"Airnya tenang banget, kan? Tapi kata banyak orang, air yang tenang itu menghanyutkan, loh. Kau mau coba? Kalau lompat ke sana terus terbawa arusnya, pasti bahagia kali, ya? Tidak perlu lagi memikirkan banyak hal yang membuat kepala nyaris meledak."
Aku berpaling. Seorang gadis berdiri di sampingku, memandang ke arah bawah.
"Kau ada kepikiran buat melompat ke sana tidak?" tunjuk gadis itu sambil menengok ke sampingku. "Kira-kira kita akan dibawa ke mana, ya?" tanyanya, berpaling kembali memandang ke bawah.
"Menurutmu?" jawabku tanpa berpaling.
Gisela, gadis itu terdiam. Mengangkat bahunya.
"Kira-kira air di bawah sana dingin tidak, ya?"
"Mau coba?"
Gisela mendelik ke arahku.
"Kenapa?" tanyaku menahan senyum. "Aku cuma nanya, mau coba? Ya, siapa tahu kau begitu penasaran di bawah sana seperti apa?"
"Tadinya aku berpikir kau akan berani melompat ke bawah sana."
Aku tersenyum tipis.
"Tadi menemukanmu di sini, aku berpikir lama sebelum mendekat. Menunggu di belakangmu dalam diam, dengan dada berdegup cemas. Menunggu apa yang akan kau lakukan dengan posisi seperti ini." Gisela menoleh. "Kenapa ada di sini?"
"Imajinasimu berlebihan. Kau pikir aku akan terjun bebas?" Aku tersenyum tipis. "Kau lihat, airnya menenangkan. Cuma itu."
"Airnya menenangkan," ulang Gisela. "Cuma itu?"
"Cuma itu," anggukku kecil. "Aku kangen Runa."
"Cuma kangen Runa?"
Aku mengangguk tanpa berpaling. Menatap ke bawah, pada air yang terus mengalir dan entah bermuara di mana.
"Apa di bawah sana, ada ingatanmu tentangnya?"
Aku terdiam.
"Kau juga merindukannya?"
"Aku merindukan semua keluargaku."
Gisela menatapku.
"Jangan berpura-pura kuat di depanku, Sil.'
Aku menghela napas panjang. Mengeluh dalam diam. Cuma kangen Runa? ulangku di hati. Kupejamkan mata. Bayangan seseorang melintas. Aku juga merindukannya.. sangat merindukannya.
Kerinduan yang membuatku kerap menangis saat mengingatnya. Rindu yang hanya bisa kutitipkan pada yang kuasa memiliki hatinya.
*
"Sisil ...."
Aku mendongak, mencari asal suara. Dari tingkat dua, kulihat Gisela melambaikan tangannya sambil tersenyum.
"Tunggu aku di bawah, ya."
Aku tersenyum mengiyakan. Runa sayang, apakah pesanku sudah sampai? Apa foto-foto yang aku kirimkan sudah kau lihat? Bagaimana kesehatanmu hari ini? Ah, apa kau tahu, bagaimana sulitnya menahan rindu, Run?
"Melamun lagi, ya?" Gisela tiba-tiba berujar pelan sambil menepuk bahuku lembut. "Hobby banget melamun," cengirnya. "Kita belum lama sampai rumah, loh. Tadi tidak cukup ya bengong di jembatan?" goda Gisela. "Sampai tak tahu, kalau kuperhatikan sejak tadi. Ingat dia, Sil?"
Aku hanya menjawab dengan senyum. Berjalan beberapa langkah dari sana, menghampiri kolam ikan, dan duduk di tepinya.
"Tenang banget ya Sil, kalau sudah lihat air mengalir?"
Aku mengerutkan kening.
"Melamun di manapun, tempat ternyaman selalu dekat air."
"Kalau jadi air, asyik kali ya, Gis," cengirku.
"Jadi roh air?"
"Roh air?" Senyumku. "Kayaknya ide bagus," kerlingku.
Gisela melotot ngeri. Tangannya terulur, menepuk keningku, gemas.
"Kau mulai aneh-aneh," sungut Gisela. "Udah ah, nanti lama-lama aku ikutan tidak waras."
Aku tertawa.
"Sialan! Masih waras tahu," sahutku protes. "Tapi kalau tidak waras, kira-kira masih ingat rindu tidak ya, Gis?"
"Mau aku lempar?" Pelototnya kesal.
Aku tertawa.
"Jangan tidak waras di sini. Bahaya nanti, urusannya panjang bisa jadi berita manca negara," cetusnya dengan wajah dibuat mikir. Aku lagi-lagi tertawa. "Aku belum mau tenar loh, Sil. Repot kan nanti Mom dan Gunther menyembunyikan keberadaanku."
"Kayaknya kalau kau begini, aku yang jadi bingung nih."
"Kenapa?"
"Takutnya nanti orang malah bertanya, siapa yang sebenarnya tidak waras?"
Gisela tertawa.
"Samaan gilanya soalnya ya, Sil?"
Aku mengangguk.
"Oh ya, kapan kau pulang?"
"Lusa," jawabku tanpa berpaling. "Kenapa? Tidak jadi ikut?"
"Jadilah," angguk Gisela bersemangat. "Aku cuma ingin tanya, apa mereka tahu kau akan datang?" Aku menggeleng. "Dia bagaimana?"
Aku mengedikkan bahu.
"Kau tidak ingin mengabarinya?"