Bau rumah sakit menusuk hidungku, begitu kulangkahkan kakiku menapaki lantai berkeramik putih. Berdiri di depan sebuah kamar dengan perasaan cemas. Menghimpun kekuatan sebelum akhirnya membuka handle pintu dengan bibir tersenyum.
Seorang gadis terbaring di ranjang dengan bibir pucat dan memakai kain penutup kepala bergambar donald duck, kesukaannya. Langkahku berhenti tiba-tiba. Menatap wajah di depanku dengan hati giris. Berpaling sebentar hanya untuk menahan air mataku agar tidak tumpah. Memandang sosok terkasih di depan mataku saat ini, orang yang begitu kurindukan. Orang yang telah menemani ceria masa kecilku. Orang yang rela membagi seluruh kasih sayang yang dimilikinya denganku. Aku mengerjapkan mata. Menggigit bibir kuat-kuat. Tuhan, tolong kuatkan aku... Kulirik gadis di sebelahku, yang sejak tadi hanya diam membisu.
"Diakah Runa?"
Aku mengangguk lemah. Memejamkan mataku, menahan butiran air hangat yang siap keluar dari kedua mataku. Perlahan mata Runa terbuka, seperti sadar ada yang memperhatikan, dan menatapku dengan tatapan tak percaya.
"Sisil?" Gadis itu mengusap kedua matanya. "Benarkah itu kau?" tanyanya sambil mengulurkan tangan.
Aku tersenyum menyambut uluran tangannya. Memeluk gadis itu penuh kasih sayang. Pertahananku bobol. Butiran bening yang sejak tadi kutahan, keluar juga. Mengucur deras membasahi kedua pipiku. Aku cepat menghapusnya, sebelum gadis itu menyadarinya.
"Aku bermimpi kau akan datang. Ternyata kau sekarang sudah berdiri di depanku."
"Maafkan aku."
"Kenapa harus minta ma... ah, Dave, sini. Lihat siapa yang datang," ujar Runa senang, begitu melihat David berdiri mematung di depan pintu.
"Sudah kubilang kan jangan terlalu banyak bergerak. Nanti punggungmu sakit lagi," tegur cowok itu marah, sambil berjalan menghampiri Runa.
Aku meraba hatiku, tanpa sanggup menatap wajah tampan di depanku. Menelan ludah yang terasa pahit, dengan susah payah.
Ya, Tuhan... ada apa dengan hatiku? Rasa sakit yang menjalar cepat begitu saja tanpa sempat kucegah, membuatku tanpa sadar meraba hati. Apa yang salah di depanku, hingga lidahku terasa kelu? Apa yang salah hingga membuat kakiku nyaris tak punya tulang untuk berpijak? Padahal dulu sudah kuputuskan untuk melepaskan segalanya, dan membiarkan Runa bahagia. Demi Runa. Demi seseorang yang terlalu berharga di hidupku. Karena Runa pantas untuk bahagia. Bukankah ini yang kuinginkan? Bukankah ini yang kuharapkan, saat dengan terpaksa kuseret kakiku pergi menjauh? Saat tatapan penuh luka dan tak percaya menuntut penjelasan mengejar langkahku yang terseok-seok berlari? Saat seluruh ketidak berdayaan membuatku hanya bisa menumpahkan semua tangis dalam burung terbang yang membawa luka dan hati pergi? Atau pada segala kepasrahan yang membuat sepotong cinta hanya bisa menatap cintanya pergi? Bukankah harusnya saat ini pemandangan apa pun di depan mata sudah bisa membuatku tegar berdiri, dan bukannya rapuh seperti ini? Ke mana perginya ketegaran dan ketabahan yang kusimpan rapat untuk datangnya hari ini? Tapi... melihat tatapan lembut yang dulu selalu untukku dan mampu membuatku tenang, kini hanya tertuju pada Runa, tanpa menoleh sedikit pun padaku, membuatku tak bisa menahan perasaanku.
Ada perih yang tiba-tiba menyergap tanpa kendali. Aku kalah ya, Tuhan....
"Sil?" Gisela menggenggam erat tanganku. Seperti meyakinkanku, kalau dia bisa kuandalkan. Aku tersenyum kelu. Aku masih punya kau, Gis. Benar begitu, kan?
Aku berpaling. Menemukan mata Gisela menatapku lembut. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Aku menghela napas. Membalas tatapannya dengan senyum penuh terima kasih.
