Disibaknya tirai jendela. Dua orang terlihat di sana. Duduk di tepi pendopo. Tertawa. Entah apa yang dibicarakan di sana. Tapi dia bersyukur, melihat gadis itu sudah bisa tertawa selepas itu.
Apa cowok itu yang mampu membuatmu bertahan, diam sendirian memagari diri sendiri sampai setegar itu? Cowok itu kah yang mampu membuatmu setia menunggu?
Apa hatiku tak cukup baik untuk ada di sana? Menempati sedikit ruang di hatimu? Memberikan aku kesempatan untuk setulus hati membuatmu bahagia? Membuatmu tersenyum? Membuatmu tertawa?
Kalau saja kesempatan itu datang..., aku rela menukar seluruh kehidupanku untuk membuatmu bahagia....
Kalau saja rindu selalu punya tempat untuk berlabuh. Punya ruang untuk diisi. Sayang rinduku jatuh pada hati yang pemiliknya begitu mencintai rindu yang lain.
Ada berapa banyak andai, nyatanya dia kali ini mengaku kalah. Pada semesta yang tidak memberinya waktu untuk mengejar. Pada tangan yang begitu ingin melindungi. Pada mata yang ingin selalu ditatapnya. Sayang waktu tidak pernah memberinya kesempatan. Sedetik saja....
*
Ketokan di pintu kamarnya membuatnya berpaling. Seraut wajah melongok dari pintu yang sedikit terbuka.
"Boleh aku masuk?"
Gunther mengangguk. Tersenyum melambaikan tangan menyuruh Gisela masuk.
"Kau baik-baik saja?"
"Kenapa?"
Gisela memandang Gunther. Mengamati wajah kakaknya.