Nyanyi Sunyi Perimba Terakhir

Dino Rawan Putra
Chapter #2

#2

Sejak maskapai perkebunan sawit itu berdiri di kampung Basar, satu persatu pohon-pohon yang dulu dihormati dan diyakini oleh penduduk setempat sebagai tempat anak-anak orang halus bermain itu kini sudah hampir tandas dan terbelintang di atas tanah. Pohon-pohon itu sekarang hanya tinggal tunggul yang tak lagi memiliki arti apa-apa, dan tak lama lagi, hanya menunggu waktu, semua yang dulu melekat erat padanya pun akan segera dilupakan secepat orang-orang melupakan janji-janji para politikus sesaat ia telah selesai memberikan pidato, cerita tentang orang halus penunggu pohon itu mungkin tak lama lagi akan segera berganti dengan cerita-cerita tentang harumnya tandan-tandan masak buah sawit. Bukit-bukit yang saban hari rimbun, kini telah sulah di rambah para pekerja maskapai perkebunan sawit itu dengan mesin-mesin yang canggih. Begitu tangkas mereka bekerja. Sungguh.

Siang itu, seperti hari-hari sebelumnya, cuaca terasa begitu panas dan menyengat, namun mata rantai gergaji mesin penebang kayu tak akan tau itu, sejengkal pun tak akan pernah ia kehilangan semangatnya untuk terus berputar secepat biasanya demi menumbangkan batang pohon yang sangat berharga bagi para perimba, diameter pohon itu biasanya bisa mencapai delapan meter, dengan tinggi berkisar seratus tiga puluh meter, dan orang-orang menamainya pohon Sialang; sebuah pohon yang di percayai keramat oleh masyarakat setempat, sebuah pohon yang di atasnya terdapat puluhan dan kadang ratusan sarang lebah madu. Dan dari batang inilah pada waktu-waktu tertentu biasanya Perimba seperti Basar menggantungkan isi periuk di dapurnya.

Hari sudah lewat tengah hari saat batang yang sebesar empat buah drum di satukan itu hanya tinggal setengah waktu Basar datang dan mengejar para tukang tebang dengan sebilah parang di tangannya. Semua pekerja lari menyelamatkan diri, tak seorang pun di antara mereka yang berani menemuinya—semuanya sangat takut melihat wajah marah Basar.

Tak lama setelahnya seseorang yang berbadan tegap datang menemui Basar, namanya Porid. Porid adalah orang semenda bagi Basar, ia menikah dengan kakak perempuan semata wayang Basar. Dulu, waktu masih menjadi tukang bangunan, sangat sering ia ikut dengan Basar untuk pergi merimba, mencari jernang, memanen madu, dan juga menjerat rusa. Namun sekarang Porid bukan lagi seorang tukang bangunan, ia sekarang bekerja sebagai salah seorang satpam di maskapai perkebunan sawit yang tengah beroperasi di kampung mereka itu.

“Sudahlah Bas, mari kita bicarakan baik-baik, tak elok bersempit akal, semua masalah pasti punya jalan keluar kan?” bujuknya pada Basar.

Mendengar semendanya berbicara demikian, Basar lalu menyarungkan parangnya. Mulutnya tak hendak berbicara apa-apa lagi, semuanya sangat berat.

Porid lalu merangkul pundak adik iparnya itu, diajaknya duduk di pos penjagaan yang tak jauh dari sana. Selama berjalan, keduanya hanya diam.

Sesampainya di sana, lalu Basar disuruhnya duduk, sementara Porid mengeluarkan kopi buatan istrinya dari dalam tas sandang yang tersangkut pada sandaran kursinya, kopi dengan sedikit gula kesukaannya itu dikemas dalam sebuah botol plastik bekas minuman mineral yang tak lagi berwarna seperti botol air mineral biasanya; warnanya sedikit kecokelatan; mungkin karena terlalu sering dipakai; dan jarang dicuci secara serius. Kemudian dari dalam laci meja yang ada di depannya dikeluarkannya dua buah gelas plastik hijau muda, lalu ia lap keduanya dengan tangannya, kemudian setelah itu, kopi dari dalam botol plastik tadi ia tuangkan ke dalam masing-masing gelas.

“Ini, minum dulu,” katanya kemudian kepada Basar.

Basar lalu menyambut gelas yang disodorkan Porid, ia merenung sejenak, pikirannya sedikit kacau, kemudian letakkan kembali gelas itu di atas meja.

“Untung baik siang ini giliran aku yang jaga,” ujar Porid sambil menatap Basar, “kau tahu kan apa yang akan terjadi jika tadi yang jaga bukan aku?” tanyanya sambil menyeruput kopi yang sudah dingin dari dalam gelasnya.

Lihat selengkapnya