Berada di tempat ini lagi. Sebuah rumah dengan banyak kenangan di dalamnya. Dengan banyak cerita terukir. Setiap sudut yang sanggup membuat mataku menghangat tiba-tiba. Kuhela napas panjang. Setiap mata memandang... di setiap tempat selalu terbayang kenangan demi kenangan seperti film yang diputar ulang.
Kuhirup udara di sekitar. Rasanya rindu sekali.
"Kau baik-baik saja?"
Aku tersenyum menjawab pertanyaan Gisela.
"Masuk yuk, Gis. Kau kan juga harus istirahat."
Gisela mengangguk.
"Punggungku sepertinya minta direbahin nih," cengirnya. "Datang tadi kita langsung ke rumah sakit, kan? Mampir ke rumah cuma meletakkan tas dan koper saja. Lumayan letih juga ternyata."
"Maaf ya, Gis."
"Apa sih," Gisela tersenyum. "Santai saja, Sil. Aku senang kok. Hitung-hitung keluar sebentar dari tumpukan buku kuliah yang pusingnya minta ampun."
"Kalau Mom dengar, pasti kau dijitaknya."
Gisela memeletkan lidahnya.
"Hahaha," gadis itu tertawa. "Kau benar."
"Yuk...."
*
"Mama senang sekali kau kembali."
"Aku tahu, Ma."
"Apa yang kau cari?" tanya Mama, begitu melihatku membongkar semua isi tasku.
"Foto," jawabku tanpa berpaling. "Rasanya kemarin sudah kutaruh di sini," kataku, sambil mengeluarkan semua isinya.
"Apa album foto?"
Aku mengangguk.
"Ada di mana, ya? Seingatku sudah kumasukkan ke dalam tas sebelum aku kembali ke sini "
"Ada di kamar Mama, Sil."
"Eh?" Aku menoleh dengan rupa terkejut.
"Kemarin tak sengaja Mama melihatnya, waktu ingin membereskan pakaianmu. Tidak apa-apa, kan?"
Aku hanya menjawab dengan senyum. Membereskan semua yang sudah kubongkar, dan memasukkannya satu persatu ke dalam lemari. Aku menghela napas. Lewat ekor mata, aku melihat Mama masih di dalam kamarku, memperhatikan. Tatapan penuh rindu itu menatapku berbalur kecemasan untukku. Tatapan cemas yang dulu kerap kulihat saat aku dan Runa menggodanya dengan kenakalan kami. Tatapan penuh kecemasan berbalur putus asa saat berdiri di depanku, meminta sebuah permohonan. Juga tatapan bersalah saat menatap langkahku yang pergi meninggalkannya, meninggalkan Runa, meninggalkan rumah ini, rumah penuh kenangan kami. Rumah tempat masa kecil dan seluruh kenangan bersama Papa terukir dalam banyak peristiwa. Semua rasa itu sekarang, di dalam kamar ini, mengurungku tanpa bisa kucegah sedikitpun. Dan semua tanya serta kemarahan yang kubawa pergi berbalut kecewa saat itu, entah kenapa luruh saat kulihat Mama duduk di ranjangku dalam diam.
"Rasanya rindu sekali."
Aku berpaling. Mama sedang mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Mata yang kesepian itu menatapi setiap sudut kamarku.
"Setiap rindu padamu, Mama selalu datang ke kamar ini. Menghirup aroma tubuhmu yang mungkin saja masih tertinggal. Duduk seperti ini sambil memandangi seluruh sudut kamarmu dan selalu berharap pintu kamar ini akan terbuka dan membawa penghuninya kembali."
Aku terdiam. Berpaling tergesa, pura-pura sibuk merapikan pakaianku. Kututup bibirku dengan tangan kananku. Ada butiran hangat yang merembes turun di kedua pipiku. Dan hati-hati kuusap segera sebelum Mama menyadarinya.
"Setahun belakangan ini, Mama tak pernah melihatmu tertawa lepas seperti dulu. Bahkan senyum pun, sepertinya kau paksakan di depan Mama. Ada apa sayang?"
