Runa sayang....
Hari ini gerimis turun lagi. Menguyur basah 'rumah'mu. Seperti ingin mengucapkan selamat tinggal padamu. Daun-daun yang meranggas, kering dan mati. Membuatku semakin mengingat setiap detik kenangan yang kita punya. Kenangan yang selamanya akan ada di hatiku. Dan kau juga yang memberikan semua hal berharga yang terindah itu, dalam hidupku.
Runa....
Kadang kala, sebersit keinginan datang setiap kali rindu begitu menyesakkan dada. Tapi sudah tidak ada tempat, jika aku ingin bertemu.
Oh ya, apa kau ingin tahu kabar Mama?
Mama baik-baik saja, Run. Dia titip salam sayang dan cintanya untukmu. Kau tahu, untuk satu hal ini pun, aku tak tahu bagaimana caraku mengucapkan terima kasih, karena kau telah begitu baik 'membagi' semua yang kau miliki padaku. Memberikan kasih sayang seorang ibu, yang sangat kucintai.
Runa sayang....
Daun-daun berguguran setiap hari. Terasa sepi sekali tanpamu. Bagaikan setengah nyawa hilang dari kehidupanku. Sesakit ini ternyata merindukanmu, Run. Apakah kau merasakan hal yang sama? Aku cengeng, kan? Padahal setiap hari aku datang mengunjungimu. Kadang ditemani Mama, Gisela atau juga ditemani Dave. Kau senang kan, mereka juga masih selalu datang merindukanmu?
Seperti juga waktu yang bergulir, aku berjanji tidak akan membuatmu kesepian. Kau tahu Runa sayang, aku bahkan masih selalu merasakan kehadiranmu di dekatku. Kenangan demi kenangan yang kita buat, berputar tanpa henti di mataku. Tertawa lepas berdua. Terasa hangat rasanya sekarang Run. Apalagi jika suasananya seperti ini. Gerimis yang turun satu persatu, seakan membentuk bayanganmu. Juga bayangan saat kita biasa menikmati dinginnya gerimis dengan senyum kenakalan kita. Berteriak-teriak kesenangan seperti anak kecil. Aku merindukan semua itu. Andai saja kau ada di sampingku....
Runa sayang....
Andai saja kau ada, mungkin saat ini, kita bisa ulangi hari-hari yang terlewat. Berdua bercanda tanpa peduli sekeliling kita. Apakah kau di sana mendengarnya? Mendengar rindu yang kukirim bersama gemericik air yang jatuh di depanku? Aku kehilanganmu. Sangat kehilanganmu....
*
"Sudah waktunya pulang, Sil."
Aku mendongak. Seorang gadis tegak berdiri di sampingku dengan wajah cemas. Aku tersenyum tipis.
"Sudah sore, Sil. Keburu hujan turun. Kau bisa melanjutkan kapan saja, jika masih ada yang ingin kau sampaikan."
Aku menggeleng. Menaburkan bunga terakhir yang masih tersisa dan menyiramkan semuanya dengan air.
"Terima kasih mau menemaniku."
"Mau sampai kapan seperti ini? Sedih boleh. Kangen apalagi, boleh banget. Tapi tidak harus juga kan, melampiaskan kesedihan dengan datang setiap hari ke sini. Runa pasti sedih melihatmu seperti ini."
"Gis?"
"Banyak cara untuk mengingatnya. Sekarang ini, Runa pasti lebih membutuhkan doa-doa darimu. Kau yang seperti ini pasti tidak akan membuatnya bahagia."
"Aku hanya...."
"Aku tahu," potong Gisela dengan senyum di sudut bibir. "Kalau kau masih seperti ini, bagaimana aku bisa meninggalkanmu?"
"Kau terlalu berlebihan, Gis. Aku baik-baik saja kok."
"Ikut aku kembali ke Jerman, ya? Kau mungkin bisa melupakan semuamya di sana. Minta Gunther menemanimu menjelajah tempat-tempat yang kau inginkan. Setidaknya kau bisa menyegarkan pikiranmu sebentar di sana."
"Aku tak bisa meninggalkan Mama."
"Juga Dave?"
Aku tersenyum kecut.
"Dave?" Aku mengedikkan bahu. "Aku bahkan tidak tahu apa kami masih bisa bersama."
"Kenapa?"
"Entahlah!" Aku menggeleng pelan. "Aku tak pernah berpikir kemungkinan demi kemungkinan itu datang. Berpikir masih ada yang tersisa pun, aku tidak berani membayangkan."
"Dave mencintaimu, Sil. Kalian pasti bisa melewati semua ini."
"Mungkin kedengarannya tidak masuk akal. Mungkin juga hanya ilusiku. Tapi... setiap melihat Dave berjalan, aku selalu merasa kalau Runa ada di sampingnya. Setiap Dave pergi, bayangan Runa sekan mengikuti langkahnya. Aku tidak yakin Gis, dengan situasi seperti ini kami masih bisa bersama."
"Kau cuma perlu menyingkirkan ketakutanmu, Sil. Membiarkan semuanya berjalan. Mempercayai Dave sekali lagi. Percaya deh, Dave tidak akan pernah menyakitimu."
Aku menghela napas. Menghembuskannya perlahan.
"Punya seseorang yang selalu siap berdiri di sampingmu dalam situasi terburuk sekali pun, tidak semua memilikinya. Kalau sekali lagi kau lepaskan Dave, mungkin yang akan datang belum tentu sebaik dan sesayang cowok itu." Gisela menatapku lembut. "Kau tahu apa yang dikatakannya padaku kemarin?" Aku menggeleng. Gisela tersenyum, memeluk bahuku. "Apa sebaiknya jadi rahasia antara aku dan Dave saja, ya?" Kerlingnya, menggodaku.
Aku merengut.
"Bisa tidak kalau cerita tidak jadi cerita misteri? Menyebalkan!"