"Kau baik-baik saja?"
Aku tersenyum tipis. Kepala terasa berat. Menunggu Mama semalaman dan memilih tidur dengan duduk di kursi depan ranjang Mama, menyanggakan kepala di telapak tangan. Bukan kepala saja yang terasa berat, tapi juga punggung.
"Kau nggak tidur ya semalam?"
"Tidur."
"Serius tidur?"
Aku merengut.
"Jangan coba-coba jadi dokter Bram!"
"Wajahmu pucat sekali, Sil. Tidurlah, biar aku yang gantian jaga Tante."
Aku menggeleng, letih. Menatap Gisela dengan pandangan terima kasih.
"Ayolah, kau butuh istirahat." Gisela menatapku dengan tatapan memohon. "Dave bisa mencincangku kalau nanti melihatmu seperti ini."
Aku bergidik ngeri mendengar kalimatnya. Tatapan memelas di depannya membuatku tertawa.
"Ya ampun!" Gisela menepuk keningnya. "Bisa-bisanya loh dia tertawa, padahal aku sedang di ujung tanduk."
Aku masih tertawa.
'Kau lucu. Mana ada Dave mencincangmu. Kau pikir dia algojo? Memangnya kau tetelan atau daging sapi, sampai hatus dicincang!"
"Ya siapa tahu, kan? Aku sudah berjanji untuk menjagamu.'
"Aku baik-baik saja."
Gisela mengeluh. "Kalimat pamungkasnya keluar lagi."
"Heh?"
"Jangan pura-pura bodoh! Ayo istirahat. Wajahmu sudah mengerikan loh Sil untuk dilihat."
Aku tersenyum.
"Sejak kapan wajahku bisa bicara?" Cengirku. "Aku baik-baik saja. Jadi jangan bertanya terus. Aku mau memejamkan mata sebentar."
"Bukan hanya memejamkan mata, Nona Pembangkang! Kau harus tidur!"
Aku lagi-lagi tersenyum.
"Aku semalam sudah tidur. Sudah istirahat juga. Jadi berhentilah berdebat."
Gisela mendengus.
"Apa aku telepon Dave saja, ya?"
Aku tersenyum tipis. Tetap memejamkan mata.
"Dan membuat Dave terjaga seharian di sini karena cemas berlebihan?" Aku menggeleng. Kubuka mataku. "Kau yang harus istirahat, Gis. Bukankah kau harus kembali?" Kusandarkan tubuhku di sofa. Lumayan rasanya, sedikit mengusir rasa tidak nyaman di punggung dan kepalaku. "Kapan jadwal penerbanganmu, Gis?"
"Jangan tanya jadwal penerbangan!" Gisela cemberut. "Rasanya aku tidak sanggup kembali."
Aku berpaling.
"Apa kubatalkan saja jadwal penerbanganku, ya?" Kata Gisela pelan. "Aku nggak sanggup meninggalkanmu sendirian di sini."
Aku tertawa.
"Berlebihan," cengirku. "Ada Mama, kan? Aku nggak sendirian."
"Padahal aku mau dengar kau bilang, iya Gis. Batalkan ya. Temani aku."
Aku memeletkan lidah.