“Apa kau mau ikut Om Feng ke Singapura?” tanya Mama pada Mei Wang. Air muka mama sedikit tegang.
Mei menatap televisi yang menayangkan berita kerusuhan di Jakarta. Mahasiswa, buruh, dan masyarakat turun di jalan berdemonstrasi. Api berkobar dan menjilat-jilat membubungkan asap dari ban-ban yang dibakar. Polisi siap siaga dengan tameng dan pentungan.
Mama gelisah, apalagi sekilas televisi menayangkan tulisan di dinding, “Milik Pribumi.” Bangunan itu sama sekali tidak dibakar massa. Sekilas tangkapan layar juga menerakan tulisan di dinding, “Anti Cina!” Wajah mama tampak pias.
Tayangan televisi bergeser pada massa yang mengamuk, melempar batu-batu ke arah polisi. Di ujung terdepan, terjadi baku hantam antara polisi dan demonstran. Tiba-tiba ada lemparan tabung asap meluncur, gas air mata ditembakkan. Massa langsung kocar-kacir, ada suara pistol atau senapan ditembakkan, beberapa tubuh tergeletak di jalan dengan darah yang mengalir.
Mata mama memejam, tayangan televisi berganti pada massa yang terus meneriakkan orasi, “Reformasi! Hidup reformasi!” Tubuh mama gemetar.
“Mei, kau telpon Om Feng,” kata mama dengan suara bergetar.
Mei segera menelpon Om Feng dengan buru-buru. Telepon itu berdering namun tidak ada yang mengangkat. Mei menatap mama sambil angkat bahu. Wajah mama makin cemas.
Mei Wang mendekati mama, mengelus-elus bahunya, menenangkan.
“Tenang Ma,” katanya sambil mengunci pintu, menutup korden, dan mematikan lampu. Saat dalam temaram, Mei teringat pada papa.
“Andai papa masih ada tentu kami bakal aman,” batin Mei dengan mata berkaca-kaca teringat papanya yang telah meninggal setahun lalu akibat kanker.
***
Jantung Mei Wang berdegup kencang, saat terdengar banyak teriakan di depan rumah. Dia menggeser sedikit korden jendela, dan terlihat depan pagar rumahnya telah banyak kerumunan orang, dan kini pagar itu goyang-goyang, didorong-dorong.
“Ini rumah Cina!” teriak salah seorang diantara mereka. Jantung Mei serasa copot.
“Ayo dorong! Cepat dorong!” seru banyak orang.
Orang-orang mendorong-dorong pagar. “Gara-gara Cina, Pribumi sengsara. Bakar orang Cina, bunuh orang Cina, jarah!” teriakan-teriakan itu jadi penyemangat mereka merobohkan pagar.
Pagar besi itu terayun-ayun dan akhirnya sebentar kemudian roboh. Puluhan lelaki langsung masuk rumah Mei Wang. Beberapa diantara mereka membawa batu, dan langsung melempari kaca jendela. Pyar, pyar, pyar, pecah bunyi kaca berhamburan.
Mei seketika pucat pasi. Dia langsung mengajak mama masuk kamar namun sepertinya terlambat, ada beberapa orang yang telah mendobrak pintu. Mei mempercepat langkah, sayangnya pintu depan itu pun roboh. Brakkk. Bunyi langkah kaki orang banyak memasuki rumahnya.
Mama terpaku langkahnya oleh perasaan takut yang amat menguncang. Teriakan, kegaduhan, dan amarah mengisi semua suara di ruangan itu. Beberapa lelaki menahan lengan Mei, menghentikan langkahnya. Dua lelaki memegang mama, dan seorang diantaranya menamparnya.
“Dasar Cina!” Plak! Mama menjerit kesakitan, dan sekejap kemudian mulutnya dibekap oleh tangan kasar lelaki itu. Secarik kain diikatkan dimulutnya.