Blurb
Basar berjalan tergesa, dalam kepalanya, ingin ia cepat-cepat sampai di rumah. Sesuatu telah ia putuskan dalam hati. Tekadnya sudah bulat. Tak ada lagi alasan untuk tidak melakukan apa yang mesti dilakukannya sekarang. Hari ini, baginya semua omong kosong itu mesti dituntaskan. Meski dengan cara paling tidak beradab sekalipun. Sebab orang-orang yang katanya beradap tak akan pernah kalah dalam perundingan atau dengan cara mengajaknya untuk bicara baik-baik. Sebab, Basar percaya mereka memang sudah sangat terlatih untuk itu, mereka telah mengolah lidah mereka sedemikian rupa, berkelok-kelok, ataupun meliuk-liuk seperti apa yang mereka inginkan. Jadi tak ada gunanya berbicara baik-baik pada mereka yang hanya berpura-pura baik seperti itu, apalagi jika orang itu orang berpendidikan dan bergelar pula. Begitulah bunyi keputusan Basar dalam hati kecilnya.
Sesampainya di rumah yang biasanya di sebut pondok itu Basar lalu mengambil parangnya, kemudian mengasahnya tajam-tajam. Dalam hatinya ia terus menggerutu.
"Dasar keparat, liat saja kau nanti. Datuk, datuk, datuk menggak bapakmu. Kau pikir aku peduli dengan gelarmu itu, heh. Gelar pantek yang hanya tinggal sisa itu boleh jadi masukkan saja ke dalam keranjang sampah," gumamnya jengkel.