Ny. Prasangka

IyoniAe
Chapter #35

Tigapuluh Lima

Pada suatu malam, dua minggu setelah pemakaman Ilham, Pak RT datang ke rumah Mak Rodiah. Ia menanyakan keikutsertaan Mak Rodiah dan keluarganya ke acara piknik PKK yang akan dilaksanakan pada akhir pekan. Saat arisan PKK kemarin, Mak Rodiah tak ikut. Jadi, panitia belum menuliskan namanya ke dalam daftar rombongan.

Wanita tua itu menolak ikut. Ia lelah. Namun, Lanang yang akhir-akhir ini melihat ibunya murung dan kurang semangat mendesaknya. Sesungguhnya, dia tahu penyebab ibunya itu murung. Apalagi, ketika tahu baju Arini yang dia simpan di bawah jok mobil tidak ditemukannya. Dia bisa menduga bahwa sang ibu tengah berpikir yang tidak-tidak. Meski begitu, dia tak mau mengungkapkannya.

Pak RT juga membujuknya. Dia tak ingin uang kas yang dikeluarkan untuk acara itu terbuang sia-sia dengan minimnya anggota yang ikut. Sebab, sebagian besar ibu-ibu kompleks menunggu keputusan Mak Rodiah. Kata mereka, jika wanita tua itu tak ikut, mereka juga enggan ikut. Kata mereka lagi, kalau tidak ada Mak Rodiah, rasanya kurang asik.

Dengan bujukan, rayuan, dan sedikit rajukan, akhirnya Mak Rodiah bersedia turut piknik. Ia akan berangkat sendiri. Lanang dan Ratih memilih di rumah. Mereka khawatir kalau terjadi apa-apa dengan kandungan Ratih.

Keesokan harinya, Mak Rodiah bersiap-siap. Ia membawa obat-obatan pencegah mabuk perjalanan, minyak kayu putih, baju hangat, dan uang saku. Lanang memberinya uang lebih, tetapi Mak Rodiah menolak. Anaknya itu memaksa dengan alasan meminta oleh-oleh bakpia khas Semarang. Tempat wisata yang akan ditujunya ada di kota Semarang.

Saat melihat bus yang akan membawanya, Mak Rodiah sudah merasa mual. Ia bakal tak jadi pergi seandainya Pak RT dan Bu Yayuk tak mengapitnya, mendorongnya masuk. Untungnya, ia duduk di kursi depan.

Perjalanan itu aman dan lancar. Pak Sopir pun menyetir dengan baik, tidak ugal-ugalan.

Pemberhentian pertama mereka adalah Lawang Sewu. Kaki Mak Rodiah sampai pegal saat menjelajah ruangan demi ruangan. Namun, ia senang. Matanya seolah mendapat asupan vitamin baru.

Kemudian, wisata dilanjutkan ke daerah lain. Mereka juga mampir ke pasar oleh-oleh. Mak Rodiah membeli pesanan Lanang.

Makan siang dibagikan di bus. Mak Rodiah mengintip isinya yang berupa nasi oseng, ayam goreng, puding, dan pisang. Saat makan sesuap, ia kesulitan mengunyah daging ayam yang dingin dan alot. Ditambah goncangan dari bus membuatnya tambah tak selera makan. Alhasil, ia hanya menyantap puding dan buah pisang saja.

Sore hari, rombongan itu tiba di tujuan akhir wisata yaitu Klenteng Sam Poo Kong. Perut Mak Rodiah melilit karena lapar. Jadi, ia memilih tak ikut masuk ke area klenteng. Lagi pula, kakinya terlalu pegal kalau harus dipakai berkeliling. Ia memilih menunggu di kursi pajang yang ada di depan gerbang kecil bercat merah dekat area parkir. Sendirian. Bu Yayuk, Sulis, dan anggota grup pecinta gosip lainnya masih ingin memuaskan mata mereka.

Mak Rodiah duduk dan menghabiskan sisa makan siangnya di kursi itu sembari melihat orang-orang berlalu lalang. Peluit yang disemprit juru parkir menemaninya. Kemudian, ketika jatah makan siangnya habis dan air dari botol menggelontorkannya dari tenggorokan, dari ekor mata, ia melihatnya. 

