"Jadi itu cowok yang membuatmu mengunci rapat hatimu?"
Tanya itu datang begitu langkahku sampai di depan Gunther. Aku tersenyum.
"Sayang sekali."
"Heh?" Aku memandang Gunther, tak mengerti.
"Padahal aku berdoa kau akan patah hati, aku datang dan kau selamanya akan terus bersamaku."
"Gun?"
Gunther tertawa.
"Mulai lagi memasang wajah tidak enaknya. Aku bercanda, Sil. Kau serius banget."
"Tidak lucu!" Jawabku, keki.
"Memang siapa yang melucu? Aku kan bukan pelawak."
"Tumben dadakan datang?" Tanyaku, mengalihkan.
"Kangen."
"Kangen?" Ulangku.
Gunther mengangguk. "Di sini." Jawabnya sambil meletakkan tangannya di dada. "Ada sebuah nama yang tidak bisa hilang dan aku merindukannya setiap hari, sampai seluruh dadaku sesak."
"Gun?"
"Apa?" Gunther tertawa. Menjitak kepalaku. "Jangan pasang wajah seperti itu. Jelek!"
Aku tertawa.
"Mom mengijinkanmu datang ke sini?"
"Kau percaya tidak, aku setiap hari mengejar jadwal dosen hanya untuk bisa cepat selesai sebelum waktunya," cengirnya. "Kau tidak tahu sih, bagaimana sulitnya aku menahan rindu."
"Kau mulai lagi." Aku cemberut.
"Siapa tahu kalau aku omongin mulu, hatimu bisa tergerak untuk mencintaiku."
"Ah obrolan tingkat tinggi ini," kataku, mengerutkan kening pura-pura berpikir. "Aku masih di bawah umur loh, Gun."
Gunther tertawa terbahak-bahak.
"Hatiku terpotek-potek nih, Sil." Gunther meraba hatinya sambil meringis. Aku tertawa kecil. "Tahu nggak rasanya? Luka tidak berdarah."
"Sudah gombalnya?" Tanyaku. "Masuk, yuk."
"Sil?"
"Apa?"
"Aku serius loh soal yang waktu itu aku obrolin denganmu," kata Gunther sambil menjejeri langkahku memasuki rumah. Aku mengerutkan kening. Menatap Gunther bingung. "Ah tega sekali," teriaknya, pura-pura kesal. "Masa kau lupa, Sil?" Tatapnya tak percaya.
"Yang mana?" Tanyaku.
"Ingat nggak obrolan kita di malam itu, waktu kita bersama memandang langit?"
Aku menghela napas. Menghembuskannya perlahan, mengurangi sesak yang tiba-tiba datang menyergap.
"Gun, aku...."
"Aku serius. Bisa nggak sekali saja kau beri aku kesem...."
"Sil...."
Aku dan Gunther melihat ke arah yang sama. Aku menghela napas lega, panggilan itu menghentikan pembicaraan yang membuatmu tidak nyaman. Melihat David berjalan menghampiri kami. Senyum lembutnya membiusku.
"Apa aku mengganggu?" Tanya David, dengan mata memicing, melihat kami sesaat saling terdiam.
Aku menggeleng
"Ada masalah?"
Aku dan Gunther tanpa sadar saling menatap. Sekali lagi aku menggeleng.
"Sudah bertemu Mama?" Tanyaku, mengalihkan pembicaraan.
David mengangguk.
"Mama di mana?"
"Menunggu kalian di meja makan," jawab David. "Oh ya Gun," dia berpaling, menatap ke arah Gunther. "Terima kasih ya, sudah menjaga Sisil selama dia di sana. Maaf kalau merepotkanmu."
"Tidak perlu berterima kasih. Sisil tidak merepotkan, kok. Aku malah senang kalau bisa direpotkan," jawab Gunther, sambil melirikku. "Dan kalau Sisil mengijinkanku menjaganya seumur hidupnya, aku juga tidak keberatan."
David tersenyum tipis.
"Aku tahu."
"Dave," panggilku. Menatap wajah-wajah tegang di depanku membuatku menggeleng letih. Menatap keduanya dengan perasaan cemas. David menoleh, menatapku. "Bukannya Mama menunggu kita di ruang makan? Yuk kesana!" Ajakku sambil tersenyum. "Takut Mama nanti terlalu lama menunggu kita."
David dan Gunther menatap bersamaan ke arahku. Aku menghela napas.
"Kenapa?" Tanyaku pada kedua cowok di depanku.
