Nyanyian Tuan Paus

DameNingen
Chapter #2

Chap1 Part1

Sakit betul punggungku pagi ini. Perjalanan enam jam naik kereta dan taksi yang berdesakan tentu bukan hal baik untukku. 

Kemarin aku baru pulang dari luar kota tempatku kuliah. Sekarang aku terbaring lemas di kasur rumahku.

Malas sekali rasanya. Ini hari pertama dari liburan yang panjang dari carut-maruknya dunia perkuliahan. Aku mulai memikirkan bagaimana cara membunuh waktuku di kota yang membosankan ini. Main game, baca buku, jalan-jalan, olahraga atau apapun itu. Namun untuk sekarang pikiran itu dihapus lebih dulu karena pintu kamarku dibuka tanpa permisi. Dari sana ibuku tanpa menampakan batang hidungnya hanya memintaku segera makan ke dapur. Kecut sekali nada bicaranya, mungkin ekspresi wajahnya juga. 

Aku tidak membenci ibuku. Tentu saja jasanya tidak akan bisa kubalas dengan apapun dan kapanpun. Dia begitu baik dan menyayangiku sepenuh hati. Tetapi belakangan dia baru nikah lagi dengan seorang bajingan entah berantah setelah ditalak ayahku dan sikapnya padaku luarbiasa kejam padaku.

Oh, begitu tak inginnya aku kembali ke kota ini dan harus berhadapan dengan semua ini.

Pria yang menikahi ibuku adalah pemilik toko bangunan di sisi lain kota, cukup berduit. Liburan semester kemarin mereka menikah. Aku dipaksa pulang tentunya, tetapi kakak perempuanku yang tiga tahun lebih tua tidak datang. Biar kuceritakan tentang kakak perempuanku itu lain kali, tapi sungguh dia itu tidak begitu menyukai orang tua kami dari dulu. 

Nah, si pria itu sebenarnya orang baik-baik. Tidak ada gosip aneh tentangnya, tetapi aku hanya tak terlalu suka saja dengannya. 

Di dapur ibuku dan suaminya itu duduk di meja makan. Aku duduk di kursi kayu sebrang mereka. Kuambil piring, menyendok nasi dan lauk-pauknya, telur mata sapi dan gulai nangka. Kulihat seprai meja berwarna abu-abu dengan motif bolong-bolong membuat kayu meja kusam itu terlihat sekali jeleknya. 

Awalnya mereka mengobrol satu dua hal, tetapi sekarang seperti ingin mengatakan sesuatu padaku. 

Ibu yang pertama mulai. “Faresta, bagaimana ujianmu?”

“Biasa saja, nilainya akan keluar minggu depan kurasa.”

“Apakah yakin bagus?” Sekarang suaminya yang bertanya. Apa maksud dari pertanyaan itu? Tentu aku tahu maksudnya, tapi ayolah bisakah tidak membahas hal seperti itu?

Sebagai mahasiswa teknik sipil di kampus negeri, susah sekali dapat nilai yang dapat dikatakan ‘bagus’. 

Lihat selengkapnya