"Run, ini Gisela. Dia memaksa ikut. Katanya ingin sekali melihatmu," kataku mengenalkan. "Dan ini...."
"Ah, pasti Dave, kan?" Gisela memotong kalimatku. "Apa kabar? Sisil sering bercerita tentang kalian."
David mengangguk dalam diam. Menatap ke arahku tajam. Ada banyak perasaan tertangkap jelas di sana. Dan tiba-tiba saja rasa bersalah mengurungku tanpa bisa kucegah.
Sisil sering bercerita... Apa yang gadis itu ceritakan tentang kami? gumam David dalam hati.
"Terima kasih sudah menjaga Sisil."
Gisela tersenyum sambil melirikku menggoda.
"Kalau tidak dijaga, dia ini bisa bahaya loh, Run. Keingin tahuannya besar sekali. Kau tahu tidak, sampai kami di rumah kewalahan menjawab banyak pertanyaan darinya," ujar Gisela sambil tertawa. Aku memukul punggungnya main-main. Menatapnya dengan bibir cemberut.
"Bisa banget bercandanya. Kau itu kan sama saja denganku."
Gisela masih tertawa.
"Sil...."
Aku terperangah. Mengapa tak kusadari kalau mata itu sekarang lebih sering terlihat berbinar-binar? Bahagia terlihat jelas di sana. Apakah itu karena kau, Dave? Aku tersenyum pedih.
Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? gumamku di hati. Sekejap tadi rasa iri melintas dalam kerapuhan. Dua orang terpenting dalam hidupku. Dua orang yang kusayangi melebihi nyawaku. Dua orang yang saling mengisi dan menjagaku, selamanya tersimpan di hati. Dua orang yang tidak akan pernah tergantikan. Sanggupkah kutepis segala rindu saat kesenyapan terasa datang mendekat?
Andai saja dulu bisa kutepis semuanya. Mengabaikan begitu saja permintaan orang yang sudah begitu baik merawatku. Orang yang sejak kecil kupanggil dengan sebutan Mama, yang kemudian kutahu adakah kakak kandung ibuku... mungkin sekarang ini kita masih bisa bersama, Dave. Tapi, hati kecilku selalu melarangku melakukannya. Kau tahu Dave, aku tak bisa melihat orang-orang yang kusayang terluka karena aku. Tak bisa bahagia di atas kesedihan mereka. Andai saja kau tahu... melepaskanmu saat itu, melepaskan cinta kita, adalah hal tersulit yang harus kulakukan.
Melihat matamu saat itu... ingin sekali rasanya mengatakan padamu kalau aku masih selalu mencintaimu. Selamanya akan mencintaimu. Kemarahanmu, ketidak terimaanmu dengan alasan yang kukatakan, membuat hatiku ingin menangis. Andai saja saat ini segalanya masih bisa kurubah, tak akan pernah kubiarkan semua lepas dari hidupku, Dave. Apakah kau mengerti? Apakah pernah kau mencoba memahami keputusanku? Memahami kesedihanku? Memahami pilihan yang terpaksa aku ambil? Aku menggeleng sedih. Tapi sekarang, walaupun kau juga mengerti, semuanya itu sekarang sudah terlambat!
"Sisil?"
"Eh, apa? Kau ingin sesuatu, Run?" tanyaku, sambil berusaha menutupi keterkejutanku.
"Tidak kok," gelengnya lemah. " Aku senang sekali kau kembali. Iya kan, Dave?" Runa menatap David dengan senyum. "Oh ya Sil, apa kau sudah bertemu Mama? Kau pulang dulu kan tadi sebelum ke sini?" Aku mengangguk. Gadis itu tersenyum menatapku. "Mama pasti senang sekali kau kembali. Mama tak pernah sehari pun dilewatkannya tanpa menyebut namamu. Tanpa mengingatmu. Mama merindukanmu, Sil. Sangat merindukanmu. Seperti aku."
"Aku tahu, Run."
Runa menghela napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Menatapku dengan pandangan memohon.
"Berjanjilah kau tidak akan pergi ke mana pun lagi, Sil. Berjanjilah padaku. Berjanjilah tidak akan meninggalkan Mama dan aku lagi."
Aku terdiam. Menatap Runa tak berdaya. Bagaimana harus kujawab pertanyaanmu, Runa? Harus bagaimana kutenangkan hati penuh luka kalau tetap ada di sini? Dengan cara apa kutegarkan diri? Bagaimana caranya kutepati janjiku dengan Mama kalau aku tetap di sini? Berada di antara kalian? Apa kau tak merasa udara terlalu sesak? Runa... Bisakah kau bantu aku menjawabnya?