Kututup pintu lemari. Tak mungkin menghindar untuk bicara kalau Mama masih setia duduk di sana. Aku menghela napas panjang. Membuangnya perlahan.
"Sisil?"
Aku menggeleng.
"Tidak ada apa-apa, Ma. Mungkin Sisil hanya lelah."
"Sepertinya tidak!" Mama memandangku cemas. "Di foto-foto itu, Mama melihatmu ceria sekali. Tertawa lepas tanpa kau paksakan. Bahagia sekali, seperti saat kau pertama kali mengatakan pada Mama, kalau kau ingin minta ijin untuk mencintai David." Mama tersenyum mengenang. "Juga matamu yang berbinar saat kau mengatakan pada Mama kalau kalian sudah pacaran."
"Ma, sudahlah."
"Mama tak pernah melihatmu tertawa sebahagia itu, seperti dalam foto-foto yang kau kirimkan ke Runa. Juga foto-foto yang Mama lihat kemarin di dalam tasmu. Kau bahkan hampir tidak pernah tersenyum lagi di depan Mama."
"Tidak seperti itu, Ma."
"Mama melakukan kesalahan padamu kan, Sil?"
"Tidak seperti itu, Ma," ulangku dengan suara pelan. "Aku pergi karena Runa ingin melihat tempat-tempat yang menjadi impian kami untuk berlibur. Itu saja."
"Kau membohongi Mama, Sil."
"Ma...."
"Mama yang merawatmu... yang membesarkanmu sejak kecil. Mama tahu setiap perubahan apa pun yang terjadi denganmu. Apa itu karena Mama, sayang? Apa karena permintaan Mama?"
Aku terdiam.
"Mama pernah mengira, Mama tak akan pernah lagi menemukan luka dan kesedihan di matamu setelah kau kembali. Tapi nyatanya," Mama menggeleng sedih. "Mama mungkin terlalu banyak berharap. Luka yang pernah Mama buat untukmu pasti tidak termaafkan. Tapi bagaimanapun, maafkan Mama ya, sayang."
Aku tersenyum tipis.
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Ma. Karena Mama tak melakukan kesalahan apa pun pada Sisil."
"Tidak, Sil." Mama menggeleng. "Ini semua salah Mama, kan? Mama yang telah merebut kebahagiaanmu. Mama yang telah membuatmu kehilangan orang yang kau cintai. Mama yang telah...."
Aku menghela napas. Menelan ludah, getir. Menatap wanita separuh baya yang tertunduk di hadapanku dengan sedih. Berjalan pelan menghampiri Mama dan memeluknya lembut.
"Jangan seperti ini, Ma. Aku baik-baik saja."
"Tapi Mama sudah menyakitimu, Sil," keluhnya putus asa. "Orang tua seperti apa Mama ini," tatap Mama sedih.
"Jangan merasa bersalah, Ma. Aku sudah melupakan semuanya," dustaku. Tuhan, tolong aku... jangan biarkan Mama melihat kebohongan di mataku.... "Wajar kok Ma, sebagai seorang ibu, Mama melakukannya. Jadi Mama tak perlu mencemaskan Sisil."
"Tidak seperti yang kau bayangkan, Sil. Mama tak pernah sedikitpun punya pikiran untuk membeda-bedakan kalian. Kau dan Runa selalu menempati tempat yang sama besarnya di hati Mama. Sama-sama anak-anak terbaik Mama, yang Mama sayang dan cintai dalam hidup Mama. Kau dan Runa adalah harta yang paling berharga. Mama minta maaf, Sil. Tak ada sedikitpun keinginan Mama untuk menyakitimu. Melihatmu dan Runa bahagia adalah impian Mama. Tak pernah berubah. Mama hanya...."
"Ma, Sisil tak pernah menyalahkan Mama."
"Sisil?"
Aku tersenyum. Menguraikan pelukanku. Mengusap air mata di kedua pipi Mama.
"Mama adalah ibu terbaik yang kumiliki. Rasa terima kasihku atas semua yang Mama berikan dalam hidupku, tak akan bisa kugantikan hanya dengan sebuah permintaan. Bagaimana mungkin aku menyalahkan Mama dan membuat Mama menangis seperti ini."
"Sil...."