David dan Gunther menggeleng bersamaan. Aku lagi-lagi menghela napas. Berjalan mendahului dengan kecemasan yang tidak bisa kucegah hadir, menyeruak ke permukaan. Runa... andai kau ada di sini....
Sebuah sentuhan lembut menggenggam tanganku. Membawaku berjalan dalam diam. Aku menoleh. Dave...
*
"Kau beruntung memilikinya."
David menoleh. Menghampiri Gunther yang duduk berselonjoran kaki, sementara tubuhnya disenderkan di tepi pendopo. Dia tersenyum. Duduk di samping cowok itu.
"Kau tahu, dulu aku tak pernah bersikap baik padanya. Sejak dia datang dengan wajah sembab dan nyaris membuat banjir rumahku dengan matanya yang berkaca-kaca menahan tangis." Gunther tersenyum mengenang. "Aku benci sekali saat itu. Melihat gadis bodoh yang menangisi seseorang dan melarikan diri sejauh mungkin sebagai solusinya."
"Sisil datang ke rumahmu sambil menangis?"
Gunther mengangguk kecil.
"Wajahnya saat itu membuatku kesal. Aku paling benci melihat orang yang cuma bisa meratap tanpa berjuang. Dunia memang tidak adil. Tapi setidaknya, jangan jadi pecundang yang tidak mau melakukan apa pun."
"Sisil tidak seperti itu."
"Aku tahu," angguk Gunther. "Tapi kesan pertamanya benar-benar membuatku ingin melemparnya kembali ke Indonesia."
David melongo.
"Kau mau apa?" Tanya David tak percaya.
"Ya ampun tenang bro.. cuma perumpamaan," sergah Gunther cepat, saat menyadari nada suara David. "Aku bukan orang yang sekejam itu sama cewek. Tapi ya memang waktu itu dia sangat menyebalkan."
David terdiam mendengarkan. Wajah Gunther yang berseri-seri saat bercerita membuatnya tidak nyaman. Ada kecemasan berbalut ketakutan. Tapi cepat ditepisnya. Dia mengenal Sisil. Dia sangat mengenal gadis itu.
"Berhari-hari aku bersikap acuh dan tidak peduli. Memasang tampang jutek dan sinis setiap kali kami bertemu. Sapaan demi sapaannya tidak pernah kujawab. Aku membuat suasana asing dan tidak menyenangkan, agar dia tidak pernah sekalipun menunjukkan batang hidungnya di depanku. Tapi sialnya, sejahat apapun aku, dia selalu saja tersenyum. Selalu ramah dan menjawab setiap ketus yang kusengaja dengan suaranya yang lembut."
David terdiam, masih mendengarkan. Sesekali matanya mengarah ke sebuah kamar di lantai atas. Tirainya yg terbuka membuatnya berpikir gadis itu pasti sedang asyik berbicara seru dengan Gisela. Dia tersenyum di sudut bibir.
"Kau tahu Dave," Gunther masih melanjutkan ceritanya. "Sebaik apapun dia, aku tidak pernah mempedulikannya. Sampai suatu hari...," Gunther menghela napas. "Aku tidak sengaja melihatnya terpekur menatap langit malam dengan wajah basah oleh air mata. Dan itu dilakukannya setiap malam."
"Setiap malam?"
Gunther mengangguk.
"Ya. Setiap malam. Sampai aku begitu penasaran apa sebenarnya yang dia lihat di atas sana?"
"Apa yang Sisil lihat?"
"Entahlah!" Gunther mengedikkan bahu. "Bodohnya aku nih Dave, bisa-bisanya aku melakukan hal yang sama." Gunther tertawa. "Bahkan aku menertawakan diriku sendiri. Aku bilang, 'Kau pasti sudah gila, Gunther! Apa sih yang kau lakukan? Namanya langit di malam hari yang ada hanya bintang dan kegelapan. Mau lihat apa lagi?' Dan itu semua karena Sisil."
"Apa sejak itu kau tertarik padanya?" Tanya David.
"Bukan saat itu," gelengnya. "Tapi dia sudah membuatku melihat keberadaannya. Aku begitu penasaran, jadi kudatangi dia."
"Mendatangi Sisil?"
"Ya," angguk Gunther. "Aku sengaja mengintip di balik jendela kamarku, dan berjalan menghampirinya saat kulihat dia berjalan ke arah balkon. Awalnya dia terkejut melihat aku. Menatapku heran saat kutanya apa yang membuatnya betah berjam-jam menatap langit. Dan kau tahu jawabannya?" Gunther tersenyum. "Rindu."
"Rindu?"