"Sil?" Runa menatapku penuh harap.
"Jangan bebani pikiranmu terlalu keras. Kau akan sembuh, Run. Itu yang terpenting. Ya, kan?"
"Kau juga penting untukku. Sil."
"Kau ingat, dokter Bram selalu bilang kan, kalau kau tidak boleh memikirkan apa pun selain kesembuhanmu?"
Runa menghela napas. Mengalah.
"Bagaimana di sana? Apa semuanya sangat indah?" Runa bertanya dengan mata berbinar. Aku terdiam. Entah mengapa aku merasa Runa mengerti kalau aku tidak ingin membicarakan apa pun saat ini.
"Aku ingin sekali bisa pergi melihat sendiri, Sil. Pasti menyenangkan, bukan? Tapi sudahlah, tidak apa-apa. Kau bawa foto-fotonya kan, Sil?" tanya Runa dengan suara terbata-bata. "Foto-foto yang kemarin kau kirimkan saat di sana sudah kulihat semua di ponsel Mama. Cantik-cantik sekali ya, Sil. Sayang aku tak bisa melihatnya sendiri," keluh Runa dengan wajah sedih. "Nanti foto-foto itu akan kupilih yang paling cantik dan kupajang di kamar. Bantu aku cari piguranya ya Sil."
Aku mengangguk.
"Ya Run. Apapun yang kau mau."
"Lalu, mana sekarang foto-fotonya?" tangan Runa terulur.
"Kutinggal di rumah, Run. Tadi aku cepat-cepat datang ke sini, jadi terlupa di bawa. Maaf ya, Run."
"Tidak apa-apa, Sil." Runa tersenyum. "Apa besok bisa kulihat?" Matanya menatapku penuh harap. Aku mengangguk pelan. "Untunglah," desahnya lega. "Aku... Kau tahu Sil, aku takut tidak sempat melihatnya."
"Run!" seruku tak suka. "Ngomong apa sih!? Kau akan selalu punya waktu untuk melihatnya."
"Sil?"
"Aku tak mau lagi mendengar, kau bicara seperti itu!" cetusku marah. "Kalau kau sekarang menyerah, lalu bagaimana dengan aku? Dengan Mama? Dengan... ," aku berpaling. Menatap wajah di depanku sebelum akhirnya mengalihkan tatapan kembali ke Runa, "... Dave," lanjutku. " Bagaimana dengan kami?" keluhku sedih
Runa tersenyum getir.
"Kau tidak lupa kan Sil, ini sudah stadium akhir," desis Runa terbata. "Kematian itu cuma tinggal waktu, kan?" katanya lagi sambil tersenyum. "Mungkin saja Papa juga sudah menungguku di sana."
Aku menatap marah.
"Apa hubungannya!" seruku. "Apa kau bisa melihat kematian? Apa kau juga sudah tahu kapan ajalmu datamg?" Aku terisak, menatap Runa tak berdaya. "Dokter pun cuma bisa memprediksi, Run. Punya hak apa kita mendahului kehendak Tuhan?"
"Sisil!" Dave menatapku tak suka.
"Kenapa?!" tanyaku, berpaling ke arah David. Menatap mata cowok itu dengan sedih. Kau pun kini terasa asing buatku.... "Apa aku salah bicara?" kataku lagi. "Apa kau juga mau bilang kalau aku keterlaluan? Apa kau tahu kapan Tuhan akan mengambilnya? Kapan waktu terakhirnya bersama kita? Apa kau bisa menjawabnya, Dave?"
David terdiam. Berdiri dari duduknya, menghampiri jendela dan mengalihkan pandangannya keluar. Aku mengeluh.
"Tak ada yang bisa menjawabnya, kan? Lalu untuk apa percaya prediksi manusia, sekalipun itu seorang dokter?"
"Sil...," David masih menatap keluar. Berbicara tanpa berpaling. "Aku hanya tidak ingin kau membuatnya...," David menghentikan kata-katanya. Menghela napas panjang. "Cobalah memahami apa yang kulakukan. Sekali ini saja... cobalah pahami yang kuinginkan," keluh cowok itu. Berpaling sesaat, menatapku dengan sedih, sebelum akhirnya kembali menatap arah luar lewat jendela di sampingnya.
Aku tertegun.