Nyanyian Gerimis

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #6

#6 Perasaan David

Dave memarkirkan mobilnya, beberapa meter di depan sebuah toko, begitu dilihatnya seorang gadis berjalan pelan memasukinya. Dia menurunkan kaca jendelanya sedikit, agar bayangan gadis itu masih bisa dilihatnya, walau dari jarak yang lumayan jauh. Apalagi ditambah dengan lalu-lalang orang-orang dan berbagai jenis kendaraan yang melewatinya.

David menghela napas berat.

Di mana-mana, sekarang ini dia tak bisa lagi berbicara dengan gadis itu. Walau sekuat apa pun keinginan untuk bertemu, dia kini hanya bisa mengerti, bahwa semua itu tak mungkin terjadi. Gadis itu sudah memilih. Dan dia juga tahu, bagaimana kukuhnya keputusan itu.

David mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mengusir perasaan gundah yang kerap hadir bila melihat tatapan gadis itu begitu terluka bila di dekatnya. Apalagi jika diingat, bagaimana dulu dia berusaha menahan perasaannya, saat langkah kaki yang terasa berat untuk diayunkan itu, semakin menjauh, pergi meninggalkannya untuk beberapa saat.

Ya, Tuhan... salahkah bila aku mencintainya? tanyanya pahit dalam hati.

"Awaasss...."

Teriakan itu membuyarkan semua lamunannya. Dia tersentak kaget, saat melihat di kejauhan sebuah mobil mengerem mendadak di depan toko, dan gadis itu tertunduk di depannya dengan plastik belanjaan terlempar dua jengkal dari tempat gadis itu.

Dia buru-buru membuka pintu mobil dan menghambur menghampiri gadis itu.

"Sisil, kau tak apa-apa?"

"Dave...."

*

"Masih sakit?"

Aku menggeleng lemah.

"Makasih."

"Jangan buat aku seperti itu lagi. Jantungku rasanya berhenti berdetak, melihatmu terduduk di depan mobil tadi.

"Aku tidak apa-apa."

"Dengan lutut berdarah dan tangan nyeri, masih kau bilang tidak apa-apa?" David menatapku cemas. Aku berpaling cepat. Menggigit bibir kuat-kuat, agar butiran hangat itu tidak tumpah di depannya. Tidak, gelengku lemah. Dave tidak boleh sampai tahu, kalau aku menangis. Aku tahu dia paling tidak bisa melihatku sedih. Baginya, kebahagiaanku di atas segalanya. Jadi, kalau aku sampai menangis, semua yang telah kulakukan, akan sia-sia!

"Sil?"

"Eh?"

"Diobati dulu, ya? Biar sakitnya berkurang."

Aku menggeleng.

"Biar aku saja. Aku tak ingin Mama sampai tahu."

"Kenapa kau selalu seperti itu?"

"Sudah dari sananya, Dave," ujarku sambil tersenyum kecut. "Rupanya selama aku pergi, semua ingatan tentangku juga ikut pergi, ya?"

"Pertanyaan itu sepertinya lebih berhak aku yang bertanya, Sil."

Aku menghela napas, mengurangi sesak yang tiba-tiba saja datang tanpa sempat kucegah. Aku menggeleng letih.

"Ah, pergilah, Dave."

"Kau sekarang pintar mengalihkan pembicaraan."

Lihat selengkapnya