"Sil...."
Mama berdiri dari duduknya dan langsung menyambutku saat melihatku tergesa-gesa berjalan melintasi koridor rumah sakit. Jantungku berdetak sangat kencang melihat kepanikan di mata Mama. Ya Tuhan... ijinkan aku memohon sekali lagi untuk kesembuhannya....
"Bagaimana Runa, Ma? Di mana dia?"
Mama memelukku erat. Menunjuk ruang UGD di depannya. Aku terdiam. Persendianku tiba-tiba langsung lemas tak bertenaga.
"Sisil," teriak Gisela cemas, sambil menahan tubuhku yang limbung. "Kau tidak apa-apa?" Aku menatap gadis itu dan mengangguk. "Kau harus duduk." Gisela memapahku ke tempat duduk di depan kamar UGD.
"Dokter Bram ada di dalam, Sil. Beliau sedang berusaha. Kita berdoa saja ya, Sil. Mama takut sekali."
Aku mengedarkan pandangan. Sosok David tidak kutemukan di mana pun. Kau di mana, Dave?
"Kau mencari Dave?" Gisela berbisik di sampingku. Aku mengangguk.
"Ma," panggilku. Mama mendongak. "Dave belum datang?" tanyaku. "Tadi kata Gisela, Dave sudah...."
"Dave sudah ada di ruang UGD, Sil. Bersama dokter Bram," jawab Mama. "Tadi Dave memaksa masuk dan dokter Bram mengijinkan."
Aku mengangguk mengerti. Nanar menatap ruang UGD di depanku. Jantung yang ikut-ikutan berdebat kencang, semakin membuat kecemasanku berlipat-lipat. Kualihkan pandangan, menatap Mama yang sejak tadi duduk gelisah.
"Apa sitostatika-nya tidak bekerja ya, Ma?" tanyaku, seperti pada diri sendiri. "Sejak kemo sebelumnya, apa jadwal selanjutnya sudah, Ma?"
"Sudah, Sil. Sebelum kau pulang, Runa sudah menjalani kemo lagi."
"Bukannya kemarin kondisinya sudah membaik, ya?" keluhku. "Ma?"
Mama menatapku cemas. Aku mengerutkan kening. Tatapan bersalah yang tiba-tiba terlihat di mata Mama membuatku tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Tidak mungkin, gumamku berkali-kali. "Apa sesuatu terjadi?" Mama terdiam, menunduk. Memainkan jari jemarinya. Aku menghela napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Sungguh sesak rasanya memikirkan dugaan demi dugaan yang muncul di kepala. Aku berdiri dari dudukku, beringsut mendekati Mama yang masih tertunduk. Kupegang lembut jemarinya. Mama mendongak. Wajahnya sudah basah oleh air mata. Aku tertegun.
"Ada apa? Kenapa Mama menangis?"
"Maafkan Mama, Sil. Maafkan Mama...."
Tubuhku melorot tiba-tiba. Butiran bening turun deras membasahi kedua pipiku. Kutatap Mama, sedih. "Mama tidak mengatakan apa pun, kan?" Mama terdiam. "Kumohon jawab, Ma."
"Mama hanya...," Mama menggantung kalimatnya. Menatapku tak berdaya. Aku menunggu. Debaran jantung ini semakin terdengar. "Mama pikir... Mama pikir kondisi Runa sudah membaik, jadi Mama...."
"Jadi Mama?" Aku menatap wajah Mama tak percaya. Menggelengkan kepala, putus asa. "Jangan bilang Mama mengatakan semuanya ke Runa dan membuat Runa...." Kugigit bibir. Persendianku terasa lemas tak bertenaga saat kulihat anggukan pelan Mama. Membayangkan reaksi Runa saat mendengarnya membuat air mata yang kutahan mengalir tanpa sempat kucegah. "Kenapa... kenapa," gumamku berkali-kali. Membiarkan isak tangisku terdengar. Pelukan hangat Gisela yang merengkuh tubuhku dari belakang membuatku tergesa berbalik. Kutumpahkan tangisanku di dada Gisela. Membuat baju gadis itu basah.
"Tenanglah." Gisela menepuk punggungku lembut. 'Kau sudah sejauh ini, kan? Tenanglah. Kuatlah. Aku ada di sini, Sil."
Aku mengangguk. Mengusap sisa air mata di pipiku. Mengurai pelukan dan menatap Gisela. "Aku....'
Gisela mengangguk. "Aku mengerti," jawabnya dengan senyum lembut.
