Selamat membaca
***
Dean mengikuti ku keluar dari kelas siang itu. Cowok berpostur tubuh tinggi dan menyebalkan ini cukup bikin aku kesal sejak tadi pagi.
"Nyak. Coba lo pikir lagi, ngapain lo pindah sih?"
Aku menguap, lalu menggaruk kepala ku yang tidak gatal, entah sudah berapa kali Dean menanyakan hal ini padaku sejak seminggu yang lalu, ketika aku mengatakan niatku untuk pindah ke sebuah apartemen yang dibelikan kakekku ketika lulus SMA. Dan setelah aku pikir, sekarang waktu yang tepat untuk pindah.
"Gue nggak setuju lo pindah."Dean terdengar kesal sambil menarik rambutku, sontak saja aku tertarik dan langkah kakiku terhenti, menatapnya jengkel.
"Ah, Deaaaan. Sakit." aku memukul pergelangan tangan Dean yang kini sudah melepaskan tarikannya di kepala ku.
"Kenapa lo yang nggak setuju ,sih?" balas ku kesal. Merapikan rambutku.
"Yah, karena nanti gue kagak punya teman kalau lo pindah." katanya sambil tetap menatapku kesal. Aku tersenyum samar.
"Lebay lo De. Dua puluh menit nyampe pun." aku kembali berjalan dan Dean mengikuti disamping masih dengan muka kesal.
"Tapi kenapa sih Nyak, alasan lo mau pindah itu nggak tepat." katanya lagi. Aku kembali menoleh kesal. Memang sih aku hanya mengatakan ingin mandiri saja sama Dean. Tapi dibalik itu, aku hanya tidak ingin bertemu papa, mama dan lainnya lebih sering, aku terlalu capek menghadapi keluarga yang super dingin itu. Dan aku hanya ingin tertawa bebas di apartemen ku, makan makanan kesukaan ku dan melakukan hal hal yang ku sukai sendiri. Semua sudah cukup membuatku ikut bersikap dingin berada disana sejak aku lahir. Sekarang aku sudah merasa dewasa dan cukup mampu untuk hidup sendiri.
"Papa sama mama ngomong apa? Mereka setuju lo pindah?" kata Dean lagi. Ia masih belum tak setuju dengan keputusan ku kali ini.
Aku mengangguk sedikit tersenyum.
"Setuju lah. Kan gue udah gede De. Lo terima aja kenapa, sih?" kataku serius. Mulai kesal masuk kedalam mobilku dan menutup nya cepat sedangkan Dean masih mematung tidak setuju disana. Lalu detik berikutnya ia ikut masuk kedalam mobilnya. Aku tersenyum samar. Memang sih, sejauh ini hanya Dean yang menanyakan apa aku baik-baik saja, apa aku sudah makan, apa aku sehat, dan hanya Dean juga yang mengatakan selamat padaku ketika aku mendapatkan juara kelas. Dan itu tidak berlaku dirumah. Semua sama saja. Walaupun aku dapat juara olimpiade, juara umum, juara lainnya. Hanya tatapan saja yang ku dapatkan disana. Tidak ada kata selamat, good job. Kamu sudah berkerja keras, kamu hebat. Kamu keren. Itu hanya harapan saja. Aku sudah terlalu lelah berada dikeluarga itu. Dan aku pikir sekarang waktu yang tepat. Toh, minggu kemarin ketika aku mengatakan ingin pindah pada papa dan mama mereka hanya mengangguk saja, seperti biasa tanpa ekspresi. Berarti mereka setuju dong dan tidak ada penolakan sama sekali. Itu sudah biasa. Hanya saja kalau salah satu diantara kami bermasalah dan baru bisa kulihat kalau ekspresi papa berubah. Ketika kak Aryo mengkonsumsi obat terlarang dan semua itu terjadi begitu saja. Itu pun hanya keterkejutan yang tidak luar biasa ku lihat seperti kebanyakan orang diluar sana. Hanya tatapan marah yang bisa kulihat dari papa untuk kak Aryo. Selebihnya hanya bantingan pintu. Entahlah aku juga heran kenapa aku bisa punya keluarga yang super dingin seperti ini. Aku yakin kak Aryo memakai barang haram itu juga karena papa yang terlalu keras padanya, keras dan tak berujung, hingga kak Aryo harus mendekam beberapa tahun di penjara. Padahal papa bisa saja mengeluarkan kak Aryo disana. Tapi sepertinya papa tidak punya niat untuk itu.
Entahlah.
Tanpa sadar aku sudah sampai didepan rumah. Memakir mobilku. Kulihat ada mobil papa juga disana. Mungkin dia sudah pulang. Aku keluar dari mobilku dan masuk kedalam rumah dengan langkah cepat. Hari ini aku tak punya banyak waktu. Aku akan mengumpulkan semua alat-alat ku lalu membawanya ke apartemen ku. Sepertinya Dean bukan orang yang tepat untuk minta tolong kali ini. Toh cowok itu sudah menolak ku sejak tadi. Mana mungkin ia mau.
"Kamu jadi pindah?" suara mama sontak menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh, melihat mama berjalan cepat kearahku, seperti biasa tanpa ekspresi. Aku mengangguk sedikit.
"Iya mah. Jadi." balasku ikut dingin. Mama mengangguk sedikit.
"Mama tidak bisa bantu. Mama harus ikut papa keluar kota. Ada acara disana. Panggil saja kurir." katanya kembali berlalu pergi meninggalkan ku yang kini hanya menatap mama dengan tatapan datar, ia hilang dibalik pintu kamarnya. Aku menghembuskan napas berat dan kembali melangkah menuju kamar ku dilantai dua.
Beberapa buku dan baju yang sudah ku packing rapi kedalam dus besar. Dan tinggal di angkut. Toh hanya itu saja barang yang ku punya. Aku tidak punya properti yang ku beli sendiri. Ini semua milik mama, dan aku tidak mungkin membawanya kerumah ku sendiri.
Nanti aku membeli nya dengan uang tabungan ku disana. Setelah memindahkan semua barangku disana. Aku bakal mencari beberapa alat masak. Dan membeli beberapa bahan masakan. Rencananya aku bakal belajar masak. Lewat youtube kali saja bisa.
Cekleeek
Pintu kamar terbuka. Aku lantas menoleh mendapati GLDean masuk kedalam kamarku. Ia masih menatapku jengkel. Lalu detik berikutnya ia berjalan cepat kearah ku.
"Gue nggak habis sama pikiran lo, Nyak." katanya masih terdengar kesal.