Nyanyi Sunyi Perimba Terakhir

Dino Rawan Putra
Chapter #3

#3

Setibanya di depan rumah, aku disambut dengan mata jernih berkilauan dari wajah Nenek. Ia setengah berlari menyongsongku ke pintu depan. Aku segera meraih dan menyalami tangannya sebelum ia sempat berbicara apa-apa, lalu kutuntun ke keningku. Di rumah ini, saat siang hanya ada Nenek, sedang Ibuku pagi-pagi sekali sudah pergi menjual harinya untuk membersihkan ladang dengan anggota tobohnya. Sedang datukku pergi menakik getah ke kebun.

 “Sudah beberapa hari ini, nama kau saja yang di sebut Angah."

“Memang apa penyakitnya, Nek?”

“Sudahlah, nanti saja, kau kan habis melakukan perjalanan jauh, tak capek kau? Istirahat saja barang sebentar dahulu, kau minum teh apa kopi?”

“Terserah Nenek saja, yang penting pakai es, panas betul di sini rasanya.”

Mendengar permintaanku tadi, Nenek yang awalnya menuju dapur segera putar haluan dan kemudian masuk ke dalam kamarnya, lalu ia keluar lagi seraya menenteng dompet dari anyaman daun pandan miliknya. Seingatku dulu, baginya dompet dari anyaman daun pandan itu hanya untuk menyimpan tembakau Lunto, daun tembakau lokal kesukaannya, berasal dari daerah yang cukup jauh dari tempat kami tinggal; Sawahlunto.

Aku lalu mengambil posisi duduk dilantai, kedua kaki kuselonjorkan untuk melepaskan penat. Begitu lega rasanya, saat kepala kutekukkan ke bawah, dan saat darah yang dari tadi menumpuk di kaki perlahan kembali naik mengisi rongga kepala, sedang urat-urat yang tadi tegang kini mulai terasa lemas kembali.

“Aih, Kau ini. Itu kursi payah-payah kukredit untuk tempat duduk, bukan buat pajangan. Bikin malu saja kau ini.”

“Tak apa, Nek. Di sini lebih adem. Ah Seperti orang lain saja.”

“Ya sudah, itu di samping lemari dekat tipi ada tikar, kau bentang saja sendiri jika mau bergolek-golek dan melepaskan penat.”

Setelah berkata demikian, Nenek lalu ke dapur sambil membawa tentengannya berupa batu es dan satu pak roti kering dalam kantong asoi yang transparan. Setibanya di belakang, bunyi air di tuangkan dan denting sendok pada gelas membuat air liurku naik turun menahan haus. Lalu, dari sana juga terdengar bunyi batu beradu keras dengan es batu. Meski air beku itu dinamakan sedemikian rupa, dengan menyandingkannya dengan batu, namun kekuatan es batu tak akan pernah sejajar dengan batu. Hanya empat kali dentaman, bunyi derai kekalahan salah satu di antara mereka sudah terdengar sampai keluar, yang tak terbayang sama sekali dalam benakku adalah hal ini, Nenek ternyata masih kuat melayangkan anak batu cobekan. Meski umurnya sudah masuk kepala enam, tapi kekuatannya kurasa masih bisa untuk membuat kucing-kucing pencuri lauk dalam tudung lari tunggang-langgang karena ketakutan dan menggigil.

Aku kemudian berdiri, melangkah ke samping tipi untuk mengambil tikar yang tadi dikatakan Nenek. Lalu kubentangkan ke tempat di mana tadi aku duduk. Kipas angin di dekat tipi aku nyalakan. Bunyinya tak keruan, mencicit-cicit seperti bunyi tikus terjepit di pintu kandang ayam sedang di depannya ada ular sanca. Meski bunyinya begitu menyakitkan, tapi anginnya yang sepoi tetap saja membuat tubuhku sedikit agak merasa nyaman, dan memancingku untuk segera bergolek-golek bebas di atas tikar daun pandan yang tadi kubentangkan.

Lihat selengkapnya