Nyanyian Gerimis

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #3

#3. Kau dan kenangan

"Ada yang menarik di atas sana?"

Aku berpaling dan tersenyum.

"Belum tidur?"

Aku menggeleng. Kembali menatap langit malam bertabur bintang di atas sana, menatap langit yang sama di tempat yang berbeda.

"Aku iri loh sama langit. Cemburu berat."

Aku berpaling. Gunther sedang menatapku dengan senyum.

"Kau apa?" tanyaku sambil menahan tawaku.

Gunther tertawa.

"Kau ini... Asyik sekali memandangi langit. Apa ada yang menarik di atas sana?" Gunther mendongak, ikut mendongak ke arah langit. Mengernyitkan kening dan kembali menatapku. "Apa yang kau lihat, Sil? Perasaan aku hanya bisa melihat langit malam yang gelap, bintang bertaburan... cantik sih. Tapi tetap saja rasanya... hey, ada apa dengan senyummu?" tanya Gunther segera ketika melihatku tersenyum menatapnya.

Aku menggeleng.

"Rasanya ada yang aneh."

"Aneh?" Gunther mengerutkan kening tak mengerti.

"Iya," anggukku. "Rasanya tak percaya bisa bicara seperti ini denganmu."

Gunther terpana. Menatapku dengan senyum malu, di ujung bibir. Sedetik kemudian tawanya terdengar. Terbahak-bahak membuatku cemberut.

"Hahahaha... aku dulu jahat banget, ya?" katanya masih tertawa. "Tidak pernah ramah. Tidak pernah mau menegurmu. Tidak mau mengantarmu kemanapun. Setiap kau tanya, jawabanku pasti ketus. Kau pasti saat itu kesal banget sama aku kan, Sil."

"Banget!"

Gunther terpana.

"Serius?"

Aku tertawa

"Panik banget," godaku. "Bukan kesal sebenarnya, tapi lebih bingung saja."

"Bingung?"

"Ya," anggukku. "Cuma bingung, kau ini salah makan apa. Sampai aku pernah berpikir, tidak akan makan apapun yang kau makan," cengirku. "Takut nanti aku jadi seperti kau. Kulkas dua pintu."

"Kulkas dua pintu?" Gunther bengong. "Parah banget nih julukannya," katanya, sambil geleng-geleng kepala.

Aku tertawa.

"Aku juga pernah berpikir, kau ini beneran sekandung dengan Gisela atau bukan. Sifat kalian beda jauh sih."

Gunther ikut tertawa.

"Tapi kau ini lumayan gadis yang bandel dan nekat."

Aku tersenyum.

"Sudah tahu tiap ketemu denganku pasti tanggapannya tidak menyenangkan, masih juga cuek pasang muka senyum dan tetap menyapaku."

"Karena aku tahu kau orang baik."

Gunther tersenyum. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Aku tersanjung."

"Kau memang orang baik."

"Aku rasa sekali-kali kau harus merubah penilaianmu."

Aku mengerutkan kening.

"Tidak semua orang seperti dalam pikiranmu. Kadang yang menurutmu baik, belum tentu baik. Kadang yang terlihat baik juga bisa menyembunyikan maksud-maksud yang bahkan tidak kau ketahui."

Aku tersenyum.

"Dikasih tahu malah senyum." Gunther menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Aku tak mau kau terjebak pada orang yang salah, yang hanya bisa memanfaatkan kebaikanmu.'

"Aku tahu."

"Sil?"

"Hmm."

"Apa dia juga baik?"

Aku menoleh. Memandang wajah Gunther yang menatapku lekat. Aku mengangguk dan mengalihkan pandangan.

"Meski dia sudah menyakitimu?"

"Dia tidak menyakiti aku."

"Kalau dia tidak menyakitimu, kau pasti tidak akan ada di sini. Di bumi yang jauhnya ribuan mil. Jauh dari orang-orang yang menyayangimu."

"Gun...." aku memejamkan mata. Tanpa terasa air mata menetes. Tuhan, aku masih sangat mencintainya... ternyata menjauh tidak menghapus ingatanku tentang semua hal tentangnya... aku berpaling, mengusap air mata di kedua pipiku. "Bisa kita tidak membicarakan ini?"

