Cuaca begitu terik, padahal matahari bersinar tak lebih terang dari biasanya, dan mobil yang kutumpangi sama sekali tak berkurang kecepatannya, ia terus melaju tangkas di atas panasnya aspal jalan lintas tengah Sumatra menuju kampungku. Sementara itu, ingatanku melesat jauh mendahului mobil yang kutumpangi, tak kalah tangkas, ia tiba di sebuah kampung kecil di bawah kaki Bukit Barisan. Sebuah kampung udik yang selalu bergerak dengan malas dan lamban, sebuah kampung kecil yang dihidupi oleh batang-batang pohon karet, petak-petak sawah, biji-biji emas, dan bermacam ragam hasil rimbanya yang kaya.
Aku seakan tiba pada suatu masa di kampungku, saat ribuan capung keluar dari sarangnya, dan bermain dan beterbangan di atas padang rumput tempat ratusan kerbau digembalakan, sedang daun-daun pohon karet yang terhampar di sepanjang jalan di sana akan menguning dan berguguran, yang mana hal itu akan jadi pertanda bahwa musim kemarau telah tiba; orang kampungku menandai musim bukan pakai kalender, di situ kalender jarang sekali terpakai, kecuali bagi anak-anak yang bersekolah saja atau pegawai negeri atau anak-anak muda yang kebelet menunggu penghitungan hari baik bulan baik pernikahannya. Jika sudah demikian, maksudku saat musim kemarau telah datang, maka separuh dari penduduk kampungku yang menggantungkan hidupnya pada pohon karet akan segera meninggalkan pisau takik mereka; beralih menyandang dulang untuk mencari emas di sepanjang aliran sungai-sungai kecil yang berada jauh di tengah rimba. Selampau yang bisa kuingat, selama ini rimba kampungku memang selalu menyediakan apa pun yang kami butuhkan; daging, madu, manau, dan bermacam buah-buahan, dan juga emas.
Dalam hati, aku sangat berharap kampungku masih sama seperti dulu, sewaktu pertama kali sebelum aku berangkat ke kota untuk ikut berjualan bersama Uni. Sebab ada banyak sekali hal dikampung yang membuatku ingin sekali lagi merasakan kembali sensasinya, seperti saat bagaimana lidahku bersentuhan dengan madu yang mengucur langsung dari lilin bekas sarang lebah yang baru saja diturunkan, atau merasakan kembali bagaimana senangnya perasaan kami saat memainkan meriam bambu setelah selesai melaksanakan ibadah shalat tarawih di surau puak kami masing-masing, dan juga saat kami berlari ketakutan di kejar Angah sebab ketahuan menghisap rokok sepulang mengaji. Bagiku, setiap sudut kampungku itu adalah potongan-potongan puzzle kenangan yang sangat indah dan tiada dua yang kini timbul tenggelam di benakku. Bergantian.
Bus yang kutumpangi terus saja melaju, potongan-potongan-potongan puzzle kenangan itu terus muncul, dan kini terbayang lagi olehku saat-saat bagaimana aku dan ayahku dan beberapa kerabatnya sewaktu bermalam menunggui ladang, menjaganya dari serangan hama babi, dan juga saat kami menjerat kijang dan rusa; kami akan menyusuri sungai untuk mencari ke mana jejaknya mengarah. Seorang Paman jauhku yang bernama Basar adalah yang terbaik dalam hal membaca jejak kedua binatang ini, walaupun saat itu umurku belum genap lima belas tahun, aku selalu bersikeras untuk ikut dengan rombongannya. Sebab jika tak ikut, maka aku akan di tinggal sendiri di atas pondok ladang—menyiapkan nasi saat mereka pulang nanti.
Sepuluh tahun hidup di rantau membuat rinduku pada tanah kelahiran semakin menggebu-gebu, dan tak satu pun hal tentang kampungku itu yang tidak aku rindukan, semuanya, bahkan tak sepotong pun ingatanku tentangnya itu kubiarkan luput dari benakku, walaupun setidaknya itu mungkin hanya bagiku sendiri, dan jika saja ada orang yang ingin menertawakanku karena hal itu, jujur saja, aku benar-benar tak akan peduli.
Aku rindu semuanya tentang kampungku itu dan juga sekaligus semua yang melekat erat padanya; suara enggang, bunyi kuau, bau rumput ladang saat pagi datang, aroma tubuh kerbau kesayanganku saat keluar dari kubangan, suara entakkan kaki ayah, gesekan sandal ibu, desau angin menyentuh atap, bahkan aroma menyengat karet dan bagaimana suasana hari Minggu di kampungku, semuanya masih tersimpan dengan baik di dalam benakku.
Kini kurasakan kampungku seakan kian mendekat, seperti berlari datang menyambut kedatanganku, atau perasaanku saja yang sedikit berlebihan, sebab mungkin justru ingatanku lah yang tengah berlari mengejarnya. Seperti kilatan cahaya, menyambar-nyambar. Dan mobil yang kutumpangi kini pun serasa melambat, aroma sawah dan pagi Minggu di kampungku yang disesaki aroma karet itu tak sabar menyeruak dari dalam lapisan gumpalan penuh lemak yang ada di dalam kepalaku, lalu mengalir mengisi rongga ujung hidungku, dan sekarang aku merasakan seperti sedang menghirupnya sayup-sampai. Benar-benar terasa nyata sekali. Dan ternyata rindu itu memanglah benar-benar ajaib.
***
Mobil yang aku tumpangi kini sudah berhenti.