"Ikut dong! Boleh, kan?"
Dua gadis itu menghentikan langkah mereka. Menatap tak berkedip ke arahnya.
"Kakak bilang apa tadi?"
"Aku mau ikut. Boleh, kan?"
"Serius?"
Gunther mengangguk. Dua pasang mata masih menatapnya tak percaya. Sampai kemudian Gisela tertawa. Berlari ke arahnya dan melingkarkan kedua tangan ke lehernya. Memeluknya erat sampai dia nyaris kehabisan napas. Dia menguraikan pelukan Gisela.
"Kau mau membuatku mati ya?"
"Apaan sih Kak!" Gisela cemberut. Gunther tersenyum melihat bibir manyun adiknya. Tangannya terulur, mengacak-acak rambut Gisela dengan sayang.
"Jangan kebiasaan bibir dibikin manyun terus. Jelek tahu!"
"Habisnya...."
Gunther tertawa kecil.
"Jadi aku boleh ikut?"
Gisela mengangguk senang. Matanya berbinar bahagia.
"Lebay, kayak anak kecil."
"Biarin!" Gisela memeletkan lidahnya.
Gunther tersenyum. Membiarkan tangan adiknya itu menggandengnya. Mendekati seorang gadis yang terdiam di tempatnya.
"Yuk!"
"Bertiga?" Tanya itu terlontar begitu saja. Dua pasang wajah menatap bersamaan.
"Ada yang salah?" Tanya Gunther. "Kau nggak mau aku ikut?"
"Bukan begitu. Aku suka kok kalau kau ikut."
"Waah kemajuan nih." Gunther mengedipkan mata. "Sudah mulai menyukaiku ya, Sil?"
Gadis itu melongo, menatap tak percaya.
Gisela mendelik. Menyikut lengan kakaknya saat melihat wajah tak nyaman di depannya.
"Jangan mulai dong, Kak." Sungutnya kesal. "Nggak apa-apa kan, Sil. Lumayan ada Kakak. Jadi tambah ramai dan aman, kan?" Kedipnya ke Gunther. "Kita bisa melihat banyak tempat juga nggak was-was. Kan ada Kakak yang jagain kita."
"Memang aku satpam!" Jitak Gunther di kepala Gisela.
"Bukan satpam kakakku sayang. Tapi pengawal gretongan." Gisela tertawa.
Gunther ikut tertawa. Dan mata gadis itu terekam lagi di matanya. Senyum yang menghias bibirnya saat melihat kelakuan Gisela. Dia terpana. Senyum pertama yang dilihatnya sejak tak sengaja berhari-hari di dapatinya tangisan tanpa suara di setiap malam. Tangisan yang membuat hatinya ikut menderita. Dan dia memfoto senyum itu. Sekali lagi, di dalam ingatannya. Dengan matanya.
"Kak...."
Gunther tersentak. Panggilan itu membuyarkan tatapannya.
"Ayooo! Kenapa jadi melamun kayak patung begitu?"
*
"Kau mencintainya?"
Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja. Dia sedang bersama gadis itu. Menemaninya di malam hari, menjelang waktu tidur. Menemani gadis itu menatap bintang yang berpendar di atas langit. Entah kenapa dia jadi ikut-ikutan melihat langit. Gunther tertawa. Menertawakan kebodohannya. Bagaimana bisa kau seperti ini Gun? Batinnya. Bagaimana bisa....
Gunther menggeleng-gelengkan kepala.
Kalau Ruth cs, geng cewek-cewek berisik di kampusnya, yang sering bertingkah manja dan centil, tahu apa yang dilakukannya sekarang, ya ampun! Gunther memukul jidatnya. Bisa rusak nih reputasinya dalam sekejap. Predikat cowok cool langsung berganti nama jadi cowok lebay bin halu. Dia tertawa kecil.
Hari-hari biasa, dulu... sebelum gadis itu hadir dalam hidupnya, dia pasti akan melewatkan waktu menjelang tidur seperti ini dengan senam kecil. Lumayan sekadar melenturkan otot-otot lengan dan kakinya. Cara yang paling ampuh membuatnya terlelap tidur setelah rutinitas panjang yang melelahkan.
Gadis itu betpaling. Menatapnya dan tersenyum.
"Ditanya kok malah senyum."
"Dari tadi kau melamunkan apa, Gun? Asyik banget kayaknya, sampai tertawa sendiri gitu."
"Hah?"
Gadis itu masih tersenyum.
"Jangan keseringan tertawa sendiri, Gun. Kasihan loh nanti rumah sakit jiwa bertambah satu pasien lagi."
Gunther bengong.
"Ooo sudah bisa balas nih ceritanya."
"Diajarin Gisela. Manjur juga ya ternyata."
"Gisela mengajarimu?" Gunther menatap gadis itu, tak percaya. Gadis itu mengangguk.
"Kenapa dengan wajahmu, Gun?" Senyum gadis itu.
"Nggak apa-apa," gelengnya. "Aku hanya berharap apa pun yang kau dengar, tetaplah seperti ini."
"Kadang, aku pengen banget jadi cewek yang egois. Cewek yang nggak punya perasaan." Gadis itu tertawa kecil. "Mungkin saja kalau seperti itu, badai hebat seperti apa pun, aku bisa nggak peduli."
"Sepertinya nggak menyenangkan untuk didengar."
"Begitu, ya?" Cengir gadis itu. Gunther mengangguk.
"Aku hanya ingin tahu, kalau aku bisa bersikap egois, kira-kira apa semua yang pernah hilang dariku bisa kembali ya?"
"Kau ingin dia kembali?"
Gadis itu tersenyum tipis. Menatapnya sesaat dan kembali mengalihkan pandangan.
"Kalau dengan egois bisa membuatmu bahagia, mungkin saja nggak apa-apa juga."
Gadis itu masih tersenyum.
"Kalau dengan egois kau bisa mengembalikan semua yang pernah hilang dari hidupmu, ya nggak apa-apa juga. Cobalah!"
Gadis itu terdiam.
Gunther menghela napas. Lagi-lagi tatapan penuh luka itu terlihat. Andai dia bisa mengatakan pada gadis itu, kalau dia juga ingin sekali dirindukan seperti gadis itu merindukan seseorang yang begitu dicintainya. Andai saja dia bisa mengatakannya....
"Kau baik-baik saja?"