David memarkirkan mobilnya, beberapa meter di depan sebuah toko, begitu dilihatnya seorang gadis berjalan pelan memasukinya. Dia menurunkan kaca jendelanya sedikit, agar bayangan gadis itu masih bisa dilihatnya, walau dari jarak yang lumayan jauh. Apalagi ditambah dengan lalu-lalang orang-orang dan berbagai jenis kendaraan, yang melewatinya.
David menghela napas. Terasa berat rasanya berusaha menerima semua hal yang tidak pernah diinginkannya.
Dia memandang kejauhan lagi. Di mana-mana, sekarang ini dia tak bisa lagi berbicara dengan gadis itu. Walau sekuat apa pun keinginan untuk bertemu, yang bisa dilakukannya hanya berusaha mengerti, bahwa semua itu tak mungkin terjadi. Gadis keras kepala itu sudah memilih. Dan dia sangat tahu, bagaimana kukuhnya keputusan itu. Gadis keras kepala yang sejak pertama bertemu ingin sekali dijaganya. Gadis yang dicintainya melebihi hidupnya. Gadis yang ingin sekali dibahagiakannya sampai dia menutup mata.
Dulu, dia ingat bagaimana marahnya dia pada gadis itu. Pada permintaan yang tidak masuk di akal. Permintaan egois dan konyol, tanpa memikirkan perasaannya. Gadis itu pikir cintanya seperti barang yang bisa seenaknya dipindah sesuka hati! Tapi semarah apa pun dia, tetap saja dia tak pernah tega melihat mata gadis itu menatapnya sambil memohon dengan tangisan.
Hari itu, gadis tercintanya itu terlihat sangat rapuh. Berdiri lunglai seperti tidak punya tenaga lagi. Berusaha kuat dan tegar di depannya. Dengan senyum bercampur air mata yang membasahi pipinya, gadis itu berusaha membujuknya. Membujuk hati dan cintanya untuk mengerti. Untuk memahami pilihan yang di ambilnya.
Sejak dulu dia tidak pernah suka melihat gadis itu menangis. Dia benci melihat gadis itu terluka. Dia selalu ingin membahagiakannya, dengan cara apa pun. Dan seperti hari itu, hatinya luluh tak berdaya, saat melihat tangisan di wajah gadis itu. Dia tidak ingin menyerah. Tapi dia tahu, gadis itu pasti akan melakukan apa saja agar dia mau menerima keinginannya.
David mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Mengusir perasaan gundah yang kerap hadir bila melihat tatapan gadis itu begitu terluka saat di dekatnya dan Runa. Apalagi jika diingatnya, bagaimana dulu dia berusaha menahan perasaannya, saat langkah kaki yang terasa berat untuk diayunkan itu, semakin menjauh, pergi meninggalkannya untuk waktu yang dia sendiri tak tahu kapan berakhirnya. Dia hanya berpikir untuk beberapa saat, dia harus membiarkan gadis itu memilih jalannya
Ya, dia berpikir seperti itu. Hanya untuk beberapa saat. Membiarkan gadis tercinta itu sendirian. Membiarkannya menenangkan diri. Selalu tiap hari dia meminta pada Tuhan, untuk membuat senyum dan ceria gadis itu kembali, dengan hati dan cinta, untuk dirinya. Tapi ternyata dia salah!
Hari itu... sejak hari itu, gadis itu tak pernah kembali. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Tidak ada sedikit pun berita yang bisa membuatnya nekat pergi mencari. Gadis itu benar-benar membuktikan ucapannya untuk tidak kembali. Menghilang dari hidupnya, hidup keluarganya. Dari cintanya. Sampai kemudian surat dan foto-foto yang dikirimkan gadis itu datang. Tanpa sedikitpun alamat pengirim tercantum di sana.
Seharusnya dia menyadari sesuatu. Tempat yang seharusnya dia sadari akan didatangi gadis itu. Tempat yang begitu ingin dikunjungi dua bersaudara itu. Impian yang selalu diceritakan gadis itu padanya, dan dia membodohi dirinya sendiri, mengapa tidak mengingat semuanya lebih cepat.
Rindu? Jangan tanyakan padanya seperti apa rindunya. Rindu yang mampu membuatnya bertahan memenuhi permintaan gadis itu, walau tanpa memberikan hati dan cintanya. Rindu yang tetap disimpannya di hati, menunggu gadis itu kembali. Rindu yang terasa mencekik lehernya setiap saat. Rindu yang membelenggunya dalam mimpi panjang tentang gadis itu.
Ya Tuhan... salahkah bila aku mencintainya? tanyanya pahit dalam hati.
"Awaaassss...."
Teriakan itu membuyarkan semua lamunannya. Dia tersentak kaget, saat melihat di kejauhan sebuah mobil mengerem mendadak di depan toko, dan gadis itu tertunduk di depannya dengan plastik belanjaan terlempar dua jengkal dari tempat gadis itu.
Dia buru-buru membuka pintu mobil dan menghambur keluar, menghampiri gadis itu.
"Sisil, kau tidak apa-apa?"
"Dave...."
*
"Masih sakit?"
Aku menggeleng lemah.
"Makasih Dave."
"Jangan buat aku seperti itu lagi. Jantungku rasanya berhenti berdetak, melihatmu tertunduk di depan mobil tadi."
"Aku tidak apa-apa."
"Dengan lutut berdarah dan tangan nyeri, masih kau bilang tidak apa-apa?" David menatapku cemas. Aku berpaling cepat. Menggigit bibir kuat-kuat, agar butiran hangat yang berlomba-lomba untuk turun itu, tidak tumpah di depannya. Tidak Sisil, gumamku sambil menggeleng lemah. Dave mana boleh tahu aku menangis. Aku sangat tahu dia paling tidak bisa melihatku sedih. Baginya, kebahagiaanku di atas segalanya. Jadi, kalau aku sampai membiarkan cowok itu melihat air mataku, semua yang telah aku lakukan akan sia-sia! Lalu untuk apa aku pergi sejauh itu kemarin?
"Sil?"
"Eh?" Aku mendongak. Matanya masih menatapku cemas. Aku menggeleng letih. "Kenapa Dave?"
"Diobati dulu, ya?" katanya lembut. "Biar sakitnya berkurang."
Aku menggeleng.
"Ayolah Sil. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini."
Lagi-lagi aku menggeleng.
"Tidak usah, Dave. Biar aku saja. Aku bisa sendiri. Nanti sampai rumah aku obati."
"Tidak ada nanti-nanti!" geleng David, tegas. "Jangan bandel, Sil," katanya saat melihatku mau protes. " Kalau tidak segera diobati, lukanya bisa infeksi."
"Cuma luka kecil, Dave," tolakku.
"Berhenti protes, Sil. Ulurkan tanganmu."
Aku menggeleng. Menatapnya penuh permohonan. "Aku tak mau Mama sampai melihat kita berdua di sini. Mama bisa salah paham, Dave."
David mengeluh.
"Kalau Tante tahu, memangnya kenapa?"
"Dave!"
"Kenapa kau selalu seperti itu?"
"Sudah dari sananya, Dave," jawabku pelan. "Apa selama aku pergi, ingatan tentang aku juga ikut pergi, Dave?"
"Pertanyaan konyol!" jawabnya kesal. "Jangan pernah tanyakan apa pun yang akan membuatku ingat hari di mana kau pergi setelah memohon sesuatu yang menurutku tidak masuk akal. Permohonan konyol dan menyebalkan yang pernah kudengar darimu."