Seorang wanita tampak berjalan ke arahnya. Wajahnya yang dulu bulat, kini terlihat sedikit tirus. Dia memakai blus lengan pendek dipadu celana jins biru. Rambutnya yang panjang sepinggang dipotong sampai di bawah bahu. Kulitnya yang dulu kusam, kini tampak lebih cerah. Badannya yang dulu gempal seperti bola, sekarang tidak lagi. Meski masih gemuk, namun tak segemuk dulu.

Mulut Mak Rodiah menganga ketika melihat wanita itu. Matanya terbuka lebar. Seolah sadar, ia menguceknya. Ia memastikan matanya tak salah melihat.

Wanita itu berhenti tepat di dekat Mak Rodiah. Dengan mata berkaca-kaca, ia memeluk wanita tua itu. "Aku kangen, Mak!"

Masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, Mak Rodiah melepas pelukan itu. Ia mengamati wanita itu dari atas sampai bawah dengan teliti. "Arini?"

Wanita itu tersenyum. "Pangling, ya?"

Mak Rodiah menggeleng. "Imposibel," gumamnya tak percaya. Mendadak, lututnya melemas, pandangannya berkunang-kunang, dan wajahnya pucat pasi. "Kau pasti bukan Arini. Arini sudah mati."

Arini segera menangkap tubuh Mak Rodiah sebelum jatuh. Setelah mendudukkan wanita tua itu di kursi, ia duduk di sebelahnya. "Emak nggak apa-apa, kan? Mananya yang sakit?"

Mata Mak Rodiah memandang wanita itu seolah menatap hantu. Ia tak bisa menjawab pertanyaan Arini. Sebagai ganti, ia menggeleng.

"Mas Lanang mengabariku kalau Emak bakal ke sini hari ini. Jadi, aku meluangkan waktu ke sini. Aku ingin menemui sampeyan. Aku ingin minta maaf karena pergi tanpa pamit," lanjut Arini.

"Lanang?" tanya Mak Rodiah setelah pulih dari keterkejutannya.

Arini mengangguk. "Aku nggak nyangka Mas Ilham meninggal. Katanya kecelakaan. Aku dengar dari polisi kemarin. Setelah dapat kabar kematian Mas Ilham dari Mas Lanang, aku melapor ke polisi. Katanya mereka nyari aku."

"Bentar-bentar," kata Mak Rodiah mencegah Arini bicara lebih lanjut. "Kamu bukan hantu, kan?"

Arini tersenyum. "Hantu gimana? Orang cantik gini kok hantu."

Mak Rodiah mencubit dirinya sendiri kemudian mengaduh. "Aku juga nggak lagi mimpi, kan?"

Arini tertawa. "Ya ampun, Mak. Ada-ada aja, deh. Emak lagi nggak mimpi."

"Tapi ... tapi ... tapi, kok kamu bisa ada di sini? Kamu kan udah mati. Lanang yang membunuhmu."

Kening Arini mengerut. "Membunuhku? Astaga! Emak nggak pernah berubah, ya? Selalu aja berprasangka yang bukan-bukan."

"Teriakan, darah, pisau, baju, Doddy, kakek. Ya ampun!" Seperti orang linglung, Mak Rodiah bicara tak tentu arah. Ia meneguk air dari botolnya lagi.

Arini tersenyum. "Tenang, Mak, tenang. Ambil napas dulu."

Setelah lawan bicaranya dirasa sudah tenang, Arini menjelaskan, "Mas Lanang nggak membunuhku. Dia malah bantuin aku."

"Apa?" Mak Rodiah kembali terkejut. "Bantuin gimana?"

"Rumit. Tapi, akan kuceritakan dari awal. Jadi dulu, aku menikahi Mas Ilham tanpa tahu sifat aslinya. Perkenalan yang hanya beberapa minggu itu terhitung sangat singkat. Awalnya dia memperlakukanku dengan baik, lembut, dan penuh kasih sayang. Kakeknya selalu mendorong kami buat cepat-cepat nikah. Ditambah Mas Doddy yang ngecewain, bikin pikiranku kacau. Aku jadi terburu-buru ambil keputusan. Kupikir dengan memilih Mas Ilham, aku beruntung. Nggak tahunya .... Mulanya sih cuma sekali, Mak, tapi lama-lama keterusan, dan malahan jadi kebiasaan."

Mak Rodiah menunggu perempuan itu melanjutkan dengan sabar. Dia tidak mengerti maksud kalimat terakhir yang diucapkan lawan bicaranya.

"Menurut Emak, kenapa aku selalu pakai baju lengan panjang, coba?" tanya Arini tiba-tiba.

Lihat selengkapnya