"Aku cuma me...."

"Aku mohon," potongku sambil memandangnya dengan tatapan memohon.

Gunther menghela napas.

"Dia beruntung, ya."

Aku terdiam.

"Suatu hari nanti, kenalkan aku dengannya, ya?"

"Heh?"

"Aku ingin belajar darinya."

"Kau apa?" tanyaku tak mengerti.

Gunther tersenyum.

"Kenapa?"

"Tidak," gelengku. "Ingin belajar?" ulangku, seperti tak mempercayai yang kudengar. "Pada Dave?"

"Jadi namanya Dave?"

Aku mengangguk.

"Aneh ya, Sil?"

"Apanya?"

"Terkesan aneh, ya?" Gunther tersenyum tipis. "Buatmu mungkin aneh ya, Sil? Tapi aku serius."

"Gun?"

"Aku ingin belajar bagaimana dia bisa membuat seorang gadis tidak berhenti memikirkannya. Tidak berhenti mengingat semua hal tentangnya. Dan tidak pernah sedikitpun berhenti...," Gunther menatapku, "mencintainya."

Aku tertegun.

"Aaahhhh... sebentar lagi kau kembali," katanya mengalihkan pembicaraan. "Aku pasti merindukanmu."

Aku merengut.

"Kenapa?"

"Gombal!"

"Loh?" Gunther tertawa. "Aku serius."

"Jangan membuat aku sampai di datangi fans-fansmu itu kalau kau ngegombal begini. Bahaya! Aku belum mau kena cakaran gadis-gadis pencemburu."

Gunther tertawa.

"Gun...."

"Ya."

"Makasih, ya."

"Untuk?"

Aku tersenyum. "Karena kemarin akhirnya kau mau mengantarku melihat-lihat. Makasih juga karena kau mau mengabadikan banyak tempat. Pemandangan yang indah sekali. Aku tak yakin apa aku masih bisa kembali ke sini."

"Pasti bisa!"

"Kau ini...," kataku sambil tertawa. "Memangnya kau pikir biaya ke sini murah? Aku tinggal mengedipkan mata terus tahu-tahu... ting! Tara! Aku sudah sampai deh di sini."

Gunther tertawa.

"Kan ada pintu Doraemon."

"Hah?"

"Pintu Doraemon," ulang Gunther. "Minta sama Nobita untuk membujuk Doraemon. Tinggal bikinin kue dorayaki, cusss deh kau bisa merayunya untuk loncat ke sini lagi dengan pintu Doraemon," cengirnya. "Asyik kan, Sil."

Aku melongo. Menggeleng-gelengkan kepalaku sambil menahan tawa.

"Kenapa?"

"Ya ampun, Gun. Doraemon?" tanyaku. "Ada-ada saja sih."

Gunther tertawa.

"Pasti asyik ya, Sil kalau pintu Doraemon benar-benar ada," katanya sambil membayangkan. "Tinggal datangi terus kita bisa keliling dunia gratis."

"Mengkhayal jangan ketinggian, jatuhnya pasti sakit." Kataku

Gunther lagi-lagi tertawa.

"Aku senang sekali melihat senyummu, Sil. Sangat cantik."

Aku terdiam. Mengalihkan tatapan, kembali menatap pedar langit malam.

"Tuh kan, aku lama-lama beneran loh ingin jadi langit," kata Gunther. "Kau mempesona sekali."

"Jangan ngegombal terus. Nanti aku baper."

"Bagus dong."

"Kok bagus?" kernyitku tak mengerti.

"Iya bagus kalau aku bisa membuatmu baper. Jadian sama aku aja kalau gitu ya, Sil."

"Ngaco!"

Gunther tertawa.

"Aku serius loh.'

Aku tersenyum tipis.

"Jangan membuatku jadi orang jahat," gumamku lirih. "Aku tidak bisa membiarkanmu ada di sampingku sementara di hatiku penuh dengan nama yang lain."

"Aku tidak keberatan."

"Aku yang keberatan."

"Sil?"

"Kau cowok yang baik dan kau pasti mendapatkan seseorang yang bisa mencintaimu dengan tulus tanpa bayangan orang lain."

"Bagaimana kalau aku mau menunggu?"

Lihat selengkapnya