Pintu kamar UGD terbentang lebar. Aku bergegas menghampiri. Dokter Bram menepuk pundakku, lembut. Matanya mengarah ke Mama. Menghampiri Mama dan membentangkan kedua tangannya sambil meminta maaf ke Mama. Aku menggelengkan kepala saat kulihat Mama berdiri di hadapan dokter Bram tanpa kata. Hanya linangan air mata yang tak berhenti membasahi kedua pipinya, yang membuat jawaban tak perlu ada pertanyaan.
Aku menyeka hidungku. Mendatangi dua sosok paruh baya di depanku. Aku menatap ke duanya tak percaya. Tidak Tuhan, kumohon jangan ambil dia....
"Berapa lama lagi?" Pertanyaan Mama menyentakku.
"Aku cuma dokter, Ratih. Bukan Tuhan."
"Aku tahu," angguk Mama. "Aku tahu itu, Bram. Tapi minimal aku tahu, berapa lama lagi waktuku dengan Runa tersisa. Tolong jawab Bram. Aku ibunya. Aku perlu tahu."
"Ratih?"
"Bram!"
Dokter Bram menghela napas.
"Tolong pahami bahwa ini cuma prediksi Ratih. Bukan jawaban yang harus kau telan mentah-mentah. Kebenaran tetap haknya Tuhan. Aku...."
"Bram," potong Mama, menatap dokter Bram memohon.
"Aku berharap perkataanku tidak pernah benar. Aku berharap Runa segera sehat dan bisa berkumpul lagi bersama kalian. Tapi, hanya soal waktu, Tih. Mungkin kira-kira tiga hari atau mungkin juga bisa lebih. Tergantung kondisi Runa."
Tubuh Mama melorot di tempat. Nyaris menyentuh keramik putih yang dipijaknya kalau saja Gisela tidak segera berlari menangkapnya. Aku memeluk Mama. Merasakan kecemasan dan kepasrahan berkumpul jadi satu. Kupejamkan mata sesaat. Kuatlah Sil. Kuatlah! Gumamku berkali-kali di hati. Gisela mengangguk saat tak sengaja mata kami bertemu.
"Dokter, kumohon...."
Dokter Bram tersenyum lembut. Mengusap kepalaku, sayang. Sejak Papa pergi dari hidup kami, teman Papa yang dokter ini sudah seperti pengganti Papa. Sejak dulu, setiap kali datang ke rumah pun, pasti kesenangannya mengacak-acak rambutku sudah jadi kebiasaannya. Aku menatapnya dengan pandangan memohon.
"Dokter juga cuma manusia biasa, kan?"
"Aku tak mau kehilangan Runa."
Dokter Bram mengangguk pelan. Meraih tubuhku dan memeluknya lembut. Aku terisak. Dokter Bram membiarkan tangisku sekali lagi tumpah. Menguraikan pelukannya saat merasakan guncangan tubuhku tak terasa. Menatapku dengan senyum.
"Kau masih punya Mama, Sil. Ada Mama yang harus selalu kau jaga, kan? Kau tak pernah lupa pesan-pesan Papamu, kan?"
Aku tergugu. Mengangguk pelan.
"Sil?" Gisela memeluk pundakku lembut. "Tenanglah. Dokter Bram pasti sudah berusaha sebisanya untuk menyembuhkan Runa. Kita serahkan pada Tuhan, ya?"
Aku mengangguk. Mataku beralih ke arah Mama.
"Ma, bukankah selain kemo, ada pengobatan kombinasi? Apa kita tidak bisa meminta itu, Ma? Apa dokter Bram sudah memberikan kemo adjuvant misalnya." Aku menatap Mama dan dokter Bram bergantian. "Atau kalau memang sitostatika tidak bekerja saat lewat infus, apa tidak dicoba dengan diminumkan ke Runa? Bisa kan, dokter?"
"Sudahlah, Sil." Mama memelukku. "Kau tak melihat wajah letihnya?" Mama memandang teman suaminya itu. "Kasihan kan, kalau kau seperti ini terus."
"Ini salahku! Kalau saja hari ini aku bisa menjaga Runa. Kalau saja hari ini aku tidak ke toko membeli sesuatu untuk Runa. Kalau sa...."
"Sil...." David berlari keluar memanggilku. Aku mendongak. Melihat sisa air mata di kedua pipi cowok itu. Kau menangis, Dave? "Runa mencarimu. Cepatlah!"
Aku terdiam. Mematung tak percaya, sampai Gisela membisikkan sesuatu di telingaku. Berjalan cepat setengah berlari masuk ke ruangan Runa dan berdiri terpaku menatap selang-selang infus terpasang di tubuh gadis itu.