Nyanyian Badai

Han Gagas
Chapter #1

Cinta Tahu Arah Pulang

 

Ketika dalang memasukkan tangannya ke dalam kantong dan mulai menggerakkan boneka wayang, gembreng dan tambur dipukul diiringi gesekan rebab yang melengking menyayat telinga, saat itu mata Joko menangkap wajah Mei Wang diantara jejalan penonton.  

Jantung Joko berdegup kencang. Wajah Mei Wang berkilau dalam siluet cahaya oranye lampu panggung. Kecantikannya yang memancar bagai berlian menghisap Joko begitu dalam. Rambut Mei masih seperti dulu tergerai indah di bahu. Joko tidak dapat melepaskan pandangannya pada Mei Wang.

Suara terompet melengking tinggi. Suling menusuk gendang telinga meramaikan iringan. Lakon yang mengangkat novel See Yu Ki, Journey to The West, telah dibuka. Tokoh kera sakti bergerak lincah, meloncat kesana-kemari. Bunyi “trok-trok” dari Piak-kou membuat suasana jadi meriah.

Penonton bertepuk tangan. Joko tak lepas tatapannya pada senyum kecil Mei Wang yang merekah indah ditambah binar matanya menyaksikan wayang potehi yang mulai main.

***

SUARA yang mirip “trok-trok” dari Piak-kou selalu Joko dan Mei Wang tunggu. Itu adalah bunyi kentongan kecil dari penjual bakmi keliling yang selalu lewat di depan kos mereka, biasanya sehabis Isya.

Sepulang dari shalat berjamaah di masjid samping kos Mei Wang, Joko duduk di beranda, menunggu kedatangan gerobak bakmi itu. Dan Mei selalu melakukan hal sama, membaca buku sambil menunggu.

Joko masih bersarung dan berpeci. Dia tidak mau ganti baju, takut keburu penjual bakmi itu pergi. Masakannya yang lezat dan pedas, sayang untuk dilewatkan. Mei sendiri, matanya selalu tak lepas dari bacaan itu. Menunduk membaca khusyuk. Dan saat terdengar bunyi “trok-trok”, dia baru mengangkat kepala. Sinar lampu beranda menyirami wajahnya, guyurannya bagai sinar mentari yang menembus hujan, membuat paras Mei berkilau bagai berlian.

Jantung Joko berdetak kencang sekali.

Mei Wang melangkah ke depan. Sudah terlalu sering Joko menahan keberanian, menunggu pesanan Mei selesai dimasakkan dulu. Tapi kali ini, Joko sudah tak tahan. Dia ingin berkenalan dengan Mei!

Joko melihat langkah Mei jadi ragu saat dia melangkah ke luar pagar. Gerobak bakmi hampir sampai di depan mereka. Tangan Mei telah menyentuh pintu pagar tapi lantas terdiam. Mei menunggu di halaman. Joko menelan ludah. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering.

***

ESOKNYA Joko bersiasat. Dia menunggu Mei terlebih dulu. Saat Mei menanti bakmi pesanannya matang, Joko melangkah cepat mendekat, walaupun dengan dada berdebar tak karuan.

Penjual bakmi tersenyum. Senyum yang tak biasa. Agaknya dia tahu Joko menyukai Mei. Joko tidak peduli, yang jelas senyum lebarnya telah melumerkan kekakuan Joko yang mencoba tersenyum pada Mei. Akhirnya, Mei meregangkan bibirnya, yang merekah bagai kelopak mawar yang indah. Jantung Joko terasa hendak copot!

Wajah cantik Mei makin berkilau oleh cahaya merkuri yang menunduk di tepi jalan. Lampu itu sebagai saksi, selain penjual bakmi, untuk pertama kalinya mereka saling bertatapan. Sinar matanya memancarkan keajaiban, Joko merasakan energi matahari yang membuatnya merasa hidup, merasa sangat bahagia. Hatinya jadi hangat penuh suka cita.

Untuk pertama kalinya, Joko bisa melihat wajah Mei dari begitu dekat. Mei berdiri di samping penjual itu, jadi hanya sejengkal saja jarak diantara mereka. Mata Mei yang sipit tampak berkejora saat mereka bersitatap, seperti ada kerlip cahaya cinta di sana, cinta sejati yang mengatasi segala perbedaan. Joko merasa sedang bermimpi?

Mereka, Joko maksudku, harusnya berterima kasih pada penjual itu yang segera memecah perasaan canggung mereka dengan banyak berseloroh, bersiul, dan bernyanyi ceria:

Inikah namanya cinta/Inikah cinta/Cinta pada jumpa pertama/Inikah rasanya cinta/Inikah cinta/Terasa bahagia saat jumpa/Dengan dirinya//[1] 

Tawa penjual itu pecah, memancing rasa jenaka di hati Mei. Joko melihat bibir Mei makin terbuka lebar memerlihatkan gigi-giginya yang kecil-kecil bagai biji mentimun. Rasanya Joko terbang ke surga karena mabuk oleh cinta, mabuk kebahagiaan.

“Ayo pada kenalan. Sudah pada kenal belum? Jangan malu-malu.” Tawaran penjual itu mengejutkan Joko. Dia jadi lebih yakin, penjual itu tahu Joko menyukai Mei.

“Ayolah, kalian sudah besar-besar.” Nada suara penjual itu terasa lucu, seperti merengek, seperti meledek, aksen Sunda yang bercampur Tionghoa.

Joko melirik Mei. Gadis itu menundukkan kepala sambil memain-mainkan ujung kaki. Wajah Joko terasa panas.

“Idiiih nggak perlu malu di jaman sekarang.” Aksen Tionghoa yang dibuat-buat penjual itu makin lucu, memancing tawa Joko, mencairkan kebekuan nyalinya. Tak sepenuhnya sadar, Joko mengulurkan tangan. Saat melihat Mei terdiam, Joko tersentak sadar, dan ingin menarik tangannya lagi.

Tapi Joko mengurungkan. Dia tak mau benar-benar malu di depan Mei Wang.

Lihat selengkapnya