapak Mas Ilham dipenjara karena kasus KDRT, lho, Mak."
Mak Rodiah mengangguk. "Aku tahu. Doddy yang bilang."
"Jadi, sampeyan beneran ketemu Mas Doddy?" tanya Arini penasaran.
Wanita tua itu mengibaskan tangan. "Ya itu. Buat nyariin kamu. Sebegitunya aku khawatir sama kamu sampai nyari ke kampung halamanmu.”
“Pasti waktu Emak minta izin menghadiri khitan anak teman Emak itu, ya?” tebak Lanang. “Aku udh curiga, soalnya tumben sekali pergi jauh nggak minta antar.”
Mak Rodiah salah tingkah. Ia mengalihkan perhatian dengan menggerakkan tangan, mengisyaratkan supaya Arini melanjutkan ceritanya.
Arini yang menangkap isyarat tersebut pun tersenyum. "Iya, iya, Mak. Aku lanjutin ya. Intinya, Mas Ilham KDRT sama aku dan selalu aku maafin karena percaya kalau dia bisa sembuh. Bahkan waktu dia melarangku pergi tanpa izin dan memutus hubunganku sama teman-temanku dengan alasan cemburu, aku percaya. Aku juga percaya pas dia bilang kalau cuma aku yang bisa menolongnya keluar dari sifat kejamnya itu. Jadi, aku bersabar. Tapi di situlah letak kebodohanku. Sabarku tidak membuatnya sembu. Dia malah menjadi-jadi."
Mak Rodiah menatap iba pada wanita yang duduk di sampingnya itu. "Ya ampun, Rin." Ia menggenggam tangan tetangganya itu. "Sebenarnya aku udah curiga waktu kamu pakai baju lengan panjang terus, apalagi pas cuaca lagi panas-panasnya. Tapi, kamu selalu tampil mesra sama Ilham di depan umum."
Arini balas menggenggam. "Yah, gimana ya, Mak? Kadang tuh Mas Ilham bersekiap lembut, dan mesra di depan orang lain. Tapi, waktu berdua, dia kasar. Aku pakai lengan panjang juga biar orang nggak tahu, Mak. Aku kan malu kalau mereka tahu suamiku bukan orang baik."
"Seharusnya bukan kamu yang malu," tiba-tiba Lanang menimpali. “Itu kan udah tindak kriminal.”
Arini menoleh pada Lanang sembari tersenyum lemah. "Iya, aku memang bodoh, Mas. Kalau sampeyan nggak membantu, mungkin aku masih terbelenggu dalam hubungan yang nggak sehat."
"Membantu gimana?" Mak Rodiah sampai tak sadar telah memajukan tubuhnya.
Arini menjelaskan, "Beberapa bulan lalu, aku memergoki Mas Ilham berselingkuh dengan Ratih, Mak."
Mak Rodiah memelotot pada Lanang yang kini melengos, seakan enggan bertemu pandang dengannya. Ia ingin bertanya sesuatu, tetapi Arini memotongnya,
"Kalau siang, pas Emak main ke rumahku dan Mas Lanang kerja, Mas Ilham dan Ratih teleponan. Aku tahu karena pernah nggak sengaja dengar Ratih nyebut nama suamiku dengan mesra di telepon. Waktu itu aku lagi ngambil alat masak yang tertinggal di rumah sampeyan. Mereka bahkan memiliki panggilan kesayangan. Lulu. Singkatan dari Love U Love U. Jijik, banget nggak, sih? Kayak ABG labil!
"Mulanya sih kupikir Ilham yang ditelepon Ratih bukan Ilham suamiku. Tapi yang namanya feeling seorang istri kan kuat banget kalau maslah begituan. Suatu hari aku membuntuti Ratih. Aku lihat dia bertemu dengan suamiku di restoran hotel. Kupikir nggak sengaja ketemu, eh, malah pegangan tangan, peluk-pelukan, terus ciuman. Nggak sampai di situ, mereka booking kamar segala. Tubuhku sampai gemeteran waktu tahu itu. Rasanya aku pengin labrak mereka saat itu juga, tetapi aku takut."
Mak Rodiah tak bisa berkata bahwa dia pun demikian saat memergoki mereka.
Arini mengggit mencengkeram celananya untuk menahan emosi sebelum melanjutkan, "Aku langsung pulang, tapi sebelumnya sudah kuprotet mereka diam-diam, walau hasilnya nggak karu-karuan. Saat itu aku sadar kalau Mas Ilham udah nggak bisa ditolong lagi. Aku nyerah jadi istri yang bodoh, yang selalu dibohonginya."
Mata Arini mengerjap menahan air mata. Ia menarik napas, kemudian menambahkan, "Mas Doddy kutinggalkan karena berselingkuh. Dari dulu aku nggak bisa maafin perselingkuhan. Bagiku sellingkuh adalah dosa paling menjijikkan yang dapat dilakukan orang hidup. Sebab, saat ibuku terbaring sakit, aku melihat bapakku selingkuh dengan wanita lain. Nggak ada yang tahu. Hanya aku. Kakakku pun nggak tahu. Sejak itu aku nggak pernah respect sama bapakku. Bahkan, ketika dia minta aku putus sama Mas Doddy, aku nggak nurut dan milih pacaran secara diam-diam. Jadi, pas tahu Mas Ilham selingkuh, aku hancur. Rasanya kayak, aku udah buang buaya, eh malah dapat serigala."
“Serigala berbulu manusia,” Mak Rodiah melantur.
Lanang memutar bola matanya. “Serigala berbulu domba, Mak,” koreksinya.
“Mana ada?” Mak Rodiah tak mau disanggah. “Ilham kan berwujud manusia.”
“Iya, tapi kan—ya, udah deh, suka-suka Emak.“ Lanang menyerah.
Arini terkikik. “Aku kangen sama Emak kalau udah mode begini. Rasanya waktu kabur pengin bawa sampeyan sekalian,” candanya.