Nyanyian Gerimis

Diah kurniawati Ade Tenu Kurnia
Chapter #12

#12. Penyesalan Mama

Mama berdiri diam di dalam sebuah kamar. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan perasaan rindu. Memejamkan mata, membiarkan semua bayangan berkelebat bagaikan memutar sebuah film. Kenangan demi kenangan dengan banyak peristiwa. Dan kali ini, dibiarkannya saat tetes demi tetes bening bergulir jatuh perlahan di kedua pipi. Perlahan dia mengusapnya.

Berjalan ke arah jendela. Membiarkan udara masuk saat jendela terbuka. Ada banyak perasaan mengurungnya. Mengambil sebuah pigura di atas meja belajar dan duduk diam di atas ranjang. Dengan satu tangan memegang pigura dan tangan yang lain bergantian menyentuh ranjang dan bantal di depannya.

Dingin, gumamnya. Terasa dingin saat tersentuh, karena penghuninya sudah lama tidak menempatinya, membiarkan kamar ini kosong. Membiarkan semua benda-benda di kamar ini tidak terpakai.

Sejak penghuninya sakit, kamar ini seperti kehilangan raganya. Suara-suara bising dan celotehan hangat yang kerap terdengar pun hanya jadi kenangan yang tiap mengingatnya menghadirkan tetesan air di pelupuk mata.

Dulu, setiap hari ada banyak tawa dan canda di kamar ini. Juga tangisan dan air mata. Ada banyak rahasia terbagi di kamar ini. Ada banyak cerita yang bergulir, tanpa batas. Banyak senyuman dan pelukan. Dan ketika terkenang lagi, ada rasa hangat berbalur nyeri hadir di hatinya.

Dipandangnya wajah-wajah di dalam bingkai foto yang dipegangnya. Wajah-wajah yang dicintai dan disayanginya. Dua orang anak dengan kuncir kuda tertawa bahagia. Wajah-wajah polos yang selalu tertawa setiap kali di foto. Wajah-wajah riang yang selalu menghiasi foto-foto kenangan di hidupnya. Wajah-wajah kesayangan yang selalu ada di dalam pelupuk matanya.

Mama memandang ke arah jendela.

Bertemu dengan David hari ini, tiba-tiba dan dengan ketidak siapan hati untuk bicara, rasanya banyak perasaan yang tersimpan dan tidak terjawab, membuat semua sesal yang disimpannya perlahan mencair.

Dia tahu, suatu hari sosok itu akan datang menemuinya. Suatu hari, sosok yang dicintai putri-putrinya akan datang padanya. Tapi tidak pernah terbayang kalau hari itu akan lebih cepat dari perkiraannya.

Kepergian Runa, meski membuat dadanya sakit, membuatnya nyaris setiap hari menangis tanpa suara di dalam kamarnya dan besok paginya berusaha mengompres mata bengkaknya dengan timun dingin, agar anak gadisnya yang lain tidak mengetahuinya. Sedikit banyak mengurangi sedikit sesak dan sesal yang terlanjur mengendap di hatinya.

Sesal untuk Sisil. Sesal untuk sebuah permintaan yang terlanjur terucap. Sesal untuk hilangnya sebuah senyum dan tawa di wajah anak gadisnya. Sesal yang pernah membuatnya harus jauh dari kehidupan anaknya. Sebuah sesal yang harus ditanggungnya seumur hidup.

Dan sekarang, entah bagaimana caranya mengucapkan terima kasih pada David, karena mampu membuat dada yang terhimpit di hati perlahan bernapas dengan lega. Bagaimana berterima kasih pada David, untuk senyum yang bisa dilihatnya di wajah putrinya.

Mama menghela napas panjang.

Bohong kalau dia lupa pada sayatan luka yang pernah diberikannya untuk putrinya yang satu demi putrinya yang lain. Itu akan jadi ingatan panjang yang menemani sisa hidupnya.

Dia menatap nanar wajah kedua anaknya di dalam pigura. Mendekap pigura itu ke dalam dadanya. Dia merindukan saat-saat itu kembali. Merindukan kedua anaknya ke dalam pelukannya.

Mama memejamkan mata. Menahan seluruh perasaan di dalam hatinya, sampai tiba-tiba dia merasa tubuhnya lunglai tak bertenaga dan tak sadarkan diri.

*

Dokter Bram sedang membereskan alat-alat medisnya saat aku masuk ke dalam kamar Mama dengan wajah cemas. Lelaki paruh baya itu menatapku dengan senyum teduhnya. Berdiri menghampiriku yang ketakutan sambil membelai rambutku dengan sayang.

"Tidak apa-apa, Sil.' Katanya ketika melihatku menatapnya dengan tanya. "Mamamu hanya letih.'

Aku menghela napas lega. Memeluk dokter Bram dan membiarkan tangisan yang sejak tadi kutahan saat melihat Mama tak sadarkan diri di dalam kamar Runa, keluar begitu saja di dadanya. Dokter Bram mengelus-elus punggungku. Meyakinkanku bahwa semua baik-baik saja dan tak ada yang perlu kucemaskan. Kuuraikan pelukanku sambil menghapus sisa-sisa air mata di pipi.

Dokter Bram tersenyum.

"Kenapa akhir-akhir ini Om sering sekali melihatmu cengeng, ya?" Godanya. Aku merengut. Dia menarik hidungku. Tawanya lepas terdengar ketika melihat matamu protes. "Masih berasa sakit, ya? Wah masih kuat nih berarti Om buat menjewer telingamu sekalian."

"Om...." Rajukku manja.

Lihat selengkapnya