Nyanyian Gerimis

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #6

#6. Ikhlas

Aku menghentikan tanganku pada handle pintu. Desiran hangat itu membuatku tanpa sadar berpaling. Memandang sekeliling dengan dada berdegup kencang.

"Ada apa?" Gisela menatapku dengan tanya. Aku menggeleng. "Hey!" Gisela menjentikkan jarinya di depan mataku. Aku tertegun. "Ada apa?"

"Tidak," gelengku, sambil tetap membiarkan mataku menyapu sekeliling rumah. "Aku merasa... jangan tertawa... aku merasa Dave ada di sini."

"Hah?" Gisela melongo. Mengerutkan keningnya. "Dave" tanyanya sambil tersenyum. "Sekangem itu ya Sil, sampai kau merasa Dave ada di sini."

"Aku serius, Gis."

Gisela membalikkan badannya. Melihat sekeliling rumah dan menggeleng.

"Kau mungkin salah, Sil."

"Entahlah."

"Mungkin karena kau terlalu mengi...." Gisela menghentikan kata-katanya. Matanya mengernyit. Menatap ke arah luar sambil menyipitkan mata. "Atau apa hatimu yang mengatakan kalau belahan jiwanya datang, ya?"

Aku menatap Gisela sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Sudahlah, mungkin hanya perasaanku. Ayo kita masuk," kataku, dan membuka handle pintu.

"Sil?"

"Apa?"

"Mungkin juga kau tidak salah. Mungkin juga bukan hanya perasaanmu." Tatap Gisela sambil matanya masih melihat ke arah luar. "Ada mobil yang terparkir di depan gerbang. Tidak persis di depan gerbang tapi memang menepi."

Tergesa aku berpaling. Terpaku melihat ke arah gerbang. Sebuah mobil menepi di sana. Jarak memang lumayan jauh untuk melihat siapa yang ada di sana, tapi tubuhku yang bereaksi membuatku tanpa sadar berbalik arah dan berlari.

Dave?

Baru saja kujangkau gerbang, saat deru mobil itu terdengar. Aku menghentikan langkah. Memandang mobil yang berlalu pergi. Kupejamkan mata sambil meraba hati. Tanpa sadar air mata mengalir jatuh membasahi kedua pipi.

"Ada apa?"

Gisela tiba di sampingku dengan napas yang masih ngos-ngosan. Panik bercampur kecemasan menatapku yang berlinangan air mata.

"Sil? Ada apa?"

"Dave."

"Hah?" Gisela menatapku, tak mengerti. "Apa? Dave kenapa?"

"Dave, Gis."

"Dave?" ulang Gisela, bingung. "Di mana?" tanyanya.

Aku menunjuk ke luar. Gisela mengikuti.

"Kau benar, Gis. Tadi ada Dave di sana."

"Lalu?"

"Sudah pergi tanpa sempat kupanggil."

Gisela menatapku. Menghampiri dan memelukku.

"Sakit, kan? Dadamu pasti sakit. Menangislah sebelum kau masuk ke rumah. Kau tak ingin Tante melihatmu menangis, kan? Kau tak ingin Tante tahu semua yang kau pendam, kan?"

Aku memeluk Gisela dan menumpahkan tangisanku di bahunya. Gisela mengusap punggungku lembut.

"Berhentilah kalau kau tak sanggup."

Aku menggeleng. Mengusap air mata yang masih turun membasahi kedua pipiku.

"Sil...."

"Aku baik-baik saja."

"Berhentilah mengatakan, 'aku baik-baik saja' Sil," protes Gisela. "Kau tidak baik-baik saja. Dan kau tahu itu," sahutnya kesal. "Kau yakin itu tadi Dave?"

Aku mengangguk.

"Kalau kau baik-baik saja, air matamu tidak akan jatuh membasahi pipimu. Kalau kau baik-baik saja, kau tidak akan menangis hanya karena mendengar deru mobilnya. Kau boleh berkali-kali bilang baik-baik saja. Tapi kau lupa mengontrol hatimu, Sil. Hatimu masih mengingatnya dengan jelas."

"Aku tadi hanya...."

"Sil?"

"Sudahlah." Aku tersenyum tipis. Mengibaskan tanganku dan melangkah.

Gisela menatapku sedih.

"Kau keras kepala!"

*

"Ma?"

"Ah, sudah pulang?"

Aku mengangguk pelan. Mataku mengedari sekeliling dengan rupa heran.

"Ma, kenapa tidur di sini?" tanyaku, begitu melihat perlengkapan tidur Mama di sofa.

"Mama menunggumu pulang. Tadi Mama ingin mencarimu, tapi lupa kau pergi ke mana. Lagi pula sudah lama juga Mama tidak kenal dengan teman-temanmu."

"Ma?"

"Harusnya tadi Mama menelponmu, ya? Namanya sudah tua, Sil. Mama suka lupa. Maaf ya, Sil."

"Aku yang salah, Ma. Harusnya tadi aku di jalan mengabari Mama."

"Tidak apa-apa, Sil. Mama cemas. Kan sudah lama juga mau tidak ke luar."

"Aku kan tidak sendirian, Ma. Ada Gisela yang menemaniku."

Mama mengangguk. Menghela napas dan tersenyum.

"Sekarang lega sudah melihatmu pulang. Mama tidur dulu, ya. Tadi diajak merem tuh susah Sil, takut sekali terjadi apa-apa padamu. Gisela mana?" tanya Mama, sambil matanya mencari.

"Gisela?" jawabku. "Sudah ke kamar atas, Ma. Tadi ingin mengucapkan salam, tapi katanya takut mengganggu tidur Mama."

"Ya sudah, kalau Gisela juga sudah pulang. Mama duluan tidur ya, Sil."

"Ma," kejarku cepat, saat Mama sudah hampir menutup pintu kamarnya. Kucium kedua pipi Mama dan tersenyum. "Terima kasih ya Ma, sudah mencemaskan Sisil. Selamat malam, Ma."

Mama tersenyum. Mengusap kepalaku, lembut.

"Selamat malam sayang."

Aku menghela napas panjang. Memejamkan mata perlahan. Membiarkan butiran bening bergulir jatuh membasahi kedua pipi.

Merebahkan tubuh ke sofa. Kesunyian begitu terasa. Berhari-hari menahan air mata untuk tidak keluar rasanya begitu menyesakkan dada. Papa, andai sekarang kau ada di sini.... Katakan Pa, bagaimana caranya aku harus bertahan? keluhnya getir. Bagaimana caranya tetap setegar batu karang? Bagaimana caranya kusembunyikan semua rasa yang kupunya?

Mataku beralih ke arah kamar Mama. Pintunya tertutup. Kupejamkan mata, mengusir resah yang tiba-tiba hadir.

Ma, bisa katakan padaku... harus sekuat apa aku menahan semua perasaan, agar tak seorang pun menyadarinya? Aku juga cuma manusia biasa, kan? Aku juga butuh seseorang untuk menguatkan aku. Haruskah aku terus mengalah? Tak bisakah sedikit saja, kuraih kebahagiaanku?

"Aku tahu kau pasti masih ada di sini."

Seseorang menepuk pundakku lembut. Aku terhenyak, begitu melihat Gisela tiba-tiba duduk di sampingku dengan wajah cemas.

"Nih." Gisela menyodorkan beberapa tisu kepadaku. Aku tersenyum tipis.

"Makasih, Gis."

Lihat